Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ketika Kakek Bersepeda ke Situs Perjanjian Giyanti

9 Juli 2024   17:38 Diperbarui: 9 Juli 2024   17:38 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada artikel kali ini saya akan menceritakan kisah Ayah saya yang sudah berstatus Kakek-kakek mempunyai hobi bersepeda menuju ke spot-spot menarik dan bersejarah. Usia beliau sudah menggapai 63 tahun, namun tetap semangat bersepeda dengan jarak yang lumayan jauh untuk seusianya, mungkin selevel Kompasianer Mbah Ukik, Aki Hensa atau pak Suprihadi.

Hobi bersepeda memang sudah melekat dengan beliau, karena sewaktu muda, beliau kerap menjadi panitia acara Mountain Bike, dan menyiapkan jalurnya, beliau di waktu mudanya dikenal sangat mahir menaklukkan jalur-jalur menanjak. Tapi di hari tuanya, beliau sekarang lebih senang trip sepedaan menuju lokasi-lokasi bersejarah di sekitaran Karanganyar-Sukoharjo.

Artikel kali ini beliau membagikan pengalamannya trip sepeda menuju tempat bersejarah yaitu Monumen Perjanjian Giyanti, yaitu lokasi berlangsungnya penandatangan 'bagi-bagi' wilayah dinasti Mataram Islam, bisa dikatakan divide et Impera nya zaman VOC.

Lokasi Monumen Giyanti ini berada di sisi selatan jalan penghubung Karanganyar-Matesih. Saya dulu sering bersepeda melewati jalur ini, saya sarankan apabila anda hendak bersepeda ria di Kabupaten Karanganyar, cobalah jalur ini, pemandangannya sangat hijau.

Jalur trek yang disarankan di Kabupaten Karanganyar itu ada dua yang sering dilalui pesepeda, yaitu jalur Jaten-Karanganyar-Karangpandan dan Jaten-Karanganyar-Matesih, saya sarankan untuk melewati jalur yang kedua, karena relatif lebih lengang serta bisa mampir ke situs Monumen Perjanjian Giyanti.

Baiklah sekarang kita lihat-lihat apa saja di dalam situs Monumen Perjanjian Giyanti yang dikunjungi ayah saya serta sejarah apa saja dibalik perjanjian yang sangat terkenal ini.

Lokasi

Lokasi situs ini terletak di dusun Kerten, Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah. Dulu nama desanya Janti, tetapi karena lidah "londo" susah mengucapkan huruf "J", maka penyebutannya menjadi Giyanti, begitu juga lidah Jawa juga tidak bisa sempurna mengucapkan huruf "J", jadi penyebutannya biasanya menjadi "nJanti", akhirnya perjanjian tersebut lebih dikenal dengan nama tempat Giyanti.

Hal yang menarik perjanjian sepenting itu tidak dilaksanakan di gedung atau benteng, tetapi di bawah pohon Beringin besar, masih banyak versi kenapa lokasi berlangsungnya bisa dilaksanakan di pelosok desa.

Ketika kita memasuki situs tersebut terdapat gapura putih sebagai akses masuk pengunjung. Di sisi gapura terdapat tulisan Perjanjian Gianti, 13.2.1755. yang menandakan tanggal perjanjian tersebut.

Kemudian akan terlihat dua batang pohon besar berakar luas. Pohon tersebut dipagari tembok putih dan tampak sebuah batu berbentuk mirip meja. Batu ini dipercaya sebagai titik terjadinya perjanjian Giyanti, antara Pakubuwono (PB) III, Pangeran Mangkubumi, serta perwakilan kongsi dagang VOC.

Ayah saya menunjukkan infografis di lokasi situs Monumen Perjanjian Giyanti (dokpri)
Ayah saya menunjukkan infografis di lokasi situs Monumen Perjanjian Giyanti (dokpri)

Lokasinya sangat terawat karena sudah lama resmi dijadikan lokasi Cagar Budaya serta sering diadakan prosesi kirab oleh para abdi dalem setempat. Kita pun bisa melihat infografis lengkap yang disediakan pengelolanya, yang berisi info sejarah situs tersebut, suatu hal yang patut ditiru pada situs-situs sejarah lainnya.

Perjanjian Giyanti dalam bahasa Jawanya disebut Prajanjn ing Janti, dan dalam bahasa Belanda disebut Verdrag van Gijanti, dan diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi  "Perjanjian di Janti" adalah sebuah perjanjian antara VOC dengan Pangeran Mangkubumi. Perjanjian tersebut secara resmi membagi kekuasaan Kesultanan Mataram kepada Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.

Sejarah Latar Belakang

Perjanjian ini tidak lain imbas dari geger  Perang Takhta Jawa Ketiga yang berlangsung pada tahun 1749-1757. Geger dimulai ketika Sunan Pakubuwana II, sunan alias susuhunan Mataram, mendukung Geger Pecinan melawan Belanda. Namun pada tahun 1743, sebagai imbas dari pemulihan kekuasaannya, sang sunan terpaksa menyerahkan pantai utara Jawa dan Madura yang strategis kepada Perusahaan Hindia Timur Belanda, akibat kehabisan dana dan sering kalah di Pantura.

Sementara politik boneka terjadi ketika Sunan Pakubuwana III didukung Kompeni menggantikan takhta setelah wafatnya Sunan Pakubuwana II, namun ia harus menghadapi pemberontakan saingan ayahnya, Pangeran Sambernyawa.

Kemudian pada tahun 1749, Pangeran Mangkubumi, adik Sunan Pakubuwana II, yang tak senang dengan kedudukannya yang lebih rendah dari kakaknya, lalu bergabung dengan Pangeran Sambernyawa dalam menentang Pakubuwana III yang pro VOC.

Kemudian kompeni VOC mengirim bala bantuan pasukan untuk membantu Pakubuwana III untuk melawan pemberontaka.  Namun pada tahun 1755, Pangeran Mangkubumi membelot dari Pangeran Sambernyawa lalu menerima tawaran perdamaian di Giyanti, yang menyebabkan Mataram terbagi menjadi dua bagian.  Pangeran Sambernyawa sendiri baru menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun 1757 melalui Perjanjian Salatiga, dimana ia mendapatkan hak untuk memerintah sebagian siti lungguh atau status "tanah apanase" atau enclave di wilayah nagara agung Mataram bagian timur, dan  kemudian bergelar sebagai Adipati Mangkunegara I.

Isi Perjanjian

Secara umum isi Perjanjian Giyanti adalah pembagian Kesultanan Mataram menjadi dua bagian, yakni Kasunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Sunan Pakubuwana III dan Kesultanan Yogyakarta di bawah tampuk kepemimpinan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwana I. Pada periode sebelumnya Keraton Surakarta telah didirikan  terlebih dahulu pada kurun waktu kekuasaan Sunan Pakubuwana II sebagai pengganti Keraton Kartasura yang diluluhlantahkan lantaran pada Geger Pecinan di bawah kepemimpinan Sunan Amangkurat V.

Sangat disarankan bagi kaum muda untuk bisa berkunjung ke situs Monumen Perjanjian Giyanti, yang memiliki nilai sejarah tinggi, sebagai Napak tilas perjalanan bangsa ini yang penuh lika-liku. Semoga Bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun