Kasus Prank yang menimpa Ketua OSIS SMAN 1 Cawas, Klaten beberapa waktu lalu yang mengakibatkan dirinya hingga meninggal dunia, tentunya menyisakan penyesalan yang mendalam dari teman-teman sekolah almarhum, yang awalnya hanya berniat merayakan ulang tahun sang Ketua OSIS dengan cara keusilan Prank menceburkan almarhum ke kolam sekolah, malah berakhir tragis, dikarenakan di dalam kolam tersebut ternyata terdapat aliran listrik, hingga akhirnya menyebabkan sang korban prank meninggal akibat tersengat listrik.
Sungguh tentunya kasus ini seharusnya menjadi yang terakhir di Indonesia, mengingat sebelumnya juga banyak kasus serupa yang melibatkan para pemuda usil yang berujung maut dan kadang pula menimbulkan rasa trauma bagi korban Prank.
Pada tahun 2016, di daerah BSD Serpong, Tangerang terjadi kasus Prank dimana seorang pemuda diikat oleh teman-temannya pada sebuah tiang lampu, karena sekedar untuk seru-seruan jelang ulang tahun korban, lalu setelah diikat sang korban disiram air oleh teman-temannya, naas ternyata tiang lampu tersebut terdapat aliran listrik, pemuda korban Prank tersebut pun meninggal tersengat listrik akibat tersiram air pada tiang lampu tersebut.
Perilaku Prank usil sudah jamak terjadi dimana-mana dan tentunya dimulai semenjak mereka kanak-kanak dan biasanya kecenderungan kebiasaan nge-prank sangat sering terjadi pada usia remaja, dan bahkan tak sedikit orang dewasa pun melakukan hal serupa.
Ulah prank biasanya dilakukan saat sang korban ulang tahun, membuat kejutan, atau perayaan lainnya. Mungkin niat awalnya untuk seru-seruan, namun terkadang Prank atau kejutan yang diberikan terlalu berlebihan, sehingga membuat sang korban Prank bisa saja mengalami trauma bahkan cedera serius.
Sebenarnya, secara umum membuat kejutan adalah hal lumrah, untuk menambah suasana keceriaan dalam menyambut pencapaian sesuatu, namun menurut psikolog Dr. Ade Iva Wicaksono, orang yang membuat  prank harus sangat sadar betul dengan tujuannya, bahkan menyadari risiko yang mungkin akan terjadi.
Prank-prank yang gagal kebanyakan dikarenakan tidak memikirkan risiko terburuk yang bakal terjadi, di Amerika hal yang demikian disebut "jackass", yaitu perbuatan-perbuatan yang penuh ketololan dan sama sekali tidak memikirkan risiko yang pasti terjadi, perilaku jackass memang cenderung terjadi pada remaja-remaja pria yang masih labil emosinya.
Lalu bagaimanakah kita sebagai orang tua dalam mengarahkan anak-anak yang mulai beranjak remaja, dapat mengontrol cara mereka dalam bercanda atau bersenda gurau tidak berlebihan yang kadang berujung pada keusilan tingkat parah. Setidaknya ada 4 hal yang bisa menjadi perhatian kita bersama agar anak-anak kita tidak tumbuh menjadi pribadi yang senang hobi mengusili orang lain secara berlebihan, berikut ulasannya.
Bercanda Secara Wajar
Adalah hal yang wajar antara orangtua dan anak kerap bercanda dalam keseharian, entah saat quality time atau kegiatan lainnya, namun tentunya orang tua tetap harus membuat batasan-batasan sejauh mana konten-konten candaan tersebut dilakukan.
Sebagai contoh, sebagai role model, orang tua pun tidak boleh membuat framing-framing atau perkataan stereotip negatif ke anak, walau itu bermaksud candaan, semisal sang anak memiliki fisik agak pendek dengan teman lainnya, maka kadang ada orang tua yang memanggilnya "si cebol", walau dengan intonasi candaan, karena hal tersebut sudah sangat berlebihan, dan bisa saja sang anak akan meniru suka mengejek temannya, walau dengan niat hanya bercanda, dan tanpa disadari hal tersebut adalah benih dari keusilan yang mengarah kenakalan.
Apalagi jika sang orang tua kerap melakukan keusilan kepada anaknya, bahkan hingga sampai sang anak menangis, walau hanya berniat bercanda, tanpa disadari mereka pun akan meniru hal yang sama kepada teman-temannya. Maka dari itulah boleh bercanda dengan anak, tapi tetap harus tahu batasannya.
Hindari kebiasaan Menertawakan
Mungkin banyak diantara kita, apabila melihat seseorang terjatuh secara tak sengaja, kita langsung bereaksi menertawakannya ketimbang menolongnya dengan langsung, sekilas hal itu biasa saja, tapi jika anak terbiasa melihat sesuatu "accident" yang demikian seperti orang terpeleset, orang kejatuhan cicak, kepala orang tak sengaja terantuk sesuatu, dan lainnya, kemudian kita sebagai orang dewasa justru menjadikannya bahan tertawaan, maka secara tak sadar kita mendidik anak kita menjadi pribadi yang senang melihat orang terkena kesusahan sebagai bahan candaan.
Ajarilah anak-anak untuk tidak menjadi pribadi yang mudah menertawakan seseorang entah karena kesialan atau kemalangan yang dialami seseorang, ajari mereka untuk berempati dan menyegerakan menolong orang lain yang sedang apes atau sial seperti terpeleset atau terjatuh.
Jika hal seperti itu sudah tertanam jiwa yang bisa mengelola sense dari tertawanya, maka dia akan menjadi pribadi yang bijaksana dan jauh dari sifat ingin menge-prank seseorang dengan alasan apapun.
Hindari Menonton Konten Prank
Tak bisa dipungkiri, di jaman sekarang keberadaan aplikasi sosial media yang menampilkan konten-konten bermuatan Prank justru mendapat rating tinggi alias mendapatkan viewer terbanyak. Sungguh hal tersebut sangat membahayakan bagi perkembangan anak-anak yang menontonnya.
Konten-konten video yang mulai menampilkan kejahilan sederhana seperti pura-pura jadi orang gila, hingga Prank yang sangat niat dan sistematis seperti mendesain suatu tempat untuk mengerjai orang lain, tentunya mungkin terkesan sebagai hiburan saat senggang, namun apabila konten-konten tersebut kerap ditonton anak-anak, bukan tak mungkin mereka akan menirunya mentah-mentah.
Bahkan ada kasus viral dimana sekelompok pemuda yang sengaja membuat konten video pocong-pocongan pada sebuah jalan sepi kampung, bukannya menjadi hal yang seru, para pemuda tersebut malah ditangkap warga, karena dianggap meresahkan lingkungan, setelah diinterogasi mereka melakukannya karena meniru konten-konten Prank yang ada platform YouTube. Tentunya ini menjadi keprihatinan kita bersama, karena keusilan yang berlebihan bisa mengakibatkan gangguan keamanan masyarakat.
Ajarilah Saling Menghormati
Sebuah hal yang klasik, yaitu ajarilah anak-anak untuk menghormati siapapun, baik tua muda, tampilan fisik, perbedaan suku ras atau apapun latar belakangnya. Bahasanya pak Harto "Ojo kagetan, Ojo gumunan" jika kita melihat ada perbedaan diantara kita.
Ajarilah mereka apabila kita bercanda berlebihan malah justru akan menurunkan derajat kita di mata orang lain, karena apabila kita dikenal sebagai pribadi yang suka bersenda gurau berlebihan, maka tanpa disadari kita pun membuka celah bagi orang lain untuk mengerjai kita pula, dengan dalih "bercanda".
Maka apabila sang anak sedari kecil tertanam jiwa yang menghormati orang lain, maka hal tersebut tentunya menjadi benteng utama menjadi pribadi yang tak suka mengprank atau mengusili orang lain secara berlebihan, mereka akan sadar bahwa humor memang penting dalam suatu jalinan hubungan, tetapi humor yang kebablasan justru bisa jadi pemicu retaknya suatu hubungan baik.
Berikanlah kejutan membahagiakan bagi orang yang kita kasihi, tetapi jangan beri mereka 'shock therapy' yang justru membuat trauma bahkan risiko berbahaya bagi siapapun. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H