Nah, di Juli 2021 Indonesia juga mengumandangkan Gastrodiplomasinya, bertajuk Indonesia spice up the world, memperkuat industri kuliner dan kekayaan rempah RI.Â
Nampaknya, Gastrodiplomasi kala itu ingin mengulangi tren apik, melejitnya menu rendang ala Sumatra sebagai makanan terlezat versi CNN di 2011.
Nah predikat DSP Toba, sekelebat sudah menjadikan celah harapan. Jika kuliner-kuliner Toba harusnya juga lebih massif menjamu gairah cita rasa, mengundang para wisatawan, menggeliatkan DSP Toba, menggapai tujuan Gastrodiplomasi.
Bagian ini bisalah kita anggap sebagai bagian hilir tujuan DSP Toba itu? Artinya sukses tidaknya produk  DSP Toba, akan tergantung dari bagian hulu DSP Toba? Dan bagian ini akan menjadi  hal serius dalam tulisan ini.
Merawat Ikan Mas, merawat Heritage of Toba?Â
Sejarah Danau Toba --memang- mampu menularkan nilai pada ekosistem sekitarnya? Salah-satunya yakni fauna akuatik ikan mas yang --sejatinya- mampu berkembang sehat di sana.Â
Dalam konteks budidaya perikanan, potensi Danau Toba menjadi ganda dan akhirnya tumpang tindih dengan kepentingan berkonteks industri pariwisata sendiri kan?
Bisa dikatakan, ikan mas sudah menjadi sandaran peran sosial-ekonomi masyarakat Toba. Hal itu sudah menjadi dilema untuk diurai?
Sajian Arsik --misalnya- yang menggunakan bahan ikan mas, sudah menjadi simbol karunia kehidupan masyarakat Batak. Kehadiran sajian ini bermakna penting dalam upacara adat batak, terutama mengenai makna jumlah angka-angka ganjil ikan arsiknya.
Satu ekor, diperuntukkan bagi pasangan yang baru menikah. Tiga ekor diperuntukan bagi pasangan yang baru menikah. Lima ekor diperuntukan bagi pasangan yang baru memiliki cucu. Tujuh ekor diperuntukkan bagi pemimpin bangsa Batak.