Social loafing merupakan fenomena dimana seseorang kurang berkontribusi dalam suatu tugas ketika bekerja dalam kelompok dibandingkan dengan bekerja sendiri.
Bisa saja di saat bekerja sendiri, banyak orang cenderung lebih berusaha lebih keras. Namun, pada saat dilibatkan dalam suatu kelompok, effort dari orang tersebut justru tampak berkurang.
Adalah  Max Ringelmann, insinyur pertanian asal Prancis, pada 1931 yang pertama kali memperkenalkan fenomena ini, melalui penelitiannya, yang dilakukannya adalah meminta peserta penelitian untuk menarik tali, baik sendiri maupun berkelompok.
Ringelmann melihat dalam penelitian tersebut bahwa pada saat seseorang bekerja dalam kelompok, ia melakukan lebih sedikit usaha untuk menarik tali daripada saat bekerja secara individu.
Penelitian ini dijadikan dasar dari penelitian lainnya yang membahas tentang social loafing sehingga fenomena psikologi sosial ini juga sering disebut sebagai Ringelmann effect.
Seorang social loafer tidak mau berusaha kerja maksimal saat mengerjakan tugas  secara berkelompok, ia menganggap bahwa tugas tersebut akan diselesaikan oleh rekan kerja lainnya.
Bisa saja seseorang mungkin punya ekspektasi lebih rendah saat bekerja dalam kelompok. Suatu unit kerja juga tidak menghargai hasilnya seperti ketika melakukan tugas secara individu.
Kondisi berkurangnya motivasi untuk mencapai tujuan ini kerap membuat social loafer tidak memberikan kontribusi sebanyak yang sebenarnya mampu mereka berikan, jika mereka melakukanya sendirian.
Kemalasan sosial berdampak serius pada pekerjaan. Social loafing bisa meningkatkan waktu dan biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas.
Saat seorang individu tidak berkontribusi secara maksimal, kualitas pekerjaannya juga bisa menurun. Pekerjaan dapat tidak diselesaikan dengan baik atau hasilnya tidak sesuai standar yang diharapkan.
Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi social loafing pada pekerja gen Z yakni sebagai berikut.