Posisi LSF berada di tengah-tengah, yang bisa dibilang serba salah. Misal, di sebuah film, adegan A jika disensor, maka pihak kiri akan marah dan protes. Lalu, jika diloloskan, pihak kanan akan marah dan protes juga, mengapa adegan itu bisa diloloskan. Maka, satu-satunya solusi untuk hal tersebut adalah dengan membudayakan perilaku sensor mandiri.
Mengapa? Karena pada hakikatnya, kita yang menonton film, kita juga tahu batasan-batasan hal yang menurut kita salah, maka kita seharusnya mampu memilah dan memilih tontonan, sesuai dengan umur dan batasan kita. Terutama jika memiliki anak, maka sebagai orangtua, peran untuk melakukan sensor secara mandiri terhadap tontonan anak adalah hal yang wajib dilakukan.
Banyak kita temukan dalam keseharian, ketika ada orangtua yang mengajak anaknya untuk ke bioskop dan menonton film-film yang dikategorikan untuk penonton dewasa. Jika orangtua tak bijak dalam memilih tontonan, bisa saja hal tersebut mempengaruhi psikologis anak dan mampu membuatnya trauma. Misal, dengan menunjukkan adegan sadis yang ada pada film.
Maka jangan hanya salahkan Lembaga Sensor Film (LSF) soal sensor ini. Melakukan sensor adalah tugas kita bersama. Maka jika #BudayaSensorMandiri sudah teraplikasikan dalam kehidupan masyarakat, maka film yang ditonton nantinya akan memberikan dampak baik kepada kehidupan kita, juga mampu menciptakan keharmonisan antar masyarakat.
Itulah beberapa hal yang penulis dapatkan selama berkunjung ke LSF. Pengetahuan saya mengenai LSF akhirnya bertambah, dan kesalahpahaman saya terhadap LSF selama ini akhirnya terjawab.Â
Yuk, sebagai penikmat dan pecinta film, kita dukung terus perfilman Indonesia, dan belajar untuk pandai memilah dan memilih tontonan. Yuk aplikasikan #BudayaSensorMandiri dalam kehidupan sehari-hari!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H