Mohon tunggu...
Muhammad Satria
Muhammad Satria Mohon Tunggu... Penulis - Menambah Pengalaman dengan Menulis

Saya menulis apa saja yang saya harap bisa berguna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkawan dengan Lawan, Memungkinkan?

2 September 2022   20:00 Diperbarui: 2 September 2022   20:02 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

['Berkawan' dan 'Berteman']

Kedua kata di atas sekilas bermakna sama, tetapi pada praktiknya seorang teman belum tentu merupakan seorang kawan. Sebagai contoh, seburuk apapun hubungan kita dengan kolega, tetap saja kita menyebutnya sebagai 'teman kerja', pun di sekolah, kita menyebutnya sebagai 'teman sekolah'. Hubungan buruk itu bisa disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari masalah besar, masalah sepele, sampai hanya karena sebuah firasat. Kalau sudah begini, tentu bekerja dan bersekolah menjadi tidak nikmat. Masalahnya, kita harus selalu bertemu dengannya, suka/tidak suka (pastinya tidak suka lah ya hahaha). Nah, pertanyaannya, mungkinkah teman rasa lawan ini kita ubah menjadi teman rasa kawan?

[Sedikit Cerita]

Saya pernah berada di situasi ini ketika SMA. Sudah lama sih, tepatnya tujuh tahun yang lalu. Sejak awal, bahkan sejak hari pertama masa orientasi, sudah muncul firasat bahwa saya tidak akan cocok dengan seorang teman di kelas, sebut saja namanya Ubuy. Apa yang membuat saya berpikir seperti itu?

Pertama, menurut saya Ubuy caper (re: cari perhatian). Saya ingat betul ketika penutupan masa orientasi, para siswa baru diminta untuk menyanyikan sebuah lagu. Saya tidak ingat lagu apa tepatnya, mungkin lagu Raisa, tetapi yang jelas Ubuy ini membuat suara-suara ala akapela yang (menurut saya) tidak nyambung dengan lagu. Saya hanya berpikir bahwa seorang siswa baru umumnya masih pemalu dan belum berani bertindak 'melawan arus'. Jadi, yang Ubuy lakukan ini cukup menyebalkan di mata saya. Entahlah, mungkin saya yang terlalu perasa, tetapi yang jelas itulah penyebab pertama munculnya firasat ketidakcocokan.

Kedua, Ubuy ini selalu ngotot ketika berargumen. Ia selalu berbicara dengan nada tinggi dan alis menyudut, padahal yang diributkan juga bukan masalah besar.

Ketiga, ketika firasat saya terbukti benar, yaitu menjelang pergantian tahun ajaran baru. Saat itu, para siswa diminta untuk mendekorasi ruang kelas masing-masing. Nggak begitu wah, kok, cuma pasang kain hitam seukuran 2 x 1 meter di tembok belakang kelas plus balon-balon berbentuk huruf yang disusun membentuk nama kelas dan hiasan-hiasan dari kertas lainnya. Satu hari sebelum hiasan-hiasan dipasang, guru meminta kami mengecat bagian-bagian tembok yang sudah terkelupas. Sebenarnya saya sudah membantu mengerjakan hal lain, termasuk mengecat beberapa bagian tembok yang terkelupas itu (kalau tidak salah ingat, hahaha, maklum sudah tujuh tahun yang lalu), tetapi Ubuy tidak melihatnya karena ia sedang tidak berada di kelas. Ketika ia kembali, saya sudah selesai, dan ia menegur kenapa saya tidak membantu. Saya katakan kepadanya bahwa saya sudah membantu ketika ia sedang berada di luar, tetapi ia tidak peduli, dan langsung mengadukan saya ke guru.

"Bu, Satria nggak mau bantu ngedekor nih", begitulah kurang lebih kata Ubuy dengan nada nyolotnya.


Saat itu perasaan kesal dan malu seketika menyelimuti diri saya. Kesal karena saya sudah membantu, dan malu karena guru beserta teman sekelas menatap ke arah saya. Lantas, apa yang saya lakukan? Ya, mengecat satu bagian tembok terakhir yang masih terkelupas, yang sebenarnya tidak begitu terlihat karena terletak di belakang kipas. Sejak saat itu, perasaan benci saya terhadap Ubuy berada di puncak. Benci dalam hal ini bukan berarti saya ingin mencelakainya, tetapi lebih kepada ingin menghindarinya semaksimal mungkin. Saat itu saya sangat berharap agar tidak sekelas lagi dengan Ubuy di kelas 11. Saya tidak takut dengannya, jujur, karena Ubuy terlihat sebagaimana siswa pada umumnya, bukan seperti siswa yang sering dianggap pentolan. Saya hanya tidak tahan jika terus nyolot-nyolotan dengannya, karena saya tidak suka menimbulkan keributan, meskipun hanya keributan suara. Praktis, saya sangat jarang dan bahkan hampir tidak pernah mengobrol dengannya. Tapi siapa sangka? Tuhan berkehendak lain. Saya ditempatkan sekelas dengan Ubuy sampai lulus. Tidak sampai di situ, Tuhan membuat saya duduk sebangku dengan Ubuy di kelas 12. Entah apa yang membuat kami berdua menjadi orang yang datang terakhir pada hari pertama di kelas 12 itu, sehingga kami mau tidak mau harus duduk sebangku.

[Titik Balik]

Saat itu, jelas saya merasa sangat gelisah, karena saya berpikir bahwa satu tahun ke depan akan menjadi masa-masa terberat selama SMA. Tetapi, baru satu minggu kami sebangku, kami justru mulai akrab, dan semakin akrab dari hari ke hari (saya tidak tau apakah Ubuy juga merasa demikian, setidaknya itulah yang saya rasakan). Ubuy memang masih nyolot ketika berdebat (sepertinya memang sudah tabiatnya, hahaha), tetapi entah mengapa saya tidak lagi merasa kesal, dan melihat nyolotnya Ubuy sebagai hal yang sangat biasa, dan bahkan terkesan lucu di beberapa kesempatan. Ubuy juga sering berbagi makanan dengan saya, dan ia bahkan pernah membawakan oleh-oleh hanya untuk beberapa teman dekatnya, di mana salah satunya adalah saya. Jujur, saya tersentuh saat itu, dan juga tergelitik karena kejadiannya cukup jenaka, di mana kami berdua meletakkan tas di bawah meja dan dengan secepat kilat Ubuy memindahkan oleh-oleh itu ke dalam tas saya agar tidak dilihat oleh teman lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun