Siapa guru favorit anda ? apakah yang ramah ? apakah suka memberi nilai kompromi ? apakah yang sangat disiplin ? atau anda mempunyai penilaian lain tentang preferensi tentang guru yang selalu melekat dalam memori muridnya.
Sosok guru yang 'digugu' dan 'ditiru' menggambarkan bahwa guru bukanlah sekedar media perantara pembelajaran bagi peserta didik, tetapi juga harus menjadi Ing Ngarso Sung Tulodho. Selain itu juga harus menjadi sosok yang dapat menggali potensi terbaik dari muridnya dengan konsep ing madyo mangun karso. Serta menjadi supporter yang teriakannya paling kencang bagi para muridnya dengan berpegang pada Tut Wuri Handayani.
Menurut  Ki Hajar Dewantara menyatakan seorang guru jangan hanya memberi pengetahuan saja, tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan menggunakannya untuk kepentingan umum. Sehingga untuk mewujudkan hal tersebut guru harus bisa membangun chemistry kepada muridnya.
Lalu bagaimanakah cara membangun hubungan yang baik antara sang guru dengan para muridnya, agar apa-apa yang ingin 'diwariskan' sang guru bisa membekas dan bermanfaat bagi kehidupan anak didiknya. Bobbi De Porter seorang psikolog pendidikan ternama di Amerika Serikat dalam bukunya Quantum Teaching, mengemukakan setidaknya 6 hal yang bisa menjadi pijakan dalam membangun hubungan antara guru dan muridnya, berikut ulasannya.
Perlakuan Inklusif dan Egaliter Sederajat
Seorang guru harus mampu memperlakukan kesemua muridnya dengan adil dan tidak pilih kasih. Jiwa inklusif harus tertanam pada seorang guru sejati, sehingga tidak membeda-bedakan skala kemampuan setiap peserta didiknya baik secara kognitif, Â motorik bahkan mentalnya. Dalam pikiran seorang guru harus berpikir bahwa tidak ada anak yang bodoh, semua anak didiknya harus dilatih menjadi mental seorang juara.
Pendidik juga tidak boleh membedakan perlakuan kepada muridnya, hanya karena perbedaan kelas sosial para orang tua walinya. Saya masih sering melihat banyak guru di Indonesia yang suka memposting status ucapan terima kasih di sosial media karena telah diberikan sesuatu hadiah entah itu makanan atau barang dari salah satu orang tua wali muridnya, sekilas mungkin tidak terlihat sesuatu yang mengapa, namun dalam konteks membangun hubungan antara guru dan para orang tua wali murid secara keseluruhan agak kurang elok dan kurang etis, karena seolah agak subyektif kepada salah satu orang tua wali murid.
Mengetahui Perasaan Mereka
Peserta didik juga manusia, juga memiliki perasaan, mereka bukanlah obyek pendidikan, tetapi justru subyek yang harus 'dijuarakan' apa yang ingin mereka 'juarakan'. Memahami perasaan mereka bukan berarti menyelami dalam-dalam apa yang mereka rasakan, tetapi lebih kepada menurunkan ego sebagai guru dalam mengerti perubahan suasana hati mereka saat pembelajaran.
Pendidik harus mengetahui kapan saatnya mengadakan pembelajaran secara komprehensif, kapan saatnya membuat suasana pembelajaran dengan permainan, kapan saatnya mengajak anak didiknya bersenda gurau bahkan kapan saatnya bersikap tegas terhadap sesuatu yang harus butuh penegasan dari gurunya.
Membayangkan Menjadi Mereka
Kita sesekali menjadi mereka untuk memahami mereka, pelajari permainan-permainan yang sedang digandrungi oleh mereka, games apa yang sedang viral diantara mereka, lalu bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang disukai di sekolah itu apa saja.
Peserta didik adalah customer pendidikan atau ibaratnya seperti pelanggan yang harus dimengerti apa maunya. Kita tidak bisa memberikan jasa yang terbaik , jika kita tidak tahu sebenarnya apa yang mereka inginkan. Jangan sampai seolah seorang guru hanya sekedar menyampaikan materi pembelajaran, tetapi tak mau tahu apa para muridnya memahaminya atau tidak.