Baru kali ini saya menemukan film biopik Indonesia yang benar-benar kuat nilai keislamannya. Ya, film Buya Hamka berhasil menunjukkan bahwa mengangkat topik 'agama' dalam sebuah film tak melulu terasa bak menonton ceramah. Buya Hamka berhasil membuat penontonnya merasa tercerahkan, terhibur, juga terkagum-kagum dengan tokohnya.
Hal yang membuatnya spesial adalah walau film ini penuh dengan nilai-nilai keislaman dan pesan dakwah; seperti tauhid, fikih, aqidah, dan perkara Islam lainnya, film ini tetap mampu menyampaikan nilai-nilai tersebut dengan lembut dan tak tampak menggurui, menceramahi, apalagi menyalahkan.Â
Alhasil, jika penonton dari agama lain menonton film ini, saya rasa mereka akan tetap dapat menikmati filmnya. Film ini berhasil membuktikan bahwasannya Islam adalah agama yang damai, menerima perbedaan, dan tidak menolak perkembangan zaman.Â
Setiap kali Buya Hamka mengeluarkan kalimat dan pendapatnya, saya sebagai penonton selalu merasa kagum dan dapat merasakan pengetahuannya yang luas mengenai Islam, Indonesia, juga makna hidup.Â
Ia memang menerima perubahan, tidak kaku, dan penuh dengan ide-ide baru. Namun, Buya Hamka tetap mampu berpegang teguh pada ajaran Islam yang sesungguhnya, terutama pada prinsip tauhid yang ia pegang erat-erat sepanjang hidupnya.
Selain kuat dengan nilai-nilai Islam, film Buya Hamka juga kuat akan budaya Minang yang dibawanya. Penggunaan aksen Minang terlihat meyakinkan, apalagi tiap kali kata 'onde mande' keluar, penonton penuh dengan gelak tawa.Â
Tak hanya kuat di aksennya, film Buya Hamka juga dihiasi dengan pemandangan-pemandangan indah daerah Padang Panjang, dan daerah di Sumatera Barat. Beberapa budaya khasnya seperti pakaian adat Minang, Rumah Gadang, dan unsur budaya lainnya juga berhasil disorot dengan baik.Â
Alur yang terasa seperti kepingan-kepingan sejarah yang belum utuh
Perjalanan hidup Buya Hamka yang begitu panjang nampaknya membuat Alim Sudio dan Cassandra Massardi sebagai penulis naskah agak kesulitan untuk menentukan fokus utama penceritaannya. Alhasil, alur dalam film Buya Hamka volume 1 terasa agak jumpy, alias lompat-lompat. Namun, apakah hal tersebut mengganggu penceritaan dan sensasi menonton filmnya?
Jawabannya tentu saja tidak. Hal tersebut tidak terlalu berpengaruh signifikan, walau mungkin akan sedikit menimbulkan pertanyaan penontonnya, seperti "Bagaimana proses Buya Hamka dalam menjadi penulis hebat?", "Mengapa pihak Jepang mau mengalah dengan Indonesia?", dan beberapa pertanyaan lain yang menimbulkan sedikit keganjalan dalam diri penonton.