Gelaran World Cinema Week telah berjalan selama 9 hari, dan berakhir pada 30 Oktober 2022. Berbagai film dari berbagai dunia yang meraih penghargaan telah ditayangkan, dengan berbagai macam genre yang hadir.
Mulai dari "Triangle Of Sadness" hingga "Holy Spider" dan film-film lainnya sukses membuat event yang diselenggarakan oleh KlikFilm ini diminati para pecinta film. Apalagi, film-film yang ditayangkan juga film festival yang belum pernah tayang di platform streaming online. Sensasi menontonnya juga akan berbeda jika ditonton di bioskop.
Sayangnya, saya tidak sempat mengikuti gelaran event World Cinema Week secara offline. Alhasil, saya akhirnya memutuskan untuk menontonnya secara online, yang tentunya juga memiliki film-film dengan tema yang menarik, yang dapat ditonton di aplikasi atau web KlikFilm.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah "Huda's Salon". Film berlatar belakang negara Palestina ini memiliki cerita yang mengejutkan, dalam, dan menyindir berbagai isu.Â
Apa yang membuat film ini menarik untuk ditonton? Yuk simak, ini ulasannya!
Awal yang mengejutkan di 10 menit pertama
Di babak awal film ini, kita dapat melihat bahwa Reem sedang berbincang dengan pemilik salon bernama Huda. Perbincangannya menarik, mulai dari menyindir kondisi sosial tentang bagaimana dampak sosmed terhadap kehidupan, serta dilema menjadi istri dalam keluarga.Â
Walau letak salonnya berada di tembok perbatasan Israel dan Palestina, keduanya bercakap-cakap biasa layaknya orang yang sedang mengurus rambut di salon. Obrolannya yang terdengar natural dan dekat, perlahan membangun kepercayaan penonton pada karakternya.Â
Lantas, tanpa diduga-duga, 'kejutan' terjadi. Suasana yang tadinya terlihat ceria dan hangat, langsung berubah 180 derajat. Sebuah kejutan yang membuat jalan cerita beralih menjadi drama thriller yang menegangkan. Penonton tak akan menduga, semua berubah begitu cepat.
Setelah 'kejutan' tersebut dihadirkan, penonton dibuat tak berkedip dengan rangkaian adegan yang tak nyaman dilihat yang membuat karakter Reem menjadi tertekan. Emosi saya sebagai penonton mulai hadir, rasa miris, kesal, dan bingung, sukses dihadirkan hingga film ini berakhir.
Abu Assad, sutradara film ini, telah hati-hati dalam membangun adegan pembuka untuk membawa audiensnya ke jalan cerita yang ia inginkan.
Tipikal film yang mengandalkan dialog serta gestur tubuh karakternya
Ya! Film ini memiliki kekuatan dalam dialognya. Beberapa scene sukses menghadirkan nuansa intimidasi dengan dialog para pemainnya yang ciamik.Â
Selain itu, sorot kamera pada gestur tubuh tertentu juga berhasil menggambarkan bagaimana suasana hati Reem, Huda, dan tokoh lainnya kepada penonton. Bagaimana trauma seorang Reem, yang terjebak dalam tragedi yang membuatnya terdesak, namun tetap membawa bayinya bersamanya. Depresif yang dialami Reem berhasil dirasakan oleh para audiens.
Adegan interogasi antara dua karakternya hadir dengan cukup dominan, dan walau demikian, tetap seru menyaksikannya saling membantah dan berdebat satu sama lain. Apalagi keduanya sama-sama licik, cerdas, dan berani. Siapakah tokohnya? Tentu saya tak bisa memberi tahu karena dapat menimbulkan spoiler.
Isu pengkhianatan di negeri Palestina
Isu yang dihadirkan dalam film ini menggambarkan tentang bagaimana 'pengkhianat' punya konsekuensi hukuman yang berat. Bagaimana lihainya pengkhianat ini dalam menyamar dalam komunitasnya sendiri, serta bagaimana kejinya pengkhianat mencari orang-orang untuk direkrut, dan dipasksa berkhianat.
Reem, yang menjadi korban, dituduh sebagai 'pengkhianat'. Ia dijebak, yang membuatnya dianggap telah berkolaborasi dengan pengkhianat. Konsekuensi yang ia dapatkan tak hanya berlaku bagi dirinya, bahkan juga keluarganya dapat dihukum, ditolak izinnya, bahkan bisa dibunuh.
Akibatnya, Reem ketakutan. Ia berusaha agar orang-orang di sekitarnya tidak mengetahui apa yang ia alami. Karena jika mereka tahu, keluarga hingga teman-temannya dapat menjauhinya. Tak hanya itu, ia tak akan bisa selamat.
Naskah yang kuat dan konsisten hingga akhir
Abu Asaad, sang penulis naskah "Huda's Salon" benar-benar mengontrol cerita yang ia bangun dengan baik. Ia konsisten menghadirkan ketegangan yang mengundang rasa simpati para penonton.Â
Dengan dialog yang sesekali menyindir fenomena sosial, keimanan, serta stigma terhadap perempuan, berhasil mengajak penonton untuk merenungkan sejenak tentang makna dari isu yang disampaikan.
Alurnya berjalan stabil, tak terasa terlalu cepat atau lambat. Karakter di film ini hanya berfokus pada 4 orang, yakni Reem (Maisa Abdelhadi), Huda (Manal Awad), Yousef, dan Hasan (Ali Suliman). Sebuah keputusan yang tepat untuk dapat fokus dalam menyampaikan ceritanya.
Film yang hanya cocok bagi sebagian orang
"Huda's Salon" tentunya tak dapat dinikmati oleh semua orang. Adegan-adegannya mungkin akan menimbulkan kontroversi, segi penceritaannya mungkin akan menyebabkan sebagian penonton merasa kebingungan. Ya! butuh keseriusan dalam menonton film ini, agar dapat memahami pesan yang disampaikannya secara utuh.
Nilai feminisme yang begitu kuat
"Huda's Salon" menunjukkan dilema perempuan di Palestina. Bagaimana seringkali perempuan ditundukkan oleh laki-laki dalam hidup mereka. Mulai dari ayah, suami, kerabat, hingga orang sekitar yang membuat perempuan seringkali tertekan dan rentan terhadap perekrutan.
Hubungan Reem dengan Yousef adalah problematika pernikahan yang seringkali dialami oleh banyak pasangan. Bagaimana rasa curiga dapat menimbulkan efek psikologis yang begitu dalam. Yang menimbulkan pertanyaan, "Bagaimana Reem dapat setia terhadap Yousef, jika Yousef saja selalu curiga dan tidak menaruh rasa percaya pada pasangannya?"
Ya, "Huda's Salon" sukses menunjukkan berbagai dilema perempuan yang terjadi, bukan hanya di Palestina. Terlebih lagi, film ini menunjukkan perlawanan seorang perempuan dalam menghadapi tragedi yang ada.Â
Menimbulkan pertanyaan dalam endingnya
Konsep penceritaan yang menarik dibawa dengan baik hingga akhir. Transformasi karakter seorang Reem yang tadinya baik-baik saja, lalu dijebak dan terancam, begitu menyesakkan ketika melihatnya.Â
Di akhir filmnya, "Huda's Salon" menimbulkan sebuah pertanyaan penting, siapakah yang jahat dalam film ini?
Apakah yang jahat adalah orang-orang yang bersembunyi di sekitar rumah Reem, untuk membunuh dan menculiknya, padahal mereka sama-sama warga Palestina. Ataukah yang berkhianat yang jahat? Atau Huda, polisi yang menginterogasi sang pengkhianat?
Jawaban tersebut tidak dijawab secara pasti. Ya, film ini mengajak penontonnya untuk berpikir, tentang pesan apa yang sesungguhnya ingin disampaikan dalam "Huda's Salon".Â
Ada satu perkataan menarik yang saya dapatkan ketika menonton film ini, yang patut kita renungkan bersama;
"Orang-orang itu aneh. Saat hal buruk menimpa mereka, mereka tanya Tuhan 'kenapa aku?'. Tapi tidak pernah saat hal baik terjadi. Padahal itu semua adalah kehendak Tuhan, benar?"
Overall, "Huda's Salon" menjadi salah satu tontonan menarik pada event World Cinema Week. Dengan naskah yang konsisten, ketegangan, serta sorotan adegan-adegannya yang ciamik membuat emosi yang ada dalam film ini dapat disalurkan dengan baik.Â
Walau sedikit membingungkan, sejatinya film ini berhasil menunjukkan dilema yang dihadapi oleh perempuan, serta mengajak kita untuk berpikir, tentang fenomena-fenomena dan isu sosial yang terjadi di sekeliling kita.
Rating pribadi : 8/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H