Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kompasiana Itu Kompasiana: Refleksi Perjalanan 16 Tahun

9 Oktober 2024   17:17 Diperbarui: 9 Oktober 2024   17:39 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Kompasiana dan Kompas.com (sumber: Tekno Kompas)

Jika belajar sejarah Kompasiana, kita tentunya tidak bisa lepas dengan dari Kompas Gramedia sebagai induknya, khususnya Harian Kompas. Maka dari itu, kita pun selayaknya sebagai para jajaran Kompasianer perlu mengetahui dan menerawang kembali kesejarahan Harian Kompas, agar kita bisa menarik  benang merah "khitah" dari semangat jurnalistik yang dibawa mendiang PK Ojong dan Jakoeb Oetama kepada kita semua.

Berdasarkan penulusuran sejarah Harian Kompas di Wikipedia, semangat awal pendirian Harian Kompas adalah untuk menyaingi propaganda Komunisme pada era 60an yang sangat gencar melalui media surat kabar. Presiden Soekarno memerintahkan  Frans Xaverius Seda Menteri Perkebunan saat itu, untuk menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen.

Sejurus kemudian, Frans mengemukakan keinginan itu kepada dua teman baiknya, Peter Kansius Ojong (Tionghoa: Auwjong Peng Koen) (1920-1980), seorang pimpinan redaksi mingguan Star Weekly, dan Jakob Oetama, wartawan mingguan Penabur milik gereja Katolik, yang pada waktu itu sudah mengelola majalah Intisari ketika PT Kinta akan mengalami kebangkrutan yang terbit tahun 1963. Ojong langsung menyetujui ide itu dan menjadikan Jakob Oetama sebagai editor in-chief pertamanya.

Mulanya, keduanya menyetujui nama Harian yang akan diterbitkan yaitu, "Bentara Rakyat", nama "bentara" sendiri dipilih bukan sembarangan, karena "bentara" memiliki makna sebagai pembantu atau pelayan raja, namun karena ditambahi "rakyat", maka makna "raja" yang dimaksud adalah rakyat itu sendiri.

Namun, menjelang penerbitan awalnya, entah bagaimana ceritanya, Presiden Soekarno justru mengusulkan untuk mengubah nama Hariannya menjadi "Kompas". Menurut Bung Karno, "Kompas" berarti pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba.

Selanjutnya, Harian Kompas berkembang bukan sekedar mengimbangi arus media paham komunisme, tetapi justru tumbuh sebagai media yang benar-benar seperti makna nama awalnya, "Bentara Rakyat", yaitu melayani rakyat dalam memberikan wawasan jurnalisme yang berimbang, kredibel dan independen, serta memberikan arah pemberi jalan keluar setiap masalah bangsa ini dengan pemaknaan nama "Kompas".

Seandainya Harian ini tetap memakai nama "Bentara Rakyat" hingga jaman sekarang, mungkin platform blog tercinta kita ini dinamai dengan "Bentarasiana", bukan "Kompasiana". Itulah sejarah ringkasnya, dimana perjalanan grup media ini memang telah membersamai kita dengan produk-produk media massanya yang memang merakyat dan mencerdaskan.

Kompas Gramedia Mewarnai Hidup Saya

Majalah Bobo yang merupakan salah satu produk media dari Kompas Gramedia, mewarnai tumbuh kembang saya semenjak masih Taman Kanak-Kanak bahkan hingga kini saya wariskan kepada anak saya. Terucap terima kasih kepada ibu saya yang selalu membelikan majalah bersampul Kelinci Biru ini setiap edisinya. Sedikit banyak majalah anak ini pembuka jendela literasi saya sewaktu kecil.

Beranjak SMP, ayah saya mulai berlangganan Harian Kompas dan Majalah Bola, keduanya selalu saya lahap habis ketika sehabis pulang sekolah. Maklum saja, di jaman itu belum ada internet apalagi smartphone, jadi bacaan surat kabar dan majalah adalah benar-benar surga informasi di masa itu.

Saya tumbuh kembang dengan diksi-diksi opini membangun seperti tulisan-tulisan bernas wartawan senior Budiman Tanuredjo dan lainnya. Serta tentu saja Majalah Bola yang memuaskan dahaga gejolak jiwa muda haus informasi olahraga, utamanya sepakbola. Seiring perjalanan waktu, masuk ke jaman digital, Kompas tetap menjadi pilihan bacaan utama saya, melalui platform Kompas.com

Setelah era 2000an awal berakhir, mulailah era blogging menyeruak, tulisan-tulisan blog dirasakan jauh lebih menarik, karena menampilkan kedalaman serta keunikan dari penulisnya. Sekitar tahun 2014, saya mulai mengenal blog Kompasiana, sebagai alternatif bacaan harian selain Kompas.com.

Tulisan-tulisan dari para blogger Kompasiana pada masa itu agak berbeda di jaman sekarang, jauh lebih berani dan kadang saling menyerang, tapi memang sangat menarik dan mendalam isinya. Tak sedikit para Kompasianer di masa itu sering tersandung masalah hukum akibat tulisannya yang memang "berani". Sempat ingin bergabung menjadi penulis blog Kompasiana pada masa itu, namun urung terwujud karena berbagai alasan kesibukan.

Walau demikian, saya selalu setia menyempatkan membaca artikel-artikel Kompasiana yang memang "agak laen" dari media mainstream, memberikan sudut pandang jurnalistik yang lebih unik dan menarik. Hingga akhirnya di bulan Oktober 2023 saya memutuskan untuk bergabung dan menjadi penulis aktif di Kompasiana hingga kini.

Kompasiana dan Saya

Jiwa menulis sebenarnya sudah tumbuh semenjak jaman sekolah dan kuliah, dimana sewaktu di bangku SMA, saya aktif menjadi pengurus buletin dakwah di sekolah. Kemudian sewaktu masa kuliah, ada beberapa tulisan saya dimuat di beberapa surat kabar lokal. Namun semenjak kesibukan dalam berkerja, semangat menulis agak terkubur untuk sementara.

Hingga akhirnya pada tahun lalu saya memutuskan untuk kembali menulis, dan setelah menimbang beberapa platform, saya pun memutuskan untuk menulis di Kompasiana. Platform ini sudah saya kenal sejak lama, dan memang saya nilai memiliki ekosistem terbaik bagi para penulis pemula maupun bagi para penulis senior, dimana tidak aroma persaingan diantaranya, saling mendukung dalam semangat komunitas.

Awal mula berkeinginan menulis di blog Kompasiana adalah justru karena kritik-kritik dari orang-orang terdekat saya tentang kebiasaan saya yang suka memberikan komentar panjang lebar pada postingan-postingan sosial media yang viral dari berbagai genre.

Beberapa teman menilai, komentar yang saya berikan itu malah bukan seperti "komentar", tetapi justru tampak seperti "tulisan utuh" yang tajam dan komprehensif. Hal tersebut menyadarkan saya, dimana daripada memberikan komentar-komentar di postingan sosial media, lebih baik disalurkan melalui sebuah tulisan. Singkat cerita, saya pun memutuskan memilih Kompasiana sebagai labuhan awal.

Artikel-artikel pertama saya kebanyakan mengupas beberapa aktifitas sekolah, tanpa dinyana dari 8 artikel pertama saya berhasil menjadi Pilihan semua dan ketiga diantaranya terpilih menjadi Artikel Utama (AU). Hal tersebut tentu menjadi cambuk bagi saya untuk lebih aktif menulis, dikarenakan ada "something different" pada tulisan yang saya buat, terlebih para Kompasioner senior selalu mendukung positif lewat komentar-komentar membangun, yang terus memupuk semangat ini.

Walhasil, tepat hampir setahun saya berhasil membuat 298 artikel, dan 95 diantara merupakan Headline Artikel Utama, suatu pencapaian yang tak disangka-sangka, karena tinggal sedikit lagi akan mencapai 100 AU.

Every Story Matters, terima kasih sebesar-besarnya saya ucapakan kepada para Kompasianer yang selalu rajin melakukan Blog Walking, karena tanpa kalian, menulis di Kompasiana bagaikan menelurkan telur tapi tak menetas. Komentar-komentar kalian menelurkan kepercayaan diri, semangat memperbaiki diri serta tentunya membesarkan blog terbesar di Indonesia ini.

Jujur, Kompasiana kini bagaikan candu bagi saya, walau aturan K Rewards dirasakan masih perlu ada perbaikan. Entah mengapa setiap kali mem-publish tulisan baru, rasanya seperti "orgasme" atau kelegaan dalam diri ini. Apalagi ketika ternyata artikelnya didaulat menjadi AU, itu rasanya seperti memberi mood booster dalam berkerja seharian, benar-benar seperti candu.

Entah sampai kapan saya masih bisa terus menulis aktif di Kompasiana, yang jelas saya harapkan platform terus berbenah untuk terus mendengar masukan-masukan Kompasianer, karena para blogger-blogger "edan" inilah yang membesarkan platform blog tercinta ini.

Terucap selamat Milad kepada Kompasiana yang ke 16, semoga di usia remaja unyu-unyu ini, tumbuh kembang menjadi platform blog terbaik di Indonesia serta barometer literasi bangsa ini, karena Kompasiana itu Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun