Mohon tunggu...
Alfian Arbi
Alfian Arbi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aquaqulture Engineer

Aquaqulture Engineer I Narablog

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fiksi Millenial Itu Merayakan "May Day" dengan Wisata, Apa Bisa?

1 Mei 2018   18:33 Diperbarui: 2 Mei 2018   12:41 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mark Zuckerberg, Jack Ma, Susan Wojcicki, dan Brian Chesky adalah CEO-CEO sukses yang tak hanya belajar satu bidang ilmu Saja Guys!"

Ahh, bagi kita yang guthak-gathik Smartphone, terus meng-uploadnya ke Medsos, pasti kenal dong dengan tokoh-tokoh di atas? Betapa nikmatnya generasi Millenials kini ya, bisa ber-online ria, mulai dari berbelanja-ria hingga berdakwah agama mencari pahala surga, memakai jasa produk mereka.

Ketergantungan bergawai-ria tersebut lantas membuat tokoh di atas bergelimang harta alias kaya-raya. Di dalam konteks duniawi, siapa sih yang tidak mau jadi pengusaha, bos gitu.

Masa iya, Milineals seperti kita mau jadi buruh --eh maaf karyawan- terus? Kalau jawabannya soal takdir dari Tuhan, ya sudah selamat menikmati hari buruh-mu hari ini ya.

May-Day identik dengan ramai-ramai para 'buruh' di jalanan untuk meminta perhatian akan kesejahteraannya --masih soal upah- kepada para pengusaha lewat tangan Pemerintah. Ramai-ramai ini, terus saja menjadi menu tahunan, dan menjadi momok Pemerintah yang bisa dikaitkan dengan aspek-aspek politis dan ekonomis.

Kapan selesainya, entahlah? Dan kapan para buruh akan puas terhadap semua keinginan perutnya, jika dikondiiskan dengan kenyataan pasar ekonomi yang bebas nan ketat saat ini?

Biar tidak menggantung jawabannya, buat jawaban fiktif sajalah, mungkin berakhirnya sampai kita --para buruh- menjadi penguasaha yang sukses dong, seperti nama kakak-kakak yang saya sebutkan di atas.

Tapi, dulu ketika kita sekolah, apa iya pernah punya mimpi yang tinggi menyaingi tokoh di atas tadi? Jangan jangan cita-citanya hanya mau jadi Presiden saja.

Nah, dari titik ini saya ingin mengajak berdiskusi yang ringan-ringan saja-lah, tentang bagaimana semestinya para Milineals bisa membuat fiksinya sendiri, agar di setiap hari buruh --May Day- selalu saja happy-ending bersama orang yang kalian sayangi.Hemm..

Fiksi yang dibangun tentu atas dasar kemauan dan kerja keras serta selalu ber-musahabah diri untuk yakin dan bisa tampil mandiri. Nah itu mungkin kuncinya, pegang dulu kunci itu sebentar, Guys!

Buruh Dan Lapangan Kerja Global!

Agar tidak salah paham, ayo dibuka dulu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang merujuk kata buruh. Sederhananya, definisi Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan harapan imbalan upah. Nah apakah kita bagian dari itu?

Harus diakui, tidak semua orang mau dikatakan buruh. Gengsi ya-kan? Fenomena semacam itulah, yang membenamkan buruh pada kasta terendah status sosial di masyarakat kita.

merdeka.com
merdeka.com
Dan istilah buruh sering dimanfaatkan dalam isu-isu perjuangan Politik. Meski tidak semua buruh itu memiliki kesamaan-kesamaan dalam banyak hal. Ya, kesamaan dalam hal politis itu misalnya.

Meskipun sekalipun kita sering menganggap, kita adalah manusia yang terdidik namun ketika masih bekerja pada orang lain? Tetap saja bisa dibilang, ya kita adalah buruh yang terampil! Mau apa?

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah angkatan kerja Indonesia pada Februari 2017 sebanyak 131,55 juta, sedangkan penduduk pekerjanya mencapai 124,54 juta. Jumlah ini naik sebanyak 6,13 juta orang dibanding pada semester sebelumnya, dan bertambah 3,89 juta dibandingkan pada Februari 2016.

Dari data diatas kita bisa bayangkan, betapa besarnya jumlah buruh di Indonesia, dan ketergantungannya terhadap para investor mana saja yang memberikan modalnya membangun lapangan kerja di Indonesia. Selain itu, pekerjaan rumah yang terberat bagi Pemerintah terus menihilkan angka pengangguran saat ini.

Jika kita merujuk pada data yang pernah disuguhkan Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri,  dimana sampai awal 2018, angka pengangguran mencapai 5.5% dan itu merupakan angka terendah di era reformasi Pemerintahan Indonesia.

Angka tersebut memang harus diakui tak lepas dari peran sektor pendidikan yang dinilai mengalami peningkatan. Dimana output-nya dapat menciptakan keahlian tenaga kerja --buruh- yang tampil kompetitive.

Dan yang perlu diperhatikan, meningkatnya sektor usaha kreatif dalam UKM telah mampu memperkerjakan 5-10 orang dalam satu unit produksi. Lumayanlah, sektor itu ampuh dimana masih banyak yang berfokus mencari pekerjaan. Sedangkan berapa lainnya telah mampu menciptakan lapangan kerja.

Nah fakta tadi, tentu akan membuat Pemerintah terus mendoroang sektor kreatif agar terus dapat berkembang, seperti bisnis E-commers misalnya. Nah sudah siapkah kita, menjemput kesempatan itu? Dengan belajar tentunya persis tokoh-tokoh di atas ya.

Institusi Pendidikan Indonesia Sebagai Pencetak Buruh Terbaik ?

Bagi generasi Milineals, yang baru saja merayakan kelulusan di jenjang SMA/SMK, ataupun jenjang sarjana pun, pasti telah merasakan buasnya hidup kan? Apalagi kalau bukan, sana-sini mencari pekerjaan yang layak dan sesuai spesifikasi bidangnya.

Dengan sempitnya lapangan kerja ditambah lagi kompetisi pasar bebas tentu saja, harapan tidak sepenuhnya digantungkan kepada Pemerintah. Apalagi harapan itu terus digantungkan dalam ajang Pilpres 5 tahunan. Yah ujungnya menggantungkan pada harapan bertambahnya formasi CPNS.

Harusnya ada inisiasi untuk belajar apa saja agar bisa mengkoleksi kemampuan dan ketrampilan lainnya untuk berkompetisi mencari pekerjaan, bahkan peluang mencipta pekerjaan.

Melihat data lagi, pada range agustus 2016-2017, institusi pendidikan SMK menjadi lumbung pengangguran tertinggi di Indoneisa. Apa yang salah dari sistem pendidikan kita ya? Padahal, SMK merupakan institusi pendidikan dengan karakter pendidikan yang kuat dalam pencitpaan tenaga kerja siap pakai.

katadata.co.id
katadata.co.id
Tapi, melihat kembali tokoh-tokoh diatas. Dimana Mark Zuckerberg, Jack Ma, Susan Wojcicki, dan Brian Chesky adalah CEO-CEO sukses yang tak hanya belajar satu bidang ilmu. Dan ajaibnya lagi mereka tidak alergi untuk belajar hal lainnya.

Coba tengok beberapa CEO yang berlatar belakang humaniora seperti Jack Ma (Alibaba) dan pendidikan bahasa Inggris, Susan Wojcicki (Youtube) yang mengambil studi sejarah dan sastra, serta Brian Chesky (Airbnb) yang meraih gelar Bachelor of Fine Arts.

Namun akhirnya, mereka tak jua bekerja sesuai latarbelakang pendidikannya kan? Terlebih mau menjadi buruh pengusaha. Mak-jleb kak..

Apa Mungkin Ada Yang Salah Dari Sistem pendidikan Kita Ya?

Mengawali semua dari proses belajar apa saja memang nampak terasa berat ya. Namun jika dilakukan secara spontan dan senang. Semuanya akan baik-baik saja.

 Semisal nih, tidak ada salahnya anak jurusan sastra bahasa Inggris belajar tentang tekhnisi komputer. Atau anak kedokteran belajar banyak hal tentang masak-memasak. Semua keterampilan tadi bisa menjadi added value untuk menukarkan waktu yang belum didapat dalam mencari pekerjaan sesuai latar belakang. Dan malahan bisa memberikan ide dalam usaha yang nyata. 

Merenungi pendapat dari Profesor bidang Humaniora dan ekonomi dari Northwestern University, yakni Gary Saul Morson dan Morton Schapiro.

 Keduanya berpendapat jika ilmu ekonomi yang diajarkan kepada para Mahasisiwa kerapkali mengabaikan tiga hal, yakni efek budaya terhadap pembuatan keputusan, kegunaan cerita dalam menjelaskan tindakan masyarakat serta perkara etika. Lalu Morson dan Schapiro menjelaskan kembali salah satu cara memahami masyarakat dan budaya adalah melalui kajian sastra atau novel. 

Novel fiksi dapat diyakini bisa mendorong pemahaman  tentang masyarakat, karena cerita yang dijelaskannya dapat mengembangkan empati. Ya, memang pendapat ini bisa jadi sama dengan pendapat bang Rocky Gerung, yang menyatakan Fiksi bisa menjadi energy untuk dapat meledakaan angan kita dalam mewujudkannya di masa yang akan datang. Millineals harusnya memang kaya dengan Fiksi.

Coba saja kita melihat di sekeliling kita, pemahaman kebutuhan masyarakat yang nyata bisa saja dikonversi menjadi bisnis dengan untung besar lho. Apa itu, sebut saja layanan transportasi on-line atau Ojek online.

 Rasakan animo masyarakat pun dahsyat kan? bahkan sebagian dari mereka menggantungkan mobilisasinya kepada layanan transportasi online. Efisiensi waktu dan tenaga tak pelak berimbas kepada produktivitas warga kota, dan pada akhirnya bisa berefek pula terhadap perekonomian dan aspek-aspek kehidupan lainnya. 

Nah bisa saja, pendekatan kolaboratif yang melibatkan dua atau lebih bidang ilmu diterapkan dalam sistem akademik kita. Karena upaya tersebut bisa lebih mengkaji suatu fenomena dari aneka perspektif.

 Dan kolaborasi yang dikenal dengan interdispliner bisa saja melahirkan solusi dan ide-ide kreatif. Namun memang harus diakui, di Indonesia sendiri sangat sulit menerapkan pendekatan pembelajaran seperti itu, karena sering dianggap melanggar etika keilmuan. Alasanya, adalah pengkajian ilmu oleh orang-orang yang bukan ahlinya dianggap tidak pantas dilakukan. Hal itu argumen yang dilayangkan oleh Setya Yuwana dalam tulisannya. 

Padahal pendekatan pengajaran interdispliner dapat menambah kemampuan berkomunikasi karena bertambahnya pemahaman bidang-bidang tertentu. 

Namun apa sih yang tidak bisa buat Milleneals, solusinya kita bisa saja kembali mengambil peran Tehnology, meski terhalang oleh sistem terhadap pengenalan pendekatan interdispliner tadi. Kita mudah menerapkannya dengan terbukanya berbagai saluran untuk mengakses ilmu pengetahuan. Informasi-informasi di ranah online berpotensi menambah khazanah pengetahuan seseorang. 

Kendati demikian, informasi yang diserap patut disaring dan dicek berulang, dibandingkan, dan terus dicari tesis serta antitesisnya agar pemahaman tidak mandek. Asal kita mau!

tribuners.com
tribuners.com
Yah, mungkin dari celah itulah, kaum millenials bisa memacu ide-ide kreatif yang out the box seperti tokoh tokoh yang sebenarnya juga tidak hanya belajar hanya satu ilmu. Dan berhasil mengenggam dunia.

 Ahh, bila kita semua bisa menjadi seperti mereka yang dapat menciptakan ide dalam meraup pundi-pundi  keuntungan. Tahun depan, bisa saja, kita menghabiskan waktu May-day di tempat tempat wisata yang romantis. Bukan di jalanan dan panas-panasan, kayak-gini-kan? Milleneals pasti bisa! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun