Mohon tunggu...
Alfian Arbi
Alfian Arbi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aquaqulture Engineer

Aquaqulture Engineer I Narablog

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membumikan Sandiwara Radio, Membumikan Sadar Bencana

5 Juli 2017   21:36 Diperbarui: 5 Juli 2017   22:18 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan Sampah Di Sungai Karag Mumus I https://www.facebook.com/groups/1651081261811731/?multi_permalinks=1875656116020910%2C1873314386255083&notif_t=group_activity&notif_id=1499154028780935

"Oh iya katanya, Lurah pring sewu, si Suryo panggah juga menjadi korban tanah longsor, rumah dia yang berdiri di lereng bukit itu roboh kena longsor sampai sumurnya juga ikut terkubur. Semua terkubur tanah longsor, ada korban manusia saat itu, katanya ada lebih 8 orang mati, termasuk Suro panggah sendiri. ........ Yaaah, begitulah kalau orang mau hidup tidak mengikuti aturan. Nebang pohon se-enaknya saja, bukit yang tadinya rimbun dibuat gundul.  Kalau tidak ada pohon-pohon, kan tanah tidak punya perekat jadi gampang gembur dan longsor."

Penggalan scriptpercakapan diatas antara Ki lurah Jati Asih bersama istrinya Nyi Lurah, tertangkap basah di ruang pendengaran saya. Lalu, ruang imajinasi saya tersentak dan teringat kembali akan hal-hal positif yang luput dilakukan bersama alam. Mekipun saya bisa anggap hanya kebetulan, scripttadi cukup mujarab, untuk obat kesadaran, terutama kesadaran bencana.

Meminjam catatan seorang Sastrawan Muriel Rukeyser yang menyebut "Alam semesta terbuat dari cerita, bukan atom-atom". Mungkin masuk akal. Terbukti jika kisah-kisah legenda, mitologi dan drama kolosal berbalut sandiwara bisa menjadi penyampai pesan moral yang efektive yang asik untuk dinikmati. Pesan moral-nya bisa apa saja, termasuk pesan moral menyelamatkan lingkungan di sekitar kita.

Membuktikan itu, mari kita mundur ke-era 90-an, ketika Sandiwara radio menjadi hiburan favorite masyarakat kita, hal itu menjadi fakta, jika masyarakat kita sangat suka bermain imajinasi.Ya mau apalagi, mungkin pilihan hiburannya hanya radio saja pada saat itu.

Melalui corong speakernya, suara apapun yang keluar dari radio menjadi sumber hiburan dan informasi yang memanjakan pancapendengaran. Coba sebut saja, Sandiwara radio yang pernah nge-hitsseperti Saur Sepuh dan Tutur Tinular menjadi kisah radio yang ditunggu-tunggu. Dimana ceritanya gurih, dibumbui buaian improvisasi suara manja berkarakter tokoh-tokoh sandiwara didalamnya.

Penggalan kisah sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana (ADB), episode ke-49 diatas menjadi salah satu penggalan kecil dan berhasil menggugah hati nurani saya untuk sadar bencana. Namun sentilan tersebut, tidaklah mengganggu kekhusyukkan dari cerita utama asmara antara Djatmiko dan Setyoningsih di tengah bencana dan prahara. Duh jadi penasaran-kan kelanjutan sandiwara nanti?

Legenda Kota Sama-Rendah Dan Permasalahan Banjir-nya

Icon Samarinda ; Taman Samarendah I Dokpri
Icon Samarinda ; Taman Samarendah I Dokpri
Kata orang, Kalimantan dikatakan aman dari bencana ya, karena tidak memiliki gunung merapi dan tidak berhadapan langsung dengan terjangan ombak laut samudra nan buas. Terlepas benar apa salah, harus diakui bencana adalah keniscayaan-kan? Semua daerah berpotensi merasakan bencana, baik bencana alam, benaca non-alam ataupun bencana social.

Berdomisili di kota Samarinda-pun sejak lahir, saya kerap merasakan banjir yang tiada-tara, setiap tahunnya tepatnya di setiap musim penghujan. Apakah ini takdir atau-pun masalah yang diciptakan manusia itu sendiri? Jawabannya akan berpulang pada kesadaran bencana masyarakatnya-kan?

Banjir Yang menggenangi Salah Satu Fasilitas Pendidikan Di Samarinda, Mei Lalu I Dokpri
Banjir Yang menggenangi Salah Satu Fasilitas Pendidikan Di Samarinda, Mei Lalu I Dokpri
Kembali ke kisah legenda. Banyak masyarakat kami di sini percaya jika asal-usul penamaan Samarinda didasarkan akan bentuk topografi daerah kami yang sama-rendah, yakni daratan dan sungai-nya. Nama kota Sama-rendah, dulu disematkan suku Wajo tahun 87-an yang mendiami bantaran sungai karang mumus, anak sungai Mahakam. Sehingga seberapapun jalan ditinggikan jika pasang laut datang, banjir-pun menghampiri di jalan kota Samarinda. Apalagi ditambah curah hujan yang tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun