Insidious: The Red Door memiliki keunggulan dibanding seri Insidious sebelumnya. Ya, film ini mengangkat soal hubungan ayah-anak yang mulai renggang, lalu upaya dalam mengingat kenangan traumatis di masa lampau, yang sejatinya dapat menjadi modal film ini untuk menjadi film horor dengan cerita yang berkualitas.
Tatkala memori kelam Dalton kembali muncul ketika melukis di kelas, Insidious: The Red Door menunjukkan bahwa seni dapat menggali sisi terdalam manusia.Â
Sayangnya, Scott Teems sebagai penulis naskah tak melakukan eksplorasi yang mendalam, dan hanya membiarkan tema yang diangkat tergeletak di permukaan.Â
Dinamika karakter keluarga disfungsional yang diperlihatkan sejak durasi awal di film ini perlahan diabaikan dan diganti dengan momen-momen horor murahan. Alhasil, tatkala klimaks-nya tampil dan menghadirkan konklusi emosional, filmnya justru terasa hambar.
Naskahnya terkendala dengan gaya penceritaan yang berantakan, karakternya bak tidak mempunyai pedoman, dan filmnya bagai tak ada tujuan. Hal tersebut yang justru membuat Insidious: The Red Door terasa seperti memasuki wahana rumah hantu, dimana kita hanya melihat 'hantu' lalu selesai begitu saja. Tak meninggalkan momen memorable seperti di Insidious 1 ataupun 2.
Atmosfer horor yang cukup mencekam namun jumpscare terkesan murahan
Selain berperan sebagai figur ayah yang emosinya sedang tidak stabil, Patrick Wilson juga turut menjadi sutradara. Ya, Insidious: The Red Door menjadi debut penyutradaraan film Patrick Wilson.
Patrick Wilson cukup piawai dalam memanfaatkan momen-momen hening dengan menyoroti beberapa penampakan yang muncul di jendela dan tempat yang dekat dengan keseharian, yang berhasil menciptakan atmosfer horor yang cukup intens dalam film ini.
Sayangnya, tatkala menghadirkan jumpscare, Patrick Wilson terlihat masih tak bisa lepas dari bayangan horor medioker. Ya, jumpscare-nya hanya sebatas hantu yang setor muka, lalu pergi begitu saja.Â
Ia menggunakan angle close-up untuk membangun ketakutan, namun ia luput menyorot kengerian yang ada pada hantunya, seakan Patrick Wilson hanya sebatas ingin membuat kaget para penontonnya.