Pembangunan tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon dan deforestasi," Tweet Menteri LHK RI, Siti Nurbaya Bakar (3/11) lalu.
Viral! Tweet yang ditujukkan kepada kritik publik merespon pernyataan Presiden Joko Widodo pada pertemuan COP-26 Glasgow, Senin (1/11). Â Dimana kritiknya menyasar pada klaim-klaim Pemerintah yang berhasil menurunkan laju Deforestasi dan kebakaran hutan Indonesia pada rentang 20 tahun terakhir.
Secara konteks, Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar --dalam tweetnya- seolah ingin mengatakan jika definisi Deforestasi terlalu tajam, dan tidak adil buat Indonesia yang sedang berkembang dalam proses pembangunan?
Artinya, pembangunan daerah di sekitar hutan/pedalaman pelosok Nusantara sulit terhenti oleh alasan Deforestasi. Karena dinilai akan bertentangan dengan mandat UUD 45, dalam upaya menggapai makna kesejahteraan rakyat, dari sisi sosial dan ekonomi. Benarkah?
Lantas, apakah pembangunan yang gencar kini --memang- tidak boleh berhenti atas nama deforestasi dan emisi?
Melihat perbandingan itu, kita bisa saja bersepakat, jika jawabannya pastilah akan tergantung dari jenis pembangunan apa yang sedang dimaksud? Jika berupa pembangunan infrastruktur yang tidak bernilai 'berkelanjutan' semestinya wajar diperdebatkan! Terlebih kegiatan-kegiatan eksplotatif sengaja merusak hutan dan alam!
Nah, pertemuan COP-26 Glasgow, seyogyanya sudah menyampaikan pesan kuat atas komitmen dunia --termasuk Indonesia- terkait penanganan isu perubahan iklim itu, lewat konsep-konsep pembangunan green ekonomi.
Dan terpenting juga adalah, hadirnya arah dukungan kita semua, yang mendamba keasrian dan keramah-tamahan lingkungan alam terwujud, agar mampu tampil kekal, dirasakan anak cucu kelak. Â
Muaranya, dukungan massif itu akan mampu memberikan nilai tambah, atas bertumbuhnya industri-industri baru, mewujudkan makna kesejahteraan.
Mandalika, model pembangunan green economy Indonesia?
Mandalika sedang hits kini ya? Salah-satu faktorya dikarenakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika ini, sudah terbangun arena sirkuit Mandalika, sirkuit balapan bertaraf internasional, yang diharapkan menjadi katalisator geliat Destinasi Super Prioritas (DSP) Mandalika.
Et, sebelumnya --bertanya dahulu- sudah relakah kita menukarkan alas pembangunan DSP Mandalika yang bisa saja diklaim sebagai produk "deforestasi' yang diperuntukkan pembangunan sirkuit Mandalika itu sih?
Jawaban itu bak benang merah di awal tulisan ya? Mengena urgensi pembangunan Infrastruktur Indonesia yang bersinggungan erat dengan definisi deforestasi lewat beragam tafsir-tafsirnya.
Dan harus jujur, pada akhirnya, pembangunan Infrastruktur sirkuit balapan di Mandalika, sudah menjadikan kebanggaan segenap bangsa Indonesia, menghadirkan industri baru, yakni industri wisata, yang sanggup menopang misi green ekonomi, COP-26.
Dimana green ekonomi akan berfokus pada pembangunan ekonomi berkelanjutan, diiringi dengan penurunan resiko kerusakan lingkungan. Yakin?
Yuk lihatlah peta! DSP Mandalika sebenarnya hanyalah secuil wilayah pesisir Nusantara yang berada di kabupaten Lombok tengah, NTB, luasnya sekira 1.035 hektare. Namun secuil 'alas pembangunan' itu layak menyampaikan pesan komitmen COP-26 Indonesia. Terutama menyampaikan alasan penting, jika pembangunan memang harus tetap berjalan, dengan  melewati prinsip-prinsip keberlanjutan dan pelastarian alamnya disana!
Meyakinkan hal itu, proses pemilahan lahan pembangunan Mandalika yang ---berpotensi-- Â dicap 'deforestasi' akan memiliki alasan/kriteria khusus dalam hal menghadirkan kemanfaatannya, bagi kehidupan sekitarnya, alam dan masyarakat lokal. Cek!
Pertama, lokasi Mandalika strategis sebagai DSP
Alasan paling logis? Letak DSP Mandalika berdekatan dengan akses destinasi wisata primadona Indonesia lainnya, Taman Nasional Komodo di NTT dan destinasi wisata Bali, serta destinasi wisata Nusantara.. Hal ditambah lagi hadirnya infrastruktur Bandara Internasional Lombok Zainuddin Abdul Madjid, Â memudahkan menggapainya.
DSP Mandalika mampu menyerap ragam investasi, yang sanggup membangunkan ragam resor villa, dan hotel dan terselip di spot-spot ekonomi terbaik, memanja wisatawan selama di sana. Dan akhirnya, semua kepentingan ekonomi akan mengalir pada kemajuan daerah, dan kebanggaan negara.
Kedua, terselip spot wisata bahari yang mempesona
DSP Mandalika sengaja memajang pesona ragam pantai yang sangat menawan. Sebut saja pantai Serenting, pantai Seger yang juga menjadi lokasi upacara tradisi adat.
Dicatat gih, di Pantai lainnya, seperti pantai Mawi, Ubrug atau Seger, menawarkan kualitas Ombak pantai terbaik lho, seraya kita bisa berselancar ria di atasnya. Nah, kolaborasi sport-tourism dan eco-tourism, menjadi eco-sport tourism pastilah sangat memanja dan berkarakter instagramable untuk disave di memory media-sosial kita, untuk lekas diviralkan!
Ketiga, melimpahnya kekayaan kebudayaan Mandalika
Mandalika menyimpan kekayaan kebudayaan bernilai tinggi, yang terselip di desa-desa wisata yang terletak berdekatan dengan DSP Mandalika. Ada desa Sade dan Ende yang siap mempertunjukkan ragam kearifan lokal, yang patut diteladani. Dan juga desa Tetebatu yang mendunia.
Tak salah jika, kekayaan pesona alam ini layak untuk dikapitalisasikan, guna menyemburkan makna kesejahteraan bagi masyarakat lokal? Dan terpenting adalah kearifan lokal akan  mampu menularkan sikap kepedulian wisatawan kepada alam dan kehidupan di sekitarnya, ya setelah menyaksikan lansgung ke Mandalika.
Bak peribahasa lawas  berkata, "sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui." Nah peribahasa itu rasanya akan mampu mewakili legitnya pesona Wonderful Indonesia, dalam memuaskan dahaga berwisata alam, di Indonesia aja.
Dan sekaligus menunjukkan rasa kepedulian terhadap ancaman perubahan iklim kini dan  nanti? Mari menjawabnya soal itu!
Mensesapi Lombok-Mandalika, mereflleksikan Go Green dalam diri kita?
Menyibak tabir rahasia, tentang bagaimana masyarakat adat Mandalika mampu menjaga kekayaan alam mereka hingga kini, bisa menjadikan misi serius berwisata di Lombok-Mandalika lho? Hal itu ternyata mudah sekali dilakukan, ya salah satunya, lewat penjelajahan di desa Tetebatu yang dapat dijangkau dari DSP Mandalika.
Sebuah rahasia umum sih, jika masyarakat desa Tetebatu dari dahulu menggantungkan hidupnya dari kekayaan alamnya. Mereka tahu betul bagaimana merawat alam sekitar, menafkahi kehidupan mereka dari bercocok tanam.
Akhirnya ragam aktivitas itu menghasilkan ragam kuliner khas nan menyehatkan, yang patut kita jua rasakan? Belum hal lainnya, dimana  bahan-bahan alam mampu menciptakan produk ramah lingkungan berupa benda-benda kerajinan tangan, seperti tenun mencukupkan gaya hidup harian mereka, tampil pantas dan layak.
Pelajaran, untuk merasakan kehidupan bersama alam dan masyarakat desa Tetebatu, pastilah memunculkan karakter kuat, memahami urgensi keramah-tamahan alam pada diri kita. Dan menuntut kita kembali memberikan kepedulian kepada alam kan?
Lewat jelajah wisata life-experience bersama masyarakat desa Tetebatu. Penjelajahannya memungkinkan kita terlibat langsung menjalani kegiatan harian, terbalut dalam paket wisata eco-farm, seperti menanam padi, hingga memetik hasil rempah pertaniannya sendiri, menjadikannya bahan kuliner khas, serta membawanya pulang sebagai bekal oleh-oleh istimewa.
Memandangi Lanskap desa Tetebatu yang berupa pengunungan, kita dibuat kagum atas arsitektur pertanian, sawah bertingkat, yang efektif meredakan jiwa, mensukuri karunia Tuhan, yang tak mampu didustakan. Sembari membiarkan tangan kita tetap aktif, menjaja image-story instagramable di media sosial.
Rasa-rasanya, pesona keindahan alam di Mandalika tak mungkin kita hindari? Desa Tetebatu jua menghadirkan air terjun sarang walet, yang menjanjikan kemurnian alam, berupa limpahan air terjun, yang terselip di belantara pepohonan hijau. Semua hal itu, ternyata mudah dijangkau via ayunan gesit langkah kaki kita, yang mengembara di sudut-sudut desanya.
Kesejukan udara Mandalika, pantaslah menambah energi lincahnya kedua kaki kita menjajal tanjakan di kaki-kaki gunung Rinjani. Di sana juga terdapat trek menjajal nyali bersepeda gunung, menemukan rahasia alam yang terselip selama melintasinya.
Jika waktu dan energi masih memungkinkan, untuk terus bercengkrama di Mandalika, Kawasan Nasional Gunung Rinjani (TNGR) setia menjadi rumah kedua, menyediakan pondasi tenda, untuk kita berkemah-ria.
Tunggulah pergantian waktu, siang ke malam hari, guna menikmati kehidupan malam bersama binatang endemik TNGR. Celepuk Rinjani, sosok hewan endemik sesekali akan muncul dan menyapa kita. Pada saat itulah, tangkapan kamera kita akan menghasilkan kehidupan alam nan asri, dan pastinya akan memenen banyak like di laman media sosial kita.
Nah wisata Lombok-Mandalika, tentu akan menjadi alasan untuk mendatanginya guna belajar bersama kembali, merawat alam, lewat kearifan lokal masyarakat di sana. Serta meyakinkan diri, jika suatu hari nanti, DSP Mandalika sebagai wonderful Indonesia, akan terus ada dan tetap lestari.
Mampukah Wisata Mandalika, tunjukkan kepedulian terhadap perubahan iklim kini nanti?
Jika  memilah destinasi wisata yang ada di Nusantara, pastilah tidak ada habisnya, dan terlalu banyak pilihannya kan? Namun Lombok-Mandalika tentu saja memberikan ruang wisata pembeda, yakni ruang wisata olahraga dan alam yang tak terbatas. Dan jika dibedah secara filosofis istilah sport --olahraga-- dan ecology --alam-- mengantarkan makna kesehatan serta kesimbangan. Sehingga keduanya akan mampu saling melengkapi.
Branding itu, wajar disematkan? Terlebih sirkuit Mandalika mampu memusatkan perhatian kita pada gelaran Balapan kedua Moto GP pada Maret 2022 mendatang? Lantas dimanakah letak esensi green economy, yang mampu menawar klaim deforestasi, menyaji prosesi awal penyiapan lahan pembangunan hingga menjadi sirkuit megah Mandalika itu?
Kita akan mampu memahami, jika ajang olahraga internasional sangatlah penting mendulang antiusiasme beragam entitas bangsa, yang mampu menjelma sosok wisatawan. Karena olahraga sudah mampu menjadi sebuah kebanggaan entitas bangsa, yang terlibat dalam ajang itu kan? Dari situlah, titik simpul Eco-Sport tourism bertemu.
COP-26 sudah menjadi komitmen bersama atas transisi menghembuskan net-zero emmison 2050 mendatang. Nah, harapan selanjutnya bagaimana DSP Mandalika menjadikannya momentum bertransisi, mengakselerasi dan mengadaptasi konsep ekologi lombok-Mandalika, berupa pesona alam yang asri. Dimana adaptasi itu, harusnya mampu menawarkan ide baru, seputar pemutakhiran teknologi ramah lingkungan yang berlaga di sirkuit Mandalika, dan menjaja event olahraga ramah lingkungan lainnya.
Membayangkannya, bisa saja di ajang Moto GP nanti, sudah tersedia teknologi mesin motor balap yang berhasil menggunakan bahan-bakar ramah lingkungan sekelas biofuel sawit atau energi listrik? Ah, keberhasilan itu bisalah menjadikan pemacu dari hadirnya green economy, yang membawa keramah-tamahan lingkungan, sekaligus menyenangkan hati selama berwisata di Mandalika.
Jika sudah begitu, apakah  pembangunan itu harus berhenti oleh emisi dan deforestasi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H