Sudah hampir 20 tahun saya hidup di Jakarta. Lahir dan tumbuh besar di kota metropolitan membuat saya terbiasa hidup di tengah-tengah kerumunan. Ke mana saja mata ini memandang, pasti saya temui banyak orang.Â
Jam berapa pun saya terjaga, ada saja manusia yang sedang melakukan aktivitasnya. Sesak tentu sering saya rasakan, seakan-akan oksigen menjadi sesuatu yang sedang diperebutkan.Â
Terang saja, penduduk kota ini berjuta-juta jumlahnya, bahkan melebihi jumlah penduduk beberapa negara di dunia. Setiap tahun jumlahnya bertambah, terlebih selepas hari raya.Â
Ada yang berkuliah, Â ada yang memenuhi panggilan kerja, ada pula yang sekadar mencari peruntungan di ibu kota. Wajar, segalanya memang terpusat di Jakarta, baik yang terkait dengan bisnis maupun pemerintahan.
Beberapa bulan ke belakang muncul isu pemindahan ibu kota di sosial media. Postingan senada juga muncul di akun Instagram Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo.
Pihak pro menganggap DKI Jakarta sudah 'lelah' memikul tanggung jawab sebagai jantung negara, sedangkan pihak kontra khawatir Kalimantan akan rusak hutannya. Kekhawatiran akan rusaknya hutan Kalimantan juga tentu ada dalam diri saya, namun saya mencoba untuk melihat terlebih dahulu sisi positif dari pemindahan ibu kota ini.
Sejujurnya, ada harapan dalam diri saya akan hal-hal baik yang bisa ditimbulkan. Misalnya: pemerataan pembangunan. Tidak mungkin jantung negara berada di kota yang kekurangan.Â
Pemerintah pusat pasti akan membangun serta memperbaiki kota tersebut, terutama infrastrukturnya. Indonesia secara keseluruhan akan semakin cantik di mata dunia, terutama di mata negara tetangga. Bukan tidak mungkin wilayah-wilayah perbatasan di Kalimantan ikut termodernisasi sebagai dampak dari pembangunan ibu kota ini.Â
Di sisi lain, kota Jakarta tentu juga akan terurai kepadatan penduduknya. Hanya saja saya berharap supaya Jakarta, yang sudah lebih dari setengah abad menjadi jantung negara, benar-benar tidak akan terlupakan begitu saja.Â
Ibu kota baru juga harus mampu menjawab kekhawatiran banyak orang akan rusaknya hutan Kalimantan. Kalimantan memang milik Indonesia, namun Kalimantan merupakan salah satu paru-paru dunia.Â
Terkadang saya berpikir, apakah mustahil kalau ibu kota baru tetap dengan alamnya yang liar, dalam artian tidak serta merta menampilkan jalanan beraspal dan gedung beton bertingkat di mana-mana? Apakah juga mustahil kalau gedung-gedung pemerintahan berada di tengah hijaunya hutan? Atau justru semua itu hanya akan menghambat mobilisasi? Semoga saja tidak.Â
Andaikan semua itu mungkin, tentu saya dan banyak orang akan sangat senang. Para pejabat pemerintahan juga tentu akan lebih nyaman dalam bekerja karena dikelilingi lingkungan yang asri.
Kemudian terkait kemacetan, polusi udara, serta kesemrawutan perumahan yang merupakan bagian dari masalah terbesar di Jakarta. Ketiga hal buruk ini rasanya tidak perlu 'diadopsi' pula oleh ibu kota baru nantinya.Â
Saat ini pemerintah pusat masih memiliki banyak waktu untuk membuat regulasi terkait jalan, kepemilikan kendaraan pribadi, penyediaan transportasi massal yang memadai, serta penataan ruang untuk ibu kota baru.Â
Jangan sampai hal-hal seperti ini baru dipikirkan setelah ibu kota diresmikan dan setelah terjadi migrasi antarkota. Sebab jika demikian, tentu kemacetan, polusi udara, serta kesemrawutan akan sulit terhindarkan.
Pada akhirnya, ibu kota memang harus berpindah, sebagai salah satu langkah besar menuju Indonesia Emas 2045. Tidak ada yang perlu untuk terlalu dikhawatirkan. Indonesia bukanlah negara pertama di dunia yang berniat melakukannya. Brazil, Australia, dan Rusia bahkan sudah merealisasikannya. Selama pelaksanaan dan perancanaan yang matang berjalan berdampingan, saya yakin semua akan baik-baik saja.
Maju terus Indonesia!
@bappenasri #Bappenas #IbuKotaBaru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H