"Kamu harus jadi anak yang baik", ujar sang guru.
"Baik itu seperti apa pak?", jawab sang murid.
Makna baik memang sangat luas maknanya bahkan bisa bias jika kita intrepretasikan dengan definisi masing-masing. Ada yang bilang anak yang baik itu kalem, penurut, namun adapula yang mendefinisikan anak yang baik itu mampu berprestasi secara akademik.Â
Ada yang bilang suami yang baik itu bisa jadi imam bagi keluarganya, tetapi di lain pihak ada istri yang mengatakan suami yang baik itu selalu bisa membuat dompet istri selalu penuh. Semua bisa berpendapat makna baik itu seperti apa, tapi intinya manusia selalu berusaha untuk baik-baik saja.
Sebagai pendidik atau orang tua, kita selalu berujar bahwa kita harus selalu berbuat kebaikan dengan sesama kepada anak-anak kita, namun kadang kita pun tak mengerti makna baik secara hakiki.
Filsuf Jerman, Immanuel Kant mendefinisikan kebaikan berasal dari perbuatan yang diperoleh atas dasar pemenuhan kewajiban dan tidak memperhatikan tujuannya. Suatu perbuatan dilakukan karena merupakan kewajiban sehingga tidak memerlukan alasan untuk dikerjakan. Menurut Plato, melakukan kebaikan adalah hakikat tertinggi dalam jalan mencari kebenaran. Maka dengan demikian perbuatan baik memang harus diperjuangkan untuk dilakukan agar kita bisa menemukan makna kehidupan dengan dilandasi rasa ikhlas.
Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan nilai-nilai dasar kebaikan yang menjadi esensinya. Tentunya, nilai-nilai kebaikan bisa banyak sekali di dalam dinamika kehidupan kita, lalu nilai-nilai apa saja yang bisa kita ajarkan kepada anak semenjak usia dini, sehingga bisa memudahkan kita dalam mengejawantahkan makna kebaikan kepada mereka.
Adalah John Garmo, Ph.D, penulis kenamaan asal Amerika Serikat yang sering menulis tentang pola asuh anak, di dalam bukunya "Cultivating Honorable Character : Teacher Guide", menjabarkan setidaknya ada 4 nilai kebaikan yang bisa diajarkan kepada anak semenjak usia dini, berikut ulasannya.
Keramahan
Orang tua atau pendidik dapat menunjukkan makna kebaikan keramahan dengan menerima satu sama lain sebagaimana adanya mereka, saling melindungi dari bahaya, saling mendengarkan, menghabiskan waktu bersama-sama tanpa membedakan satu sama lainnya.
Konsep senyum, sapa dan santun harus selalu ditanamkan semenjak kecil agar memantik sifat keramahan khas ketimuran. Keramahan bukanlah sekedar basa-basi ketika bertemu dengan orang, tetapi memposisikan diri hati yang lapang dan berpikir positif kepada setiap orang.
Kita bisa melihat setiap sesi awal pembukaan kelas pada jenjang PAUD, TK hingga SD bisa memakan waktu hingga 10 menit lebih, dimana dalam sesi tersebut biasanya pendidik melakukan ucapan saling sapa dengan nyanyian 'rhymes' dan menanyakan kabar kepada peserta didik. Hal tersebut bukanlah basa-basi, tetapi merupakan bagian dari pembelajaran keramahan saling berempati serta saling membuat mood baik ketika hendak memulai kelas.
Belas Kasih
Para pendidik dan orang tua dapat menunjukkan nilai-nilai belas kasih dengan mengajarkan konsep kepekaan dengan lingkungan sekitar. Bisa dikatakan dalam mengajarkan konsep belas kasih tidaklah mudah, dikarenakan anak-anak dalam usia dini, masih memiliki sisi egois kekanak-kanakan yang cukup tinggi.
Metode yang bisa digunakan bisa mengajak mereka ke panti asuhan, atau menayangkan film-film anak-anak yang sedang kelaparan di Afrika, diharapkan bisa memantik jiwa welas asih di dalam sanubari mereka. Jika muncul rasa iba dalam diri mereka, maka akan mudah bagi kita untuk memberikan pesan moral agar kita peduli dengan sesama.
Metode yang lain bisa juga dengan memelihara binatang di rumah, ajarkan mereka bertanggung jawab dalam merawatnya, sehingga akan terpupuk jiwa kepedulian dalam diri mereka, sehingga sedikit demi sedikit rasa selfish-nya bisa berkurang.
Kemurahan Hati
Konsep ketersedian hati untuk menolong orang lain menggunakan waktu, uang atau sumber daya yang kita miliki adalah landasan dasar dari makna kemurahan hati. Kedermawanan adalah aktualisasi dari manusia yang berbudi pekerti tinggi.
Anda bisa mengajarkan sedari awal seperti menyuruh mereka untuk memberikan infaq di kotak amal masjid, atau mengajak mereka untuk berdonasi jika ada acara pengumpulan dana untuk bantuan korban bencana alam. Hal-hal seperti ini akan memantik jiwa yang murah hati, yang mudah untuk berempati dan mau berkorban untuk membantu orang lain.
Tanamkan kepada mereka, bahwa apa yang kita korbankan untuk hal kebaikan, maka kebaikan itu pun akan kembali kita juga, konsep tanam tuai adalah hal yang universal dan cukup mudah untuk kita pahamkan untuk anak-anak.
Pemaaf
Tak ada manusia yang sempurna, tak ada gading yang tak retak, ajarkan kepada anak-anak bahwa meminta maaf takkan membuat kita kalah, takkan membuat kita menjadi malu, sekalipun bisa saja kita berada di pihak yang benar.
Dunia anak adalah dunia bermain, bukan tak mungkin, ketika mereka bermain, pasti kadang terselip bumbu perkelahian atau perseteruan diantara pertemanan mereka. Entah itu berebut mainan, merasa dicurangi saat bermain hingga hal sepele seperti rebutan tempat duduk. Ketika momen itu terjadi, orang dewasa harus segera mengintervensi dan menyarankan kedua pihak yang 'bertikai' untuk saling maaf, tanpa terlebih dahulu memvonis siapa pihak yang salah.
Anak-anak usia dini tidak perlu penjelasan panjang lebar tentang keadilan salah atau benar ketika ada pertengkaran diantara mereka, yang perlu mereka tahu adalah langsung meminta maaf jika ada pertengkaran. Sikap ksatria berlapang dada mau meminta maaf harus tertanam semenjak dini, agar kelak menjadi manusia bijak ketika dewasa nantinya.
Ali bin Abi Thalib berkata, "Orang yang berbuat kebaikan adalah lebih baik daripada kebaikan itu sendiri; dan yang berbuat kejahatan adalah lebih jahat daripada kejahatan itu sendiri". Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H