Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bicara Green Jobs, Tukang Rongsokan Udah Jalan Duluan

9 Juni 2024   16:37 Diperbarui: 9 Juni 2024   19:29 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Rosok... Rosok... Panci bekas, kertas bekas, Koran bekas, kardus, botol bekas... ayo bapak ibu... daripada Menuhin rumah.... Rosok... Rosok..."

Itulah panggilan khas dari loudspeaker sebuah mobil pick up yang berjalan merayap pelan di perumahan padat penduduk tiap akhir pekan, bapak-bapak yang mengendarainya adalah 'pemburu' barang bekas tak terpakai dari warga perumahan, yang nanti akan mereka beli sesuai dengan harga pasaran barang bekas.

Jika di Jawa Tengah, biasanya bisnis barang rongsokan disebut 'rosok-rosok', jadi jika di minggu pagi, biasanya kadang bapak-bapak komplek seperti saya menanti mobil pick up pemburu 'rosok-rosok', untuk menjual barang bekas yang sudah saya kumpulkan selama berminggu-minggu. Hasil penjualannya memang tak seberapa, tapi lumayanlah lebih besar dari K Rewards yang biasa saya dapatkan, lumayan bisa mengajak keluarga pergi makan ke luar.

Botol plastik yang paling banyak dicari para pengepul barang bekas, dan besi bekas adalah barang bekas yang nilai jualnya paling tertinggi. Biasanya selama sebulan saya mengumpulkan kardus, botol bekas, kertas dan barang bekas lainnya yang sudah tidak terpakai di rumah. Semuanya saya tata rapi pada boks-boks yang sudah saya tentukan kategorinya, jadi ketika bapak 'rosok-rosok' lewat, semua barang tersebut sudah siap ditimbang menurut klasifikasi barangnya, sehingga proses transaksi bisa berlangsung efektif dan efisien.

Kali ini Kompasiana menawarkan topik tentang Green Jobs, suatu topik yang memang harus tidak harus sekedar wacana atau gagasan, tetapi bisa menjadi peluang kerja yang terbuka luas di masa depan. Sebenarnya di sekitar, sudah banyak pekerjaan yang berkaitan dengan Green Jobs, namun sebagian besar dari kita masih menganggapnya sebagai 'bukan pekerjaan', karena tidak dalam ruangan kantor, tidak pakai seragam, tidak pakai kemeja kadang pun tidak ada slip gajinya.

Sebut saja bisnis barang rongsokan yang saya ilustrasikan di atas, kemudian ada bank sampah yang dikelola komunitas warga sadar kebersihan, lalu ada pembudidaya tanaman hias dan kebun, tukang rumput, tukang kebun dan lainnya, bukankah semua pekerjaan itu adalah berkategori Green Jobs ?.

Dikutip dari International Labour Organization (ILO) pada 2007 mendefinisikan green job sebagai pekerjaan yang layak, dan berkontribusi terhadap kelestarian dan karena green job merupakan hasil dari praktik ekonomi hijau (green economy) maka pekerjaan ini juga harus inklusif secara sosial. Pekerjaannya bisa dari sektor tradisional, termasuk manufaktur dan konstruksi, dan bisa juga dari sektor baru, seperti energi terbarukan dan efisiensi energi.

Dikarenakan Green Jobs memakai bahasa Inggris, jadi kita langsung membayangkan pekerjanya memakai masker, celemek hijau, pakai sarung tangan dan di dalam sebuah green house sambil menata bibit-bibit sayuran organik. Padahal cakupan Green Jobs sebenarnya sangatlah luas, seorang pendongeng yang bertematik kelestarian lingkungan pun juga berkategori demikian. Permasalahannya jenis Green Jobs yang ada masih parsial, belum bergerak bersama bersinergi, belum menjadi industri.

Lalu bagaimana caranya kita bisa menggerakkan Green Jobs yang sudah ada di sekitar kita dapat menjadi suatu industri besar yang bisa memberikan peluang tenaga kerja yang banyak serta upah yang layak, berikut ulasannya.

Optimalkan UMKM Green Jobs

Faktanya, bisnis barang rongsokan adalah sektor UMKM yang sudah berhasil membuat lini usaha Green Jobs menjadi suatu supply chain industri tersendiri. Mulai dari pemulung kecil, pengumpul kelas pick up, pengepul rumahan, pengepul besar, pengepul berkategori, pengrajin barang bekas, hingga sampai pabrik yang bergerak di bidang recycle seperti pabrik plastik hingga furniture barang bekas. Semuanya saling terkoneksi menjadi sebuah jalinan industri yang saling terkait.

Sayangnya, para pelaku bisnis barang rongsokan tidak terdata secara komprehensif hingga kini, ketika saya kulik-kulik datanya di google dan laman Kementrian Lingkungan Hidup, tidak data statistik yang pasti tentang jumlah pelakunya serta perputaran uangnya. Kalaupun ada, cuma ada data Bank Sampah yang dikelola secara swadaya masyarakat sebanyak 25 ribu di seluruh Indonesia, tidak ada data empiris tentang bisnis barang rongsokan yang dikelola secara bisnis murni.

Banyak artikel yang menceritakan tentang banyaknya pengusaha barang rongsokan yang sukses hingga beromset milyaran, saya pun mempunyai tetangga di kampung, yang punya bisnis rongsokan rumahan, dimana ia mampu menyekolahkan keempat anaknya hingga Universitas serta berkehidupan layak. Hal tersebut bisa menggambarkan, jika Green Jobs benar-benar dijalankan secara sungguh-sungguh, maka bisa saja bernilai ekonomi yang sangat tinggi.

Sayangnya, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan dinas terkait kurang mengoptimalkan para pelaku bisnis yang menjadi pioneer Green Jobs. Memang ada Kalpataru atau penghargaan di bidang lingkungan hidup yang dinisiasi Kementerian Lingkungan Hidup atau instansi lainnya. Namun upaya yang dilakukan haruslah tidak hanya sekedar seremonial memberikan penghargaan suka cita saja.

Perlu ada pendataan serius tentang jumlah pelaku usaha, perputaran uangnya, hambatan bisnis hingga pendampingan bagi para pelaku bisnis Green Jobs pemula. Hal ini teramat penting, agar pola Green Jobs bisa direkam dan dikembangkan melalui data-data empiris tersebut.

Pelibatan Sekolah dan Akademisi

Dalam penyusunan data empiris tersebut, libatkanlah sekolah-sekolah berbasis Alam dan kampus-kampus Universitas yang memiliki minat besar terhadap isu kampanye hijau.  Untuk sekolah, para peserta didik mulai ditanamkan tentang kesadaran tentang kelestarian lingkungan, sehingga kelak mereka dewasa, bahwa mencari uang juga bisa berusaha pada bidang Green Jobs.

Pihak akademisi memiliki peran yang sangat vital dalam menyusun kerangka besar tentang Green Jobs itu sendiri. Para mahasiswa terjun ke lapangan mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam riset Green Jobs yang bisa dikembangkan.

Hasil jurnal penelitian tersebut akan menjadi dasar blue print dalam pengembangan Green Jobs baik yang sudah ada, maupun inovasi yang bisa dilakukan di masa depan.

Kampanye Green Jobs

Jika blue print Green Jobs sudah berhasil dipublikasikan oleh Kementrian Lingkungan Hidup berkerjasama dengan pihak akademisi, maka langkah selanjutnya adalah upaya mengkampanyekan Green Jobs kepada masyarakat secara massif.

KKN Mahasiswa bisa saja mengambil beberapa tematik Green Jobs yang bisa dikembangkan pada suatu daerah. Tematik Green Jobs haruslah memiliki supply chain yang saling terkoneksi, sehingga bisa membentuk suatu lini bisnis industri yang bisa menyerap tenaga kerja yang banyak serta bernilai tinggi, seperti industri barang rongsokan yang sudah jadi.

Bisnis green jobs seperti pupuk kompos sampah rumah tangga, bank sampah swadaya hingga green social media influencer adalah tematik-tematik yang kiranya bisa dikembangkan serta dikampanyekan secara serius oleh dinas terkait, agar lini bisnis ini terlihat seksi dan bisa dilirik banyak orang.

Merancang Green Jobs Masa Depan

Kedepannya bisa saja suatu saat ada dinas 'green jobs' yang dibawah binaan Kementrian Lingkungan Hidup serta berkerjasama dengan dinas terkait yang memiliki visi dalam pelestarian lingkungan. Sehingga isu Green Jobs sudah bukan lagi cerita dongeng semata, tetapi memang sudah menjadi sektor industri menjanjikan.

Dikarenakan selama ini Green Jobs lebih identik pada program CSR dari BUMN atau perusahaan Swasta besar, belum dianggap lini bisnis yang memiliki nilai investasi besar. Bukan tidak mungkin kedepannya banyak produk hasil daur ulang dari industri hijau negara kita, bisa bernilai ekspor yang tinggi.

Kita punya segalanya, bahan materialnya ada, tenaga kerjanya ada, lahannya ada, akademisinya ada, tinggal kembali kepada Pemerintah mau tidak mengembangkan industri hijau negara kita sehingga bisa menciptakan Green Jobs yang luas dan bernilai upah tinggi.

Kita harus belajar dari bapak-bapak tukang rongsokan, yang mau berpanas-panas 'hunting' mencari barang bekas, yang sudah praktek duluan Green Jobs secara berkelanjutan, dari mereka kita belajar bahwa ketekunan dan kerja keras pasti akan menghasilkan yang inspiratif bagi kita semua. Semoga Bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun