Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Untuk Apa Menonton Film yang Isinya Cerita Bohong Belaka?

17 September 2022   22:04 Diperbarui: 17 September 2022   22:19 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah beberapa minggu ini aku tak menulis artikel. Entah mengapa, belakangan ini terkadang diriku merasa sedih. Bukan, bukan karena tak bisa mendapat K-Rewards lagi. Melainkan sedih karena semangat menulis yang mulai menghilang.

Di tahun ini diriku tak seproduktif tahun-tahun sebelumnya yang rajin menulis artikel, yang bisa menulis hingga 3 artikel perminggu. Sekarang, paling sering, aku hanya menulis 1 minggu sekali, itupun jika sedang mood menulis.

Mungkin karena faktor tinggal di sekolah berasrama yang memiliki banyak kegiatan, sehingga waktu untuk menulis berkurang.

Kadang aku juga berpikir, apa mungkin karena niatku sekarang ini sudah mulai melenceng. Aku lebih memikirkan "Bagaimana artikelku bisa menghasilkan uang?", dibanding membuat artikel sesuai dengan apa yang aku ingin tulis.

Kalau ku pikir-pikir, untuk apa aku sibuk memikirkan hal tersebut? Toh, niat utama aku dalam menulis dulu adalah untuk menyalurkan aspirasi serta bakatku. 

Aku bukan penulis artikel profesional, aku juga bukan jurnalis yang punya ketentuan tertentu dalam membuat tulisan. Sejatinya, aku bebas dalam mengekspresikan diriku dalam tulisanku.

Mungkin kamu juga bertanya-tanya, sebetulnya, apa yang kita cari dari menulis blog?

Kalau menurutku, menulis blog lebih baik dijadikan sebagai sarana mengeluarkan isi kepala menjadi sebuah gagasan yang dapat merubah pandangan orang, atau singkatnya adalah agar muncul perasaan lega dalam diri karena telah berkontribusi. 

Menulis film, jadi saranaku dalam mengekspresikan diri

Ilustrasi website menulis ulasan film, sumber foto : depositphotos
Ilustrasi website menulis ulasan film, sumber foto : depositphotos

Bagi sebagian orang, menulis ulasan film atau apapun yang berkaitan dengan film rasanya sia-sia. Mengapa? karena film hanyalah fiksi, karya cerita yang dibuat oleh manusia, yang isinya hanyalah kebohongan belaka.

Padahal, film juga dibuat berdasarkan riset kejadian di dunia nyata. Jadi yang ada di dalamnya tak murni fiksi, beberapa film bahkan ada yang diambil dari kejadian nyata. 

Ada guruku yang pernah berkata, "Untuk apa pergi ke bioskop dan menonton film? Mengapa mau membeli tiket demi menonton cerita yang isinya penuh kebohongan?"

Sewaktu mendengarnya, aku hanya tersenyum. Jujur, sejatinya aku tidak ingin orang-orang terdekatku, terutama yang tidak menyukai film, tahu bahwa aku adalah penulis artikel film. Aku tak mau mendengar mereka menceramahiku soal tak ada manfaat dari apa yang aku tulis.

Jika kamu suka menonton film, pasti kamu memahami mengapa film itu banyak diminati orang-orang. Dalam sebuah karya film, ada naskah yang kuat yang memuat nilai-nilai penting dalam ceritanya. 

Sejatinya, film bukanlah hanya karya hiburan yang dapat membuat orang tertawa, melainkan juga dapat menjadi media atau sarana dalam memahami dinamika sosial, memahami perasaan orang-lain, bahkan memahami profesi, latar belakang, isu, dan berbagai hal yang ada di luar sana. 

Dengan menonton film, dapat menambah ilmu pengetahuan lewat contoh langsung yang dihadirkan dalam adegan-adegannya. Cobalah untuk menonton film-film yang mengangkat sebuah tema yang belum kamu ketahui. Jangan hanya menonton film aksi dan horror, cobalah untuk menonton genre yang berbeda.

Awal mula diriku mencoba memahami karya film

Sumber foto : https://langgo.edu.vn/
Sumber foto : https://langgo.edu.vn/

Dulu, sewaktu SMP, ketika menonton film aku hanya menonton yang sedang tren saja. Film-film box office televisi, film horror, atau film romansa yang banyak quotes bucinnya. Aku hanya menikmati film sebagai sebuah karya hiburan biasa. 

Ketika pandemi, aku memutuskan untuk mencoba menjadi penulis artikel. Topik yang pertama ada di benakku adalah tentang ulasan film. 

Tentu, aku butuh riset. Aku menonton begitu banyak review film di Youtube, yang paling sering adalah dari channel Sumatran Bigfoot, yang mereview banyak film, mulai dari film lokal, hingga film-film yang menang penghargaan di festival film.

Pengalamanku mencoba menonton film bergenre berbeda sejatinya bermula dari drakor, lalu ketika diriku sudah beradaptasi dengan drakor, aku mencoba menonton film-film dari negara lain. 

Mulailah aku mencoba menonton rekomendasi film dari beberapa pengulas film terkenal. Bahkan film "House Of Hummingbird", "Happy Old Year", dan film slowburn yang bertema cukup berat, kuberanikan diri untuk menontonnya.

Hasilnya, ya... awalnya aku merasa bosan. Tak terlalu memahami apa maksud dari film tersebut. Namun semakin aku banyak membaca, mendengar review, dan melihat kondisi sosial dan isu-isu di masyarakat, akhirnya aku sedikit demi sedikit mulai memahami makna dari film-film tersebut. Aku bisa paham mengapa film tersebut mendapat skor tinggi dari para pengulas film.

Ya! Jika kamu ingin mencoba rasanya memahami orang-lain lewat karya film, sebetulnya tak harus dengan menonton film festival. Kamu sejatinya hanya perlu mengubah mindset-mu bahwa 

"Keberhasilan sebuah film itu bukanlah karena banyaknya aksi, quotes bijak atau jumpscare yang membuat takut. Sejatinya keberhasilan suatu film adalah ketika nilai yang ingin disampaikan itu dapat tersampaikan dengan baik kepada para penontonnya. Bagaimana naskah yang ada mampu mengundang simpati penonton, untuk lebih memahami situasi di sekelilingnya."

Itulah beberapa pandanganku berkaitan dengan film. Kuharap, dengan ditulisnya argumenku ini, dapat menjawab pertanyaan teman-teman yang bertanya "Kenapa satria menulisnya tentang film? Kenapa gak tema lain?"

Aku hanya bisa tersenyum. Kalau ada yang bertanya seperti itu, tandanya ia memang bukan pembaca sejati blogku. Bukan hanya soal film, aku juga menulis banyak artikel bertema lain yang juga ditulis berdasarkan keresahanku terhadap isu-isu yang ada. Mulai dari humaniora, fiksi, hingga travel dan teknologi.

Ilustrasi diary, sumber foto : Freepik/Rawpixel
Ilustrasi diary, sumber foto : Freepik/Rawpixel

Ah, pembahasanku jadi kemana-mana. Yang awalnya hanya curhat mengenai diriku yang sedang terjangkit writer block, malah jadi cerita mengapa diriku menyukai film. 

Ya, setidaknya gara-gara ini aku jadi menulis lagi. Toh, kategori yang kutulis juga diary, yang mana bebas-bebas saja aku mau menulis apa. Walau kutahu, mungkin tulisan ini sedikit berantakan, setidaknya apa yang ingin aku sampaikan bisa sampai kepada pembaca.

Itulah cerita diary yang kutulis hari ini. Mungkin besok-besok bila aku sedang tidak mood menulis, aku akan menulis diary saja.

Teman-teman kompasianer, atau para pembaca, mungkin punya saran untuk diriku yang terkena writer block, atau mungkin punya cerita soal bagaimana awal menyukai film dan apa pandangan kamu terhadap menulis artikel film, teman-teman bisa menceritakannya lewat kolom komentar.

Aku tak sabar melihat cerita teman-teman, yang siapa tahu dapat menjadi motivasi agar bisa kembali semangat dalam menulis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun