Oiya, bagi yang sedang membaca tulisan ini, apakah ada yang sudah menikah?  Wah banyak ya. Baiklah, bagi para suami, yuk  kita bersama sama bernostalgia dulu. Mengingat kembali, masa muda kita. Iya masa muda kita dulu, mengingat perjuangan kita dulu untuk bisa menikahi perempuan yang kita pilih untuk menjadi istri kita, yang saat ini telah memberikan kita anak anak yang amat kita sayangi. Nah, Sang istri juga pasti teringat dong akan hal itu, betapa bahagianya ketika menikah. Bunga bunga terasa bermekaran di taman hatih.
Ahh, masa lalu yang indah bukan?. Cinta banyak yang percaya bisa mempersatukan perbedaan antara lelaki dan perempuan, dan membuat komitmen untuk membangun rumah tangga yang berkualitas atas dasar kasih sayang tanpa kekerasan. Nah sekarang setelah lama berumah tangga hingga saat ini, masih adakah rasa cinta itu?. Semoga masih tersimpan rapi ya, seperti komitmen pernikahan awal dulu, dalam mengawal pondasi rumah tangga yang kuat.
Dinamika berumah tangga beragam dialami masing masing pasangan suami-istri (pasutri). Hal tersebut terkadang memungkinkan banyak hal buruk terjadi, terutama kekerasan pada perempuan dan anak (KPA), bisa jadi terhadap istri dan anak kita atau orang orang terdekat kita. Semua pasutri pasti tidak menginginkan hal itu. Namun tidak dapat dipungkiri, masih ada saja kejadian yang kita bisa saksikan di depan mata kita, mengenai bentuk kekerasan tersebut.
Masih ingat dengan kasus pencabulan dan pembunuhan, Putri Nur Fauziah yang dilakukan tetangganya Agus. Atau pembunuhan Angeline oleh ibu tirinya Margarete Megawe, atau kasus Yuyun yang dibuang mayatnya oleh 14 rekan sekolahnya. Fakta itu mencengangkan dimana kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini pelaku umumnya adalah  orang terdekat, masih di bawah umur dan juga kebanyakan adalah lelaki.
Statistik Kekerasan Perempuan Dan Anak Di Indonesia dan Upaya Pengentasan
Mari kita lihat data kasus 2015 lalu. Komisi Nasional Perempuan mencatat ada sekitar 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka itu meningkat 9 % dari tahun  2014 lho. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI )juga mencatat 1.698 pengaduan kekerasan pada anak di tahun 2015. Sebanyak 53% diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual, sisanya 47% adalah penelantaran, penganiyayaan, eksploitasi untuk seksual, dan kekerasan lainnya.
Tren angka angka tersebut meningkat. Negara dalam hal ini telah lama hadir dalam menekan angka tersebut. Mulai dari penerapan hukuman terhadap pelaku, yang tertuang dalam UU nomor 35 tahun 2014, dimana pelaku dapat dijerat hukuman kurungan penjara selama 15 tahun. UU hasil revisi dari UU 23/2003 sebelumnya itu juga telah mempertajam hukuman menjadi 20 tahun jika pelaku adalah orang dekat dengan anak seperti orang tua, saudara ataupun kerabat.
Pembatasan usia tersebut dimaksudkan untuk menekan angka kematian ibu, angka anak yang putus sekolah, serta kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat ditekan. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 mencatat kematian ibu di Indonesia meningkat dari lima tahun sebelumnya, 228 orang per 100.000 persalinan menjadi  359 orang per 100.000 persalinan, diakibatkan pernikahan dini. Sampai di titik ini, laju kasus kekerasan perempuan dan anak belum bisa ditekan dengan efektif. Mengapa?
Penegasan Pemerintah Terhadap Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak
Pemerintah terus concern terhadap hal ini. Hal tersebut terlihat dari gerakan Three Ends KPPPA, yang terus massive digerakkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan  dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise. Apa itu Gerakan sosialisasi  3Ends itu?.
- End Violance Against Women and Children (Akhiri Kekerasan terhadap  perempuan dan anak-anak),
- End Human Trafficking (Akhiri Perdagangan Manusia) dan
- End Barriers to Economisc Justice ( akhiri kesenjangan ekonomi terhadap perempuan).
Untuk menyukseskan  3ends, adalah pekerjaan besar yang harus dikerjakan bersama sama semua pihak baik pemerintah dan masyarakat, karena banyak factor lain yang menyebabkannya. Seperti modus kejahatan Narkoba, masalah Psikologi, dan konsumsi Miras. Namun dalam konteks kekerasan perempuan dan anak, Kementrian PP dan PA telah melakukan sosialisasi tentang gerakan tersebut di beberapa kota secara massive.
Masih Mencari Formula Yang tepat ?
Semua daya upaya untuk mendukung program Three Ends dirasa telah maksimal, namun faktanya masih minim untuk menggerus tingginya angka kasus kekerasan perempuan dan anak di Indonesia. Untuk membantu keberhasilan gerakan 3ends ini, Â saya memiliki tiga langkah (3steps) yang bisa ditempuh dan bersifat mendasar.
1. Penguatan aturan hukum, selama ini menurut saya, dari banyak kasus yang terjadi sepertinya pelaku dan calon pelaku belum merasa takut dan jera terhadap ancaman pidana tindakan kekerasan  tersebut. Dimana vonis hukuman para pelaku yang ada rata rata mendapatkan vonis hukuman jauh dari ancaman maksimal. Sehingga pelaku yang telah menjalani hukuman dan keluar dapat berpotensi mengulangi perbuatannya lagi.
Kedua, harus adanya penguatan kembali tentang syarat batas usia perkawinan yang matang secara psikology dan ekonomi, meskipun  MK telah mementahkan UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dimana MK menolak menaikkan batas minimal menikan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Hal ini penting untuk mematangkan rencana pernikahan bagi paslon muda dalam menghindari kasus penelantaran anak akibat perceraian muda. Artinya mungkin harus dicoba lagi, dalam meramu aturan pernikahan di luar usia minimal, bisa juga faktor ekonomi dan pendidikan. Sehingga rasionalitas dalam semua tindakan ketika berumah tangga menghasilkan perbuatan yang positif.
2. Penguatan internal keluarga, penguatan keharmonisan rumah tangga dirasakan dapat menciptakan rasa menyayangi terhadap istri dan anak anak didalam keluarga. Penguatan ini, didasarkan atas pemahaman dalam mengelola keharmonisan rumah tangga dan mengerti atas hak dan kewajiban suami dan istri serta anak anak mereka.
Utamanya adalah, orang tua memberikan  kepastian tersedianya akses anak anak dalam pemenuhan hak dasar mereka yakni hak bermain dan hak belajar. Dengan ketegasan penguatan di dalam internal keluarga, dapat otomastis menularkan rasa menyayangi antar keluarga di lingkaran terdekat mereka. Dengan model seperti ini, akan menciptakan fase proses pencegahan terhadap kekerasan perempuan dan anak di lingkaran keluarga terdekat. Dan juga, adanya kepekaan terhadap keluarga dalam menyampaikan usaha usaha tindakan kekerasan yang terjadi di sekitar mereka kepada pihak yang berwenang, sebagai langkah preventive dan juga solutive sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dan ini bisa dimulai dari keluarga kita sendiri di rumah.
Pembekalan penguatan terhadap generasi muda bisa dilakukan dengan memahamkan aturan hukum yang berlaku bagi pelaku kekerasan perempuan dan anak. Dengan demikian mereka secara individu akan terbatasi oleh aturan hukum untuk melakukan hal tersebut.
Dan yang paling utama adalah pembekalan terhadap kesiapan mereka yang belum menikah dalam menjalani pernikahan nanti. Perlu dibekali pemahaman tentang aspek kesiapan mental, psikology dan ekonomi. Sehingga kasus kasus KDRT dan perceraian dini tidak terjadi lagi, yang dapat berdampak buruk bagi masa depan anak mereka, serta kasus kesehatan lainnya.
Ayok lakukan 3ends sekarang juga !
Saatnya mulai melakukan gerakan three ends yuk, dengan langkah yang sederhana diatas,  yang pasti kita bisa memulainya. Belajar menyanyangi keluarga kita sendiri dan keluarga terdekat kita dengan memberikan  porsi hak dan kewajiban yang seimbang untuk merenggangkan perbedaan dan menyatukan persamaan. Jawaban pertanyaan mengenai, kapan Indonesia dapat menghentikan three ends? Hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya, mau hari inikah? Besokkah? Atau kapan saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H