Fabiayyi 'aalaa'i Rabbikumaa Tukadzdzibaan. Tuhan memang maha pemurah ya? Dia maha baik-hati, mau membagikan kenikmatan SDA yang melimpah di negeri ini. Dia hanya minta barang titipan-Nya itu, dapat dimaksimalkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Mewujudkan keadilan? Iya, tentu dalam konteks ekonomi, bisa diwujudukan dalam menjaga stabilitas harga kebutuhan bahan pokok. Dengan syarat, rasa keadilan tadi harus dapat dinikmati oleh dua kelompok penting, baik para produsen/petani dan juga konsumen seperti kita-kita ini.
Terus apa mudah, mengendalikan harga bahan pokok yang terus melambung, ketika mendekati momen penting hari raya? Rumitnya itu membayangkan, jika keseimbangan supplydan demand terhadap kebutuhan barang pokok itu timpang? Tentu saja akan mengakibatkan inflasi tinggi atau sebaliknya yang memukul petani dan konsumen.
Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2017 mencatat inflasi pada saat bulan puasa berada di 0.86% dan pada saat lebaran 0.69%. Angka itu dianggap rekor baru dalam  enam tahun terakhir sebagai inflasi terendah.
Mendiskusikan lebih dalam hal ini, ayo kita blusukan dahulu di daerah pedalaman di kalimantan Timur, untuk mengetahui stabilitas harga komoditas pokok penting yakni beras. Harga beras di Kutai Barat di bulan February 2018 terus merangkak naik, ambil sample satu saja, beras ketupat 25 Kg menjadi Rp 290 ribu, padahal tiga pekan lalu hanya Rp 260 ribu. Itu belum barang pokok lainnya, lho!
Kok bisa? Jika melihat data, dimana kebutuhan beras Se-Kubar yang meliputi 16 kecamatan adalah 15 ribu ton beras/Tahun. Namun ketersediaan beras lokal oleh petani disana hanya 8 ribu ton/Tahun. Sisanya didatangkan para pedagang dari Sulawesi dan Kutai Kartenegara.
Tapi untungnya, pertama, bagi saya sebagai konsumen yang pernah tinggal di sana, tidaklah berkeberatan atas melambungnya harga tadi. Karena pendapatan perkapita penduduk pedalaman, juga lebih tinggi dari dari daerah lain. Pekerjaan di sektor pertambangan emas dan batubara, perkebunan karet yang menghasilkan pendapatan tinggi bisa menghibur dalam menjangkau harga tinggi tadi.
Kedua, dari sisi produsen/petani, juga no problemo, buat apa panas hujan membajak sawah? Jika di bawah tanah sawah mereka terdapat kandungan batu bara dan bahan mineral lainnya atas kekayaan SDA Kalimantan. Jika perusahaan tambang menginginkan itu, para petani disana berfikir, rela-rela saja melepaskan sawah mereka untuk ditambang.
Sistem fee produksi batubara, membuat hidup para petani lebih dari cukup. Sehingga industri pertanian di Kubar sebagai ujung tombak produksi menjadi tumpul. Namun tergantikan oleh sektor lain yang lebih menjanjikan.