Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"Dear Diary" Bab 3: Home Sweet Home

29 Januari 2021   07:01 Diperbarui: 29 Januari 2021   07:27 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab sebelumnya : "Dear Diary" Bab 2 : Best Friend, Venushara

Hamparan lapangan yang penuh dengan rumput ada di sebelah kananku, beberapa anak terlihat sedang bermain bola. Di sebelah kiri, rumah-rumah berjejer rapih dengan bentuk  yang berbeda-beda. 

Seorang laki-laki berambut ikal menghampiriku, dia mengenakan kacamata serta jaket berwarna biru tua. Aku memperhatikannya dari jauh, ah iya, aku kenal dengan orang ini.

"Hei Raja!" sapaku kembali.

Raja Aldevano Putra. Dia tinggal tak jauh dari rumahku. Sementara aku merasa diriku sangat buruk, Raja adalah orang yang masa bodoh.

Raja berjalan menghampiriku, lalu diam sebentar sembari menatap wajahku yang sedang tidak bahagia ini.

"Kaki gue kesemutan, bentar." Raja menggerak-gerakan kakinya, melakukan gerakan seperti sedang pemanasan sebelum senam.

Aku menoleh ke arah kiri dan kanan, tidak ada orang. Aku menatap Raja dengan heran, cukup aneh memang.

"Boleh gue temenin jalan?" tanya Raja, yang masih memegang kakinya, mungkin kesemutannya belum reda.

"Tentu, kenapa tidak?" jawabku.

"Baiklah." Raja menganggukkan kepalanya, dia melepas pegangan di kakinya dan mulai berjalan bersamaku.

Aku berjalan di depannya, sedikit menoleh ke kakinya. Astaga, dia tidak menggunakan alas kaki apapun. Raja agak aneh.

"Lo baik-baik aja?" tanyaku penasaran.

"Sepatu, sendal, siapa yang butuh itu?" jawab Raja yang menoleh ke arahku sembari tersenyum.

Aku memalingkan muka, dasar aneh. Aku kembali berjalan tanpa berbicara apapun.

Raja seakan-akan mengerti arti tatapanku, ia menjawab "Mungkin lo gak tau, kalau jalan dengan kaki telanjang itu baik buat Kesehatan juga ketenangan hati. Kalau lo gak percaya, coba cek google deh."

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala, pura-pura setuju. Ya, walaupun aku juga penasaran sih. Tapi yasudahlah, lupakan saja.

Raja tampak sedang berpikir untuk mencari bahan obrolan, "Jadi, Hindia, apa gue benar?"

"Apa?" tanyaku bingung.

"Hindia, lo suka musik mereka?" tanya Raja sok tahu.

"Itu nama band yang jelek." Jawabku terus terang. Hindia, sudah seperti nama negara saja.

"Nggak, sempurna." Bantah Raja. Tangannya membentuk tanda perfect, lingkaran dengan tiga jari di belakangnya.

Aku tertawa, "Ngga sempurna? Pasti musiknya buruk."

Muka Raja berubah menjadi agak kecewa, ia memelankan tempo jalannya. "Gue punya album mereka, merchandise edisi terbatas, playlist spotify nya, jika mau ikut, kita bisa dengar kapan-kapan."

Aku sedikit bingung, antara ingin menjawab iya atau tidak.

"Oh, ya mungkin." Jawabku agak kikuk. Aku menatap wajah Raja dari belakang.

Raja berbalik ke arahku, "Gue ga maksa. Ini cuman karena rumah kita sangat dekat dan kita belum pernah ngobrol sekalipun."

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, "Oke, kapan-kapan gue mampir."

Raja pun mengangguk senang, ia membalikkan tubuhnya dan melambaikan tangannya ke arahku. Dia kembali membalikkan badannya dan meniru gerakan seorang maestro piano terkenal, "Dunia ini indah Clare, maka nikmatilah selagi engkau masih memilikinya."

Aku tersenyum, Raja kembali berjalan pulang, aku kembali berjalan menuju rumah. Rasanya, aku ingin hidup sepertinya yang terlihat tidak punya beban.

***

Home sweet home

Perkenalkan, inilah rumahku yang sederhana. Rumahku memiliki 3 kamar yang cukup besar, dan tingkat 2 lantai. Tidak sebesar rumah-rumah mewah pada umumnya, rumahku hanyalah rumah sederhana. Aku tinggal bersama dengan kedua adik laki-laki dan dua adik perempuan, juga dengan ibu dan ayahku. Aku dan Ibu sedang tidak akur belakangan ini,

"Hei Clare, apakah itu engkau?"

"Memangnya siapa lagi kalau bukan aku?" jawabku kesal.

"Haha, baru pulang sudah marah-marah. Tidak bisakah kamu sedikit lebih sopan kepada orangtua?" tanya Ibuku yang kini sedang sibuk menyuapi adik-adikku.

Aku berjalan menuju pintu kulkas, mengambil beberapa camilan yang bisa dimakan. Ibu mendekat ke arahku, ia juga mengambil susu cair untuk adikku yang berumur 4 tahun.

"Kamu tau gak? Katanya, kemarin tetangga sebelah ada masalah sama Bu Endah, tukang sayur. Dia gak bayar-bayar dan udah nunggak selama berbulan-bulan."

Aku menghela napas kesal, "Kenapa kita harus mengurus hidup orang lain? Memangnya ibu mau membantu dia? Kalau nggak ya kenapa harus dibicarakan?"

Pintu kamarku ada di lantai atas, aku segera naik ke lantai atas. Lupakan soal Ibu yang kini sedang berteriak "Tunggu, ibu belum selesai bercerita."

Apapun yang akan kami bahas tidak penting, ibu dan aku bisa saja duduk diam selama mungkin, namun ia tetap menjengkelkan. Ya, aku tahu dia adalah ibuku, kalian tak perlu menceramahiku soal itu.

Seperti biasa, lantai atas terlihat cukup berantakan. Di lantai atas ada 2 kamar yang ditempati oleh adik laki-lakiku dan aku. Aku tidur sendirian di kamarku. Aku menoleh sebentar ke kamar adikku, ia terlihat sedang bermain game.

"Hei, Dimas. PR kamu sudah selesai?"

Adikku menoleh sebentar, lalu kembali menatap layar handphonenya, "Udah kak, pas setelah pulang sekolah. Kakak ngapain disini?"

Aku menghampiri kasurnya dan duduk, sembari mengangkat kepala sedikit untuk melihat apa yang dimainkan oleh adikku. Ternyata hanya sebuah game tembak-tembakan yang membosankan.

"Aku cuman pengen ngeliat kamar kamu aja." Jawabku.

"Kakak udah ngerjain tugas sekolah?" tanya adikku yang terlihat masih fokus dengan gamenya.

"Belum, tugas mulu setiap hari, toh, belum tentu penting juga kan?" Aku menjawab dengan sedikit rasa malas, buat apa aku mengerjakan PR? Pulang sudah sore, ngerjain PR pula.

"Yaah," Adikku melempar pelan ponselnya, mungkin ia kalah dalam game. Ia menghela napas, menoleh ke arahku "Ayolah, kak. Kata ayah kamu harus kerja keras kalau mau sukses."

"Kau sendiri juga main game. Apa main game bisa bikin kamu sukses?" tanyaku balik.

"Kakak belum tahu saja kalau gamer itu gajinya tinggi." Jawab adikku antusias.

"Dimas dimas, yang gajinya tinggi itu yang udah professional. Kalau gamer kayak kamu mah mana mungkin bisa dapet gaji tinggi." Aku nyengir melihat wajah adikku yang sedikit kesal.

Aku mulai sedikit kasihan melihat wajah adikku, "Baiklah, lupakan soal game. Bagaimana sekolahmu?"

Dimas menatap mataku, ia mendongakkan kepala dan menghela napas, "Seperti biasa, Devano meninju wajah Rizky, dan sekarang ia ada di ruang kepala sekolah."

"Benarkah?"

"Ya, kurasa aku target berikutnya. Jadi, aku menyusun rencana."

"Apa rencanamu?"

"Membuat kostum superhero dan menghajarnya kembali."

Aku tertawa pelan, "Waw, balas dendam."

"Ya, seperti itulah."

Kami terus mengobrol hingga waktu matahari terbenam tiba. Aku segera kembali ke kamarku, mengganti pakaian, dan aku ingin mengajak adikku pergi ke pasar tradisional. Camilan di rumah habis, maka tidak masalah jika sesekali aku membelikannya jajan.Ya, walaupun aku juga bukan berasal dari keluarga kaya.

Di sisi lain, aku masih belum tahu apakah aku punya kekuatan super atau tidak. Mungkin, yang terjadi tadi siang di kafe hanyalah kebetulan belaka, atau jangan-jangan benar-benar terjadi?

Ah sudahlah, lupakan saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun