Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Paradoks St Petersburg dan Makna Kemerdekaan

17 Agustus 2024   08:37 Diperbarui: 17 Agustus 2024   08:56 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan itu bulan puasa Ramadhan, para bapak bangsa tampak bergadang "betah melek" semalam suntuk menyiapkan peristiwa besok yang akan mengegerkan jagad dunia yaitu Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Para bapak bangsa yang berkumpul datang dari beragam latar belakang, namun bersatu bersama dalam momentum yang mungkin takkan datang seabad lagi.

Masing-masing kepala pasti mempunyai impian atau harapannya berbeda tentang makna kemerdekaan yang diraih, ada yang ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang besar, adapula yang ingin memanfaatkan kondisi vacuum of power untuk menyatukan wilayah Nusantara dan masih banyak motif lainnya ketika upaya kemerdekaan itu direbut.

Memang makna kemerdekaan Republik Indonesia tak lain adalah upaya bangsa Indonesia untuk berdiri di kakinya sendiri, di tanahnya sendiri dan menentukan nasibnya sendiri.

Namun pertanyaannya apakah makna kemerdekaan yang dirasakan oleh setiap anak bangsa itu sama nilainya. Faktanya tidak, bisa dimaklumi negara kita memang super majemuk kepentingan serta teramat sangat luas, ditambah lagi berbentuk kepulauan yang terbentang, sehingga arti kemerdekaan yang diberikan negara kepada rakyat tentunya sangat sulit disamakan nilainya.

Walau demikian, apapun nilainya, kita harus mempertimbangan harapan atau manfaat yang bisa didapatkan dari nilai kemerdekaan tersebut utamanya bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemahaman ini bisa dikaitkan dengan istilah Paradoks St Petersburg.

Paradoks St Petersburg sebenarnya sebuah pemahaman ilmu statistik matematika ditemukan oleh Nicolas Bernoulli pada tahun 1713. Bernoulli pertama kali menyebutkan permasalahan dalam paradoks tersebut dalam sebuah surat yang dikirimkannya ke Pierre Raymond de Montmort pada 9 September 1713. Nama paradoks tersebut diambil dari kota Saint Petersburg di Rusia dimana ia bertempat tinggal.

Paradoks Saint Petersburg mulanya merupakan sebuah paradoks yang melibatkan permainan melempar koin dimana secara teoretis nilai harapan (nilai hasil yang mungkin didapatkan) akan semakin mendekati tidak terhingga seiring semakin banyaknya jumlah lemparan yang dilakukan, namun pada kenyataannya nilai manfaat atau harapan yang didapatkan sangat kecil dari yang diperkirakan.

Paradoks Saint Petersburg memberikan gambaran sebuah situasi dimana kriteria pengambilan keputusan sederhana hanya mempertimbangkan pemaksimalan nilai harapan dalam memprediksi sebuah tindakan pengambilan keputusan tertentu dimana tidak banyak orang akan benar-benar berani melakukannya atau mengambil risiko, karena peluang berhasilnya semakin rendah.

Lebih mudahnya, saya berikan contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari yaitu semisal uang sebanyak 1 juta rupiah bagi orang miskin tentunya sangat berharga sekali karena mungkin bisa untuk biaya makannya selama sebulan, sementara uang sebanyak itu bagi konglomerat mungkin hanya recehan, seumpama jatuh di jalan pun tak mengapa.

Paradoks ini memang sering dipakai dalam statistik perjudian untuk mengukur peluang dalam menaruh taruhan, namun apabila kita kaitkan dalam makna kehidupan bernegara sebenarnya bisa diambil maknanya utamanya dalam upaya mensejahterakan rakyat.

Secara umum Paradoks St Petersburg bisa diartikan sederhana yaitu, suatu keputusan atau peristiwa dilihat tidak berdasarkan nilai semata, tetapi lebih kepada harapan atau manfaat yang bisa diperoleh dari nilai tersebut

Dalam kaitannya tentang makna kemerdekaan, sebagaimana saya sampaikan pada awal artikel, bahwa ternyata memang maknanya bisa berbeda diinterpretasikan bahkan juga bagaimana setiap merasakan kemerdekaan tersebut.

Paradoks St Petersburg sebenarnya adalah sebuah sesuatu yang semu pada suatu nilai, sebagaimana makna kemerdekaan, kadang kita pun tak tahu apa sebenarnya arti itu, tapi setiap insan Indonesia berupa mengejawantahkan hal tersebut dalam upaya mengkongkritkannya dalam suatu manfaat atau harapan yang bisa dirasakan bersama.

Lalu bagaimanakah cara mewujudkan makna kemerdekaan yang nilainya bisa dirasakan manfaatnya secara seluas-luasnya bagi seluruh rakyat. Berikut kiranya beberapa hal yang harus kita jadikan perhatian dalam membangun kemerdekaan ini agar tidak terjebak pada permainan Paradoks St Petersburg yang tak bisa dihitung secara pasti nilainya.

Pemerataan Pembangunan Harga Mati

Tak dipungkiri selama bertahun-tahun, pembangunan negara kita selalu Jawa-Sentris, entah apa karena warisan Hindia Belanda yang memusatkan pemerintahannya di Jawa atau memang ada alasan lainnya.

Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemerdekaan tersebut, pembangunan yang terlalu Jawa-Sentris tentunya makin mengaburkan nilai atau makna kemerdekaan.

Maka dari itu, jika kita sering mendengar slogan "NKRI harga mati", maka untuk mewujudkan slogan tersebut haruslah dikekalkan dengan pemerataan pembangunan yang juga harga mati di seluruh pelosok negeri.

Upaya pemerataan pembangunan adalah usaha dalam menyebarkan manfaat dari kemerdekaan tersebut agar kenikmatan ini tak hanya dinikmati oleh segelintir rakyat di pulau tertentu. Semoga dengan momentum kepindahan ibukota ke Nusantara, bisa menjadi pemantik pemerataan pembangunan di wilayah Indonesia timur.

Kepenguasaan Minerba

Saya bukan ahli tambang atau geodesi, tapi saya meyakini, jika sepenuhnya seluruh hasil bumi berupa minyak bumi, mineral, batu bara dan gas bumi benar-benar dikuasai oleh negara, maka tidak ada rakyat yang miskin atau kelaparan.

Negara kita dianugerahi kekayaan alam yang begitu besar, tapi entah mengapa yang bisa menikmatinya hanya segelintir elit saja. Jika sudah demikian, nilai kemerdekaan tak lebih hanya formalitas belaka.

Inilah yang disebut permainan Paradoks St Petersburg, dimana banyak rakyat kita dinina bobokkan dengan kemeriahan acara 17 Agustusan lewat berbagai lomba serta suasana gegap gempita, namun setelah itu sebagian besar rakyat menghadapi realita kehidupan yang keras untuk mencari sesuap nasi.

Sudah saatnya kue kemerdekaan dibagikan secara adil dan merata, agar makna "gemah ripah loh jinawi" bisa benar-benar dirasakan oleh kita semua. Maka dari itu, upaya mengisi kemerdekaan adalah upaya untuk menguasai sepenuhnya kekayaaan kita.

Menuju Welfare State

Dalam hal membagikan makna kemerdekaan kepada setiap rakyat, bukan dalam bentuk membagikan uang atau kekayaan semata, tetapi berupaya memberikan segala kemudahan dalam berkehidupan.

Ini yang disebut Welfare State, dimana orientasi pemerintahan adalah kesejahteraan rakyat, negara tidak lagi berpikir memanfaatkan apa yang dimilikinya untuk melanggengkan kekuasaannya.

Dalam Welfare State, rakyat adalah tuannya, pemenuhan penjaminan kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja dan lainnya adalah sesuatu yang memang harus diperjuangkan oleh pemerintah. Jika pemerintah menjadikan hal-hal tersebut sebagai beban, maka makna kemerdekaan akan semakin jauh untuk diraih.

Beberapa negara Skandinavia sudah menganut sistem Welfare State, dimana para pejabat negaranya rata-rata hanya merasakan jabatannya tak lebih dari 2 tahun. Hal tersebut terwujud karena sistem Welfare State memang sudah berjalan sebagaimana mana mestinya, sementara pejabat yang menjalankannya tak lebih hanya sebagai "operator" saja, maka dari itu jabatan politis biasanya diemban hanya sebentar saja.

Walaupun negara kita masih jauh untuk menuju sistem Welfare State, namun upaya itu harus kita lakukan, agar pelayanan publik tidak menjadi kue bagi pejabat korup, namun justru sesuatu yang memang harus diwujudkan sebaik mungkin.

Peningkatan Pendidikan dan Literasi

Hal yang klasik dalam memaknai kemerdekaan adalah meningkatkan kualitas pendidikan dan upaya menyadarkan masyarakat tentang pentingnya literasi.

Nelson Mandela mengatakan bahwa senjata utama dalam sebuah bangsa adalah "pendidikan". Kemerdekaan butuh senjata untuk mempertahankannya, dan senjata tersebut adalah sistem pendidikan yang maju.

Sekolah adalah kawah candradimuka dalam membangun makna kemerdekaan sesungguhnya, para putra bangsa dilahirkan lewat rahim pendidikan yang kelak memajukan negara ini.

Itu saja tidak cukup, bangsa ini harus disibukkan dengan budaya literasi, karena lewat literasi maka bangsa tersebut akan dinilai martabatnya. Jika minat baca dan membuat karya-karya yang bermanfaat itu rendah, maka tak ubahnya kita tidak menghormati para pendiri bangsa yang susah payah memerdekakan negara kita.

Marilah dalam HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ini, kita benar-benar memaknai nilai-nilainya, agar tidak sekedar hanya gegap gempita yang tak bermakna. Merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun