Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Lembaga Sensor Film Sering Kali Disalahpahami, Inilah Beberapa Fakta yang Perlu Kamu Ketahui

5 Juli 2022   14:09 Diperbarui: 5 Juli 2022   14:14 3983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menonton, sumber foto : SKYNESHER/ISTOCK 

Ketika menonton film, seringkali kita menemukan beberapa film yang terlihat adegannya dipotong. Juga ketika menonton film atau acara di televisi, kerap kita juga menemukan beberapa adegan yang disensor. Lantas, siapakah yang melakukan sensor dan memerintahkan untuk melakukan sensor?

Bicara soal sensor, Indonesia mempunyai sebuah lembaga bernama Lembaga Sensor Film (LSF). LSF Sendiri merupakan sebuah lembaga yang bertugas untuk menilai kelayakan sebuah film ataupun iklan, dan melakukan sensor pada adegan-adegan yang tidak layak ditayangkan, dengan cara memberikan catatan mengenai hal-hal apa saja yang perlu disensor, lalu diberikan ke pemilik film.

Di Indonesia, Lembaga Sensor Film kerap kali dipandang sebelah mata. Seringkali LSF dianggap terlalu berlebihan dalam memberikan sensor kepada sebuah film. LSF juga seringkali kinejanya dianggap remeh karena tak memberhentikan tayangan sinetron yang tidak mendidik. 

Lantas, apakah memang itu semua merupakan kesalahan dari LSF? Atau memang kita yang selama ini salah dalam memandang bagaimana Lembaga Sensor Film itu bekerja?

Anjangsana ke Lembaga Sensor Film, sumber : Dokpri
Anjangsana ke Lembaga Sensor Film, sumber : Dokpri

Belum lama ini, saya beserta komunitas KOMIK Kompasiana melakukan kunjungan atau anjangsana ke Lembaga Sensor Film (LSF). Disana, kami berbincang dan berdiskusi seputar penyensoran film bersama dengan ketua LSF beserta jajarannya. Pertanyaan-pertanyaan untuk LSF pun langsung kami lontarkan, dan menjawab kesalahpahaman saya terhadap LSF selama ini.

Lantas, apa saja yang saya dapatkan selama berkunjung ke LSF? Yuk kita kenali, bagaimana Lembaga Sensor Film itu bekerja!

LSF merupakan lembaga yang berdasarkan undang-undang

Jangan menganggap Lembaga Sensor Film (LSF) hanyalah lembaga tanpa landasan hukum. Lembaga Sensor film tercantum dalam UU NO. 33/ 2009 DAN PP NO. 18/ 2014. Dalam UU tersebut dijelaskan, bahwa LSF merupakan lembaga yang bersifat tetap dan independen. LSF beranggotakan 17 orang. Terdiri atas 12 orang unsur masyarakat, dan 5 orang unsur pemerintah.

LSF melakukan tugasnya berdasarkan apa yang diperintahkan dalam UU No 33 tadi. Berikut beberapa tugas LSF

  1. Melakukan penyensoran film atau iklan film sebelum dipertunjukkan kepada khayalak umum
  2. Melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film sebelum diedarkan/dipertunjukkan kepada khayalak umum

Hal apa saja yang membuat film itu layak untuk dipertontonkan?

Sebagaimana tadi dijelaskan dalam undang-undang, maka kita perlu mengetahui secara jelas, apa saja sebab-sebab yang menyebabkan sebuah film itu disensor, dan hal apa saja yang membuat film itu dikatakan layak?

Nah, untuk mengetahui hal tersebut, Ketua Komisi I LSF, Pak Nasrullah, menjelaskan mengenai beberapa sebab yang menyebabkan sebuah film itu layak untuk ditayangkan. Berikut beberapa sebab film itu layak untuk ditayangkan :

  1. Tidak mengandung kekerasan yang sadis. 
  2. Tidak mengandung pornografi
  3. Tidak mengganggu ideologi pancasila
  4. Tidak mengganggu unsur SARA
  5. Tidak menjatuhkan martabat orang

Jika sebuah film clear dari 5 hal tersebut, maka film itu dianggap layak untuk dipertontonkan. Lantas, bagaimana jika ada unsur-unsur tersebut dalam sebuah film? Apakah otomatis film tersebut akan disensor, atau apa ada solusi lainnya?

Penggolongan penonton usia film

"Jika film sadis seluruhnya disensor, maka yang dewasa menonton apa? Jika tak ada adegan berhubungan seks dalam sebuah film, maka bagaimana nasib para penonton dewasa? Memangnya film itu hanya untuk anak-anak?"

Pertanyaan itu mungkin akan kita temukan ketika berbicara mengenai penyensoran film. Maka, perlu diketahui, ketika film itu layak untuk dipertunjukkan, maka akan diberikan surat tanda lulus sensor. Tanda lulus sensor juga digolongkan untuk 4 kategori jenis usia. 

  1. Semua Umur (SU)
  2. 13 - 16 Tahun 
  3. 17-20 Tahun
  4. 21 tahun keatas

LSF akan menilai mengenai film-film yang ia sensor. Jika memang film yang dipertunjukkan targetnya untuk penonton dewasa, maka adegan-adegan sadis, menampilkan aktifitas hubungan sex, selama itu tidak berlebihan dan tidak mengeksploitasi, maka bisa saja adegan itu tidak disensor, melainkan dikategorikan untuk kalangan umur tertentu. Bisa 17 ke atas, bisa juga 21 ke atas.

Bagaimana jika film yang tayang tidak memiliki surat tanda lulus sensor?

Jika sebuah film tak memiliki surat tanda lulus sensor, lalu ditayangkan ke khayalak umum, maka sesuai UU No 33, maka ia bisa terkena hukuman pidana. Hukumannya 10 tahun penjara, beserta denda 4 miliyar. Menyeramkan kan?

Oleh karena itu, jika kamu membuat sebuah film lalu ingin ditayangkan kepada khayalak umum, maka jangan lupa daftarkan film yang kamu buat ke Lembaga Sensor Film.

Bagaimana cara LSF menyensor film?

Ilustrasi merekam film, sumber : Stockphoto
Ilustrasi merekam film, sumber : Stockphoto

Seringkali kita berpikir bahwa LSF melakukan sensor sendiri. Misal, sebuah pemilik film memberikan filmnya ke LSF, lalu LSF yang menyensor dan menghilangkan adegannya langsung. Itu yang dulu saya pikirkan. Ternyata, pandangan saya salah.

LSF sekarang berbeda dengan Badan Sensor Film (BSF) di tahun lawas. LSF kini tak memegang sebuah film, tak seperi BSF yang dulu langsung dapat menggunting adegan film yang dianggap tak layak dipertunjukkan. Lantas, bagaimana cara LSF bekerja?

Ketika melakukan penelitian dan penyensoran sebuah film, sama seperti kita, LSF menonton filmnya terlebih dahulu, lalu mencatat bagian-bagian yang perlu untuk dikurangi atau dihilangkan. Kemudian catatan itu diberikan kepada pemilik film. 

Lalu, pemilik film yang berhak untuk mengaplikasikan catatan yang diberikan LSF tadi. Bisa dengan mengganti adegan, memotongnya, menguranginya, dan lainnya terserah sang pemilik film. 

"Lantas, jika sebuah tayangan film ataupun Iklan di blur di televisi, bukankah itu salah LSF? Mengapa semuanya serba diblur, padahal yang ditampilkan bukanlah adegan yang membangkitkan syahwat?"

Hal ini tentunya menarik dibahas. Pertanyaan di atas juga seringkali ada di benak saya. Ternyata, setelah berkunjung langsung ke LSF dan mendengar penjelasannya langsung, kini saya paham. Ternyata, hal tersebut bukanlah kesalahan dari LSF.

Yang melakukan blur terhadap sebuah tayangan televisi, ternyata adalah stasiun televisi itu sendiri. LSF hanya memberikan catatan, dan pengaplikasiannya tergantung pada pemilik film ataupun produser televisi. Jadi, jangan salahkan LSF jika stasiun TV menyensor hal-hal yang tak masuk akal. Semua itu bukanlah salah dari Lembaga Sensor Film.

LSF sangat menghargai hak kekayaan intelektual film. Semua tergantung pemilik film. Di LSF ada namanya dialog, yang nantinya akan diberi catatan mengenai film tersebut dan dikembalikan ke pemiliknya, jika pemiliknya tidak setuju mengenai hal-hal yang dicatat, maka dilakukan dialog, lalu dicari kesepakatan.

Beberapa pertanyaan populer tentang Lembaga Sensor Film

Sumber foto : Dignited
Sumber foto : Dignited

Mengapa film yang tayang di media OTT tak disensor oleh Lembaga Sensor Film?

Seringkali kita menemukan adanya unsur-unsur LGBT, tayangan seksual, serta rasisme dalam tayangan film dalam platform streaming atau media OTT seperti Netflix, Vidio, We Tv, dan media lainnya. Mengapa LSF tak menyensor hal tersebut?

Dalam UU No 33 tadi, tidak dijelaskan secara detail, terutama mengenai platform OTT. Mahkamah Agung mengatakan bahwa layanan streaming tidak masuk dalam undang-undang. Artinya, LSF tidak berhak untuk ikut campur tangan dalam masalah media OTT tadi.

Maka yang perlu melakukan sensor adalah penonton itu sendiri. Penonton harus punya daya kritis, dan tahu batasan usia film yang ditonton. Penonton sendiri yang perlu pandai dalam memilah dan memilih tontonan.

"Bagaimana kebijakan LSF mengenai film yang didalamnya terdapat unsur LGBT?"

Di zaman ini, LGBT sudah muncul ditengah-tengah kita, dan keberadaannya sudah tak dapat dipungkiri lagi. Maka pertanyaannya, apakah memang kita masih harus tetap menutup ini? atau membiarkan saja agar orang-orang tahu bahwa LGBT memang sudah ada dan hadir ditengah-tengah kita. Ini pertanyaan yang harus sama-sama kita jawab, bukan hanya oleh LSF.

Dalam konteks LSF, kalau kontennya adalah LGBT, di titik tertentu, selama tidak ada aturan yang dilanggar, maka tidak masalah. Misalnya, dalam adegan suatu film, ada anak yang mengatakan kepada teman sekolahnya "Kenalin my mothers", artinya orangtuanya merupakan pasangan perempuan namun memiliki anak.

Di Amerika hal tersebut merupakan hal yang biasa. Konteksnya dalam kalimat tadi adalah kepingan bahwa mereka sedang menunjukkan LGBT itu memang sudah ada dan hadir. 

Pertanyaannya, lebih baik anak kita tidak mengetahui bahwa LGBT telah muncul dan menutupnya rapat-rapat, atau membiarkan mereka tahu, tentunya dengan pengawasan, bahwa LGBT ini memang sudah hadir di tengah-tengah kita, dan dengan hal tersebut mereka akan tahu bagaimana cara mengantisipasinya?

Karena semakin orang tidak tahu, maka semakin mudah orang tersebut terjebak. Maka pertanyaan tadi kembali pada kebijakan diri kita masing-masing. Ingat, yang dimaksud membiarkan tahu bukan berarti membenarkan apa yang mereka lakukan, melainkan memperlihatkan fakta bahwa LGBT memang sudah ada di tengah-tengah kita.

Mengenai adegan perilaku seks menyimpang, maka hal tersebut sudah otomatis disensor dan tidak akan diloloskan oleh LSF. Tidak mungkin LSF tega membiarkan meloloskan itu untuk ditonton oleh anak cucu kita.

"Apa hubungan LSF dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)?"

KPI lahir dari UU No 32 tahun 2002, LSF lahir dari UU No 33 tahun 2009. Satu hal yang membuat keduanya berbeda adalah penetapan klasifikasi usia. Kalau di LSF, 17 tahun itu dikategorikan dewasa. Sedangkan kalau di KPI, umur 18 tahun.

KPI dan LSF saling melengkapi. Dalam UU penyiaran menyatakan bahwa semua tayangan film atau iklan yang akan tayang di televisi, harus mendapatkan surat tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang, yang dimaksud adalah LSF. Jadi LSF ini seperti mendapatkan mandat dari KPI.

Oleh karena itu, seluruh tayangan televisi itu wajib untuk mendapatkan surat tanda lulus sensor, kecuali untuk siaran langsung dan pemberitaan.

KPI mengurusi pada saat tayangan itu telah ditayangkan, sedangkan LSF mengurusi tayangan sebelum tayang di televisi.

Itulah beberapa pertanyaan populer mengenai Lembaga Sensor Film (LSF). Sebetulnya masih banyak pertanyaan yang ada, namun jika saya tuliskan semua, tak akan muat saya tulis di artikel ini. Mungkin bisa saya buat di artikel lain.

#BudayaSensorMandiri jadi satu-satunya solusi untuk memfilter tontonan di zaman ini

Ilustrasi menonton, sumber foto : SKYNESHER/ISTOCK 
Ilustrasi menonton, sumber foto : SKYNESHER/ISTOCK 

Posisi LSF berada di tengah-tengah, yang bisa dibilang serba salah. Misal, di sebuah film, adegan A jika disensor, maka pihak kiri akan marah dan protes. Lalu, jika diloloskan, pihak kanan akan marah dan protes juga, mengapa adegan itu bisa diloloskan. Maka, satu-satunya solusi untuk hal tersebut adalah dengan membudayakan perilaku sensor mandiri.

Mengapa? Karena pada hakikatnya, kita yang menonton film, kita juga tahu batasan-batasan hal yang menurut kita salah, maka kita seharusnya mampu memilah dan memilih tontonan, sesuai dengan umur dan batasan kita. Terutama jika memiliki anak, maka sebagai orangtua, peran untuk melakukan sensor secara mandiri terhadap tontonan anak adalah hal yang wajib dilakukan.

Banyak kita temukan dalam keseharian, ketika ada orangtua yang mengajak anaknya untuk ke bioskop dan menonton film-film yang dikategorikan untuk penonton dewasa. Jika orangtua tak bijak dalam memilih tontonan, bisa saja hal tersebut mempengaruhi psikologis anak dan mampu membuatnya trauma. Misal, dengan menunjukkan adegan sadis yang ada pada film.

Maka jangan hanya salahkan Lembaga Sensor Film (LSF) soal sensor ini. Melakukan sensor adalah tugas kita bersama. Maka jika #BudayaSensorMandiri sudah teraplikasikan dalam kehidupan masyarakat, maka film yang ditonton nantinya akan memberikan dampak baik kepada kehidupan kita, juga mampu menciptakan keharmonisan antar masyarakat.

Itulah beberapa hal yang penulis dapatkan selama berkunjung ke LSF. Pengetahuan saya mengenai LSF akhirnya bertambah, dan kesalahpahaman saya terhadap LSF selama ini akhirnya terjawab. 

Yuk, sebagai penikmat dan pecinta film, kita dukung terus perfilman Indonesia, dan belajar untuk pandai memilah dan memilih tontonan. Yuk aplikasikan #BudayaSensorMandiri dalam kehidupan sehari-hari!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun