Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memaknai Cerita Rakyat, Apa yang Akan Terjadi Jika Malin Kundang Hidup di Zaman Ini?

10 Januari 2021   07:16 Diperbarui: 11 Januari 2021   04:02 1949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batu Malin Kundang di pesisir Pantai Air Manis, Kota Padang, Sumatera Barat. (KOMPAS.com/CHOIRUL HUDA)

Ibunya sakit hati teramat sangat. Dirinya tak percaya bahwa Malin yang dulunya amat patuh menjadi anak yang durhaka. Ibunya akhirnya mengutuk Malin menjadi batu. Seketika hujan turun lebat dan petir menyambar, seketika Malin Kundang berubah menjadi batu.

Lantas, bagaimana jadinya jika Malin Kundang hidup di zaman ini?

Mungkin ceritanya tak akan jauh berbeda. Malin bisa saja menjadi pembisnis sukses, atau seorang politikus, atau orang terkenal. Pasti akan menarik perhatian orang-orang jika ibu dari seorang pebisnis adalah seorang yang miskin.

Bisa saja, anaknya akan menyuruh ibunya agar tak mengakui bahwa dia adalah anaknya di depan publik, atau bisa jadi ia akan menyampaikan secara terang-terangan bahwa itu bukanlah ibunya.

Mengapa Malin Kundang begitu malu dengan kondisi ibunya?

Ini adalah pertanyaan paling penting di ceritanya. Mengapa Malin harus malu? Memangnya kenapa kalau Ibunya miskin? Mungkin kita akan bertanya-tanya seperti itu. Padahal, hal yang dialami Malin adalah bentuk implementasi dari rasa insecure yang berlebihan.

Malin merasa Insecure dengan kondisi keluarganya yang miskin, ia malu mengakui hal tersebut. Ia takut harga dirinya turun, dan orang-orang akan menertawakan dirinya. Apalagi ia sudah menjadi saudagar kaya, bagaimana mungkin ibunya adalah seorang yang miskin?

Dengan rasa insecure terhadap keluarga sendiri, membuat Malin dikutuk menjadi batu. Insecure memang menjadi permasalahan yang dialami oleh setiap manusia. Merasa diri rendah, merasa keluarga rendah, merasa tidak hebat dan tidak punya apa-apa, membuat diri kita jadi terkekang dalam kegelisahan yang membuat hidup kita berantakan. Seakan-akan segala anugerah yang diberikan tuhan sudah tak ada lagi harganya.

Dengan segala ketamakan, kita merasa ingin memiliki segalanya. Hal itu terjadi pada Malin. Ia haus akan kekayaan dan popularitas. Oleh karena itu, jika ia mengakui bahwa wanita itu adalah ibunya, maka popularitasnya akan turun dan orang-orang akan menjauhinya. Padahal kenyataannya belum tentu seperti itu. Namun otaknya sudah was-was, dan dia membuat kemungkinan sendiri dan keputusan yang tidak tepat.

Kita bisa saja menjadi Malin. Apalagi di dunia yang sudah berkembang ini. Rasa haus akan popularitas, kadang membuat kita lupa dengan jati diri kita sendiri. Kita sibuk mencari like, comment, dan follower. Namun pada akhirnya hal itu hanyalah semu belaka. Satu-satuna cinta yang abadi adalah cinta keluarga, bukan cinta di dunia maya.

Mengapa hanya Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu? 

Bukankah ada banyak anak durhaka di dunia ini? Mengapa hanya Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu? Pertanyaan itu akan sering kita dengar ketika mendengar kisah Malin Kundang.

Jawabannya sederhana, mungkin sekarang tak ada lagi yang dikutuk menjadi batu, namun bukanlah tubuhnya yang menjadi batu, melainkan hatinya. Banyak orang yang tak sadar, ketika ia durhaka kepada orang tuanya, hatinya akan menjadi semakin keras seperti batu. Empati akan hilang, dan kesombongan semakin menjadi-jadi. Mungkin itu adalah cara terbaik untuk menghukum orang-orang yang durhaka.

Dengan hati yang keras, hidup kita akan berjalan bagai peperangan, kita akan menganggap orang yang tak sejalan sebagai musuh, dan apapun kita lakukan demi mencapai kekuasaan juga popularitas. Pada akhirnya, hidup kita akan berantakan. Walau sukses, hati kita tetap tak akan tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun