Melihat gambar di atas, pasti kamu akan merasa bahwa Insidious: The Red Door akan menawarkan pengalaman horor yang intens dan menyeramkan. Namun, kenyataannya ternyata berbalik belakang.
Siapa yang tak kenal dengan franchise horor Insidious? Baru-baru ini, Insidious merilis film kelima dalam serinya yang berjudul "Insidious: The Red Door". Dengan mengambil setting cerita 9 tahun setelah Insidious: Chapter 2, film ini menandai debut penyutradaraan Patrick Wilson, yang juga kembali berperan sebagai Josh Lambert.Â
Insidious: The Red Door bercerita tentang Josh Lambert (Patrick Wilson) dan Dalton (Ty Simpkins) yang hubungannya merenggang setelah ingatan mereka tentang perjalanan di The Further sengaja ditekan. Dalton telah tumbuh menjadi remaja yang mulai memberontak pada ayahnya sendiri.Â
Dalton diterima di sebuah universitas dan mengambil jurusan seni. Ketika kelas melukis, ia diperintahkan untuk melukis apa yang terpendam dalam dirinya. Ia melukis sebuah pintu berwarna merah, yang kemudian memunculkan sosok iblis jahat yang kembali meneror Dalton dan ayahnya.Â
Ternyata, sosok iblis dan teror yang dialami Dalton masih terkait dengan masa lalunya. Dalton dan Josh akhirnya berusaha mengingat kembali peristiwa yang terjadi 9 tahun yang lalu dan membuka kembali memori lamanya.
Akankah mereka berhasil menghadapi sosok iblis tersebut?
Jawabannya dapat kamu temukan dengan menontonnya di bioskop. Insidious: The Red Door memiliki durasi 1 jam 47 menit, dan naskahnya ditulis oleh Scott Teems, dan disutradarai oleh Patrick Wilson.Â
Apa yang membuat film ini menarik untuk ditonton? Yuk simak, ini review-nya!
Ide cerita yang segar namun kurang eksplorasi mendalam
Insidious: The Red Door memiliki keunggulan dibanding seri Insidious sebelumnya. Ya, film ini mengangkat soal hubungan ayah-anak yang mulai renggang, lalu upaya dalam mengingat kenangan traumatis di masa lampau, yang sejatinya dapat menjadi modal film ini untuk menjadi film horor dengan cerita yang berkualitas.
Tatkala memori kelam Dalton kembali muncul ketika melukis di kelas, Insidious: The Red Door menunjukkan bahwa seni dapat menggali sisi terdalam manusia.Â
Sayangnya, Scott Teems sebagai penulis naskah tak melakukan eksplorasi yang mendalam, dan hanya membiarkan tema yang diangkat tergeletak di permukaan.Â
Dinamika karakter keluarga disfungsional yang diperlihatkan sejak durasi awal di film ini perlahan diabaikan dan diganti dengan momen-momen horor murahan. Alhasil, tatkala klimaks-nya tampil dan menghadirkan konklusi emosional, filmnya justru terasa hambar.
Naskahnya terkendala dengan gaya penceritaan yang berantakan, karakternya bak tidak mempunyai pedoman, dan filmnya bagai tak ada tujuan. Hal tersebut yang justru membuat Insidious: The Red Door terasa seperti memasuki wahana rumah hantu, dimana kita hanya melihat 'hantu' lalu selesai begitu saja. Tak meninggalkan momen memorable seperti di Insidious 1 ataupun 2.
Atmosfer horor yang cukup mencekam namun jumpscare terkesan murahan
Selain berperan sebagai figur ayah yang emosinya sedang tidak stabil, Patrick Wilson juga turut menjadi sutradara. Ya, Insidious: The Red Door menjadi debut penyutradaraan film Patrick Wilson.
Patrick Wilson cukup piawai dalam memanfaatkan momen-momen hening dengan menyoroti beberapa penampakan yang muncul di jendela dan tempat yang dekat dengan keseharian, yang berhasil menciptakan atmosfer horor yang cukup intens dalam film ini.
Sayangnya, tatkala menghadirkan jumpscare, Patrick Wilson terlihat masih tak bisa lepas dari bayangan horor medioker. Ya, jumpscare-nya hanya sebatas hantu yang setor muka, lalu pergi begitu saja.Â
Ia menggunakan angle close-up untuk membangun ketakutan, namun ia luput menyorot kengerian yang ada pada hantunya, seakan Patrick Wilson hanya sebatas ingin membuat kaget para penontonnya.
Alhasil, alih-alih takut ketika menontonnya, film ini justru membuat saya merasa mengantuk saat memasuki bagian horornya. Selain karena naskahnya yang kurang mendalam, penyutradaraan Patrick Wilson juga terlihat tidak terlalu berbeda dari kebanyakan film horor lainnya.Â
Dialog yang berusaha tampil humoris, namun berujung cringe
Dalam Insidious: The Red Door, terdapat porsi drama yang cukup signifikan. Dialog yang diungkapkan oleh Dalton dan Josh sebagai anak dan ayah sebenarnya berhasil menghadirkan nuansa emosional yang kuat dan memberikan kedalaman pada film ini. Namun, kehadiran dialog-dialog yang cringe antara Dalton dan teman barunya, Chrish Winslow (Sinclair Daniel), justru menghancurkan atmosfer emosional yang telah terbangun sebelumnya.
Karakter Chrish sebenarnya memiliki potensi untuk mencegah film ini menjadi monoton, berkat kehadiran humor-humor yang ia bawakan. Meskipun beberapa penonton mengeluarkan tawa kecil saat menontonnya, saya merasa bahwa dialog dan humor yang disajikan terasa dipaksakan dan mengada-ngada.
Tetap bisa dinikmati walau banyak kekurangan
Insidious: The Red Door tetap bisa dinikmati sebagai tontonan hiburan, terutama bagi mereka yang jarang menonton film horor. Jika tujuanmu hanya mencari tontonan yang menakutkan, film ini cukup berhasil menyajikan momen-momen horor dan jumpscare yang mengagetkan.Â
Namun, bila kamu adalah penggemar horor sejati, film ini mungkin tidak memberikan kebaruan yang signifikan. Naskahnya terasa kurang matang dan mengalami kesulitan dalam menggabungkan elemen horor dan drama. Akibatnya, pengalaman menontonnya terasa biasa saja dan tidak meninggalkan kesan yang istimewa.Â
Itulah review saya mengenai film "Insidious: The Red Door", apakah kamu tertarik untuk menontonnya?
Overall, Insidious: The Red Door belum mampu menjadi sajian horor yang memberikan experience horor yang imersif dan intens. Dialognya cenderung hambar, naskahnya memiliki banyak kelemahan, dan jumpscare yang dihadirkan cenderung murahan dan sudah banyak ditemukan dalam film horor kebanyakan.
Skor pribadi : 5.5/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H