Saya mempunyai buku menarik yang berjudul "Panggung Sejarah", sebuah buku yang berisi beberapa Esai tentang sejarah Nusantara. Dimana para penulis esai tersebut adalah orang-orang terdekat dari sejarahwan legendaris asal Perancis, Prof. Dr. Denys Lombard, dan buku kumpulan esai tersebut memang dipersembahkan untuk mengenang jasa-jasa beliau dalam menghimpun data dan informasi sejarah nusantara.
Salah satu esai yang menarik perhatian saya adalah Esai yang berjudul "Sembilan Tahun Di Stovia, 1907 -- 1916". Esai ini ditulis oleh kolega dekat Prof Dr Denys Lombard yaitu Winarsih Partaningrat Arifin. Jika esai lainnya lebih kepada pembahasan sejarah secara komprehensif, maka dalam esai ini justru lebih kepada menampilkan memoar atau catatan penting seorang mantan siswa sekolah kedokteran bumiputera, Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di jaman Hindia Belanda yang bernama Wirasmo Partaningrat. Esai yang disajikan sangat mengalir seperti membaca buku harian atau diary, namun yang menjadi menarik adalah detail-detail kehidupan para siswa Stovia di awal abad 20 tersaji dengan apik dan deskriptif.
Pada artikel ini saya akan mencuplik salah satu bagian kisah dari esai tersebut, yaitu pada bagian saat para siswa Stovia melakukan kegiatan pengabdian masyarakat atau istilah jaman sekarang kita mengenal dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Esai ini terbilang sangat detail jelas mengulas kisah kehidupan siswa Stovia di jaman Hindia Belanda mulai dari latar belakang siswanya, proses pendaftarannya, perploncoannya, pembelajarannya, indekosnya, KKN-nya hingga akhirnya mereka lulus menjadi dokter bagi kaumnya.
Sebelum mengulas kegiatan KKN-nya siswa Stovia, terlebih dahulu kita mengenal sekilas pandang tentang Stovia. Sekolah ini sebenarnya berkembang dari Sekolah Dokter Jawa yang didirikan di berbagai kota besar di jaman itu, jika kita samakan di jaman sekarang, Sekolah Dokter Jawa lebih seperti sekolah kejuruan, tetapi lebih fokus pada kesehatan masyarakat, karena saat itu sering terjadi wabah penyakit, maka tenaga kesehatan dari lulusan Sekolah Dokter Jawa sangat diperlukan sebagai mantra vaksinasi dan pengobatan. Â Kita mengenal banyak tokoh-tokoh pergerakan nasional lahir dari rahim Stovia seperti Dr. Soetomo, Gunawan Mangunkusumo dan lain-lain.
Sementara Stovia adalah sekolah lanjutan dari Sekolah Dokter Jawa yang didirikan di Batavia tahun 1851, maka jika disamakan pada jaman sekarang, Stovia seperti Sekolah Tinggi yang dikhususkan bidang kesehatan, gelar lulusannya bukan lagi dokter Jawa, tetapi Inlandsche Arts. Bangunan Stovia kini menjadi bagian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Wirasmo Partaningrat
Kita mengenal singkat terlebih dahulu tokoh dibalik esai tentang kehidupan para siswa Stovia ini, yaitu Wirasmo Partaningrat. Dia adalah anak seorang bangsawan Mangkunegaran dari kota Solo, yang disekolahkan ayahnya di Stovia, Batavia. Tidak semua anak priyayi bisa bersekolah di Stovia, karena ada rangkaian tes yang harus dilalui, salah satunya tes kemampuan berbahasa Belanda yang paling tersulit, kebetulan Wirasmo pandai berbahasa Belanda.
Beliau masuk ke Stovia tahun 1907, dimana ia harus menjalani tiga tahun studi persiapan, kemudian dilanjutkan enam tahun studi tentang kedokteran. Suatu masa studi yang cukup lama, namun kelak menghasilkan dokter-dokter pribumi mumpuni dan memompa pergerakan nasional. Di masa studi yang lama tersebut, kegiatan para siswa juga diselingi dengan kegiatan pengabdian masyarakat atau yang kita kenal dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN), apa saja yang mereka lakukan, berikut ulasannya.
Kegiatan Vaksinasi di Weltevreden
Para siswa Stovia mempunyai kegiatan rutin melakukan vaksinasi di sekitaran Stovia yaitu daerah Weltevreden, Batavia. Vaksinasi yang diberikan adalah vaksin kolera dan vaksin anti-tipus, dimana penyakit ini hampir selalu mewabah setiap tahunnya di Batavia, dan merupakan penyakit yang tingkat kematiannya paling tinggi di jaman itu, serta tingkat penyebarannya paling cepat, mengingat sanitasi perkampungan di jaman Hindia Belanda masih belum baik.
Biasanya yang terjun melakukan vaksinasi sebanyak 3 kelas, mereka diberikan latihan selama 1 hari terlebih dahulu, kemudian disebar ke kampung-kampung selama 1 minggu. Uniknya, karena di jaman itu vaksinasi masih baru dimulai, maka uji coba penyuntikan  vaksin dilakukan kepada siswa Stovia sendiri. Diceritakan oleh Wirasmo, hampir semua siswa sama sekali tidak keberatan, karena imbalan dari uji coba penyuntikan vaksin tersebut adalah diberikan makanan tambahan rujak atau gado-gado, dan bagi siswa di jaman itu adalah suatu kemewahan.
Para siswa mempunyai agenda rutin melakukan vaksinasi kepada kalangan pejabat, militer dan tahanan di kota Batavia setiap setahun sekali, dan mereka melakukannya dengan senang hati, karena sekali lagi bayarannya hanyalah tambahan makanan yang dianggap oleh mereka adalah anugerah tak terkira.
Pemberantasan Wabah Pes Di Daerah
Pada awal abad 20, Hindia Belanda dilanda wabah pes yang mematikan di berbagai daerah, penyakit itu belum begitu dikenal di pulau Jawa pada jaman itu. Daerah yang paling parah terkena wabah Pes adalah sekitaran kota Malang, diceritakan Wirasmo, banyak siswa dari kelas yang paling tertinggi diterjunkan untuk membantu para dokter di sana memberantas wabah Pes.
Di daerah yang terkena wabah Pes, para siswa mendirikan tenda-tenda darurat bersama para kesatuan militer. Mereka membantu perawatan para pasien-pasien wabah pes di tenda-tenda steril serta juga melakukan vaksinasi bagi masyarakat yang belum terpapar Pes.
Selain melakukan perawatan dan vaksinasi Pes, para siswa juga memperbaiki sanitasi dan keadaan rumah warga yang dinilai cukup buruk kebersihannya, dikarenakan sanitasi dan lingkungan yang kurang higienis diasumsikan menjadi penyebab utama wabah Pes dapat tersebar dengan cepat. Kelak dengan kerapnya para pemuda priyayi lulusan Stovia ini berinteraksi dengan rakyat kecil melalui kegiatan pengabdian masyarakat seperti vaksinasi, pengobatan gratis dan perbaikan sanitasi lingkungan, akan menimbulkan benih rasa cinta tanah air, karena melihat ketimpangan kesenjangan sosial di hadapan matanya, hingga akhirnya melakukan pergerakan nasional di pertengahan abad 20.
Membantu Mantri Cacar
Asal muasal didirikannya Sekolah Dokter Jawa di berbagai daerah adalah untuk menekan penyakit cacar yang tidak kunjung berhasil diberantas di Hindia Belanda sekitar akhir abad 19. Karena masih terbatasnya tenaga kesehatan akhir abad 19, maka yang turun ke lapangan adalah mantri cacar yang diberikan pelatihan singkat.
Namun keberadaan mantri cacar dan lulusan dokter Jawa dirasakan masih kurang kontribusinya, karena mereka sifatnya hanya sekedar mengobati dan hanya fokus pada penyakit cacar. Maka secara rutin para siswa Stovia pun membantu para mantri cacar dan dokter Jawa di daerah, ketika ada jadwal pengobatan penyakit cacar di daerah-daerah. Vaksinasi cacar yang dibantu oleh siswa Stovia bisa dikatakan sangat berhasil di jaman itu, benar-benar menekan jumlah penyakit cacar yang sebelumnya sangat sulit diberantas.
Pada jadwal pengobatan cacar tersebut, para siswa Stovia terpelajar tersebut pun juga membantu pengobatan penyakit umum lainnya seperti sakit perut dan infeksi. Selain itu juga melakukan sosialisasi gaya hidup bersih dan higienis kepada masyarakat pribumi agar terhindar dari wabah penyakit.
Benih Pergerakan Nasional
Kegiatan KKN para siswa Stovia pada jaman Kolonial memang sangat luar biasa, bisa dikatakan mungkin mereka adalah pioneer KKN di Indonesia, dimana mereka benar-benar terjun ke daerah pusat wabah penyakit. Saya katakan luar biasa, karena memang studi kedokteran di jaman itu memang hal yang 'Tersier', orang tua mereka mengeluarkan biaya tak sedikit, namun para siswa Stovia tetap memiliki jiwa 'egaliter' membantu bangsanya lewat kegiatan pengabdian masyarakat, dan mungkin saja kegiatan KKN Siswa Stovia di daerah-daerah, memunculkan benih-benih jiwa nasionalisme pada diri mereka untuk memperbaiki nasib bangsa mereka yang tertindas oleh Kolonialisme.Â
Tokoh-tokoh seperti Dr Soetomo, Dr Wahidin Soedirohusodo, Dr Tjipto Mangunkusumo dan masih banyak lainnya, adalah para lulusan Stovia yang terlibat langsung dalam pergerakan nasional bangsa Indonesia. Mereka pun berujar bahwa ketika para siswa Stovia sering melakukan kegiatan pengabdian masyarakat, kebanyakan dari mereka kaget dengan kenyataan bangsanya yang tertindas dengan penjajahan, dikarenakan selama ini para pemuda priyayi tersebut merasa nyaman dengan status kebangsawanannya, sehingga lambat laun memunculkan jiwa sosial mereka yang tinggi hingga akhirnya mencetuskan pergerakan untuk memerdekakan bangsanya.
Kegiatan KKN Siswa Stovia bukanlah sekedar KKN biasa, tetapi menjadi perubahan dinamika sosial pada bangsa Indonesia, membuka mata para kaum terpelajar pada masa itu untuk merubah nasib bangsanya menjadi lebih baik. Semoga Bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI