Saya bukanlah sarjana matematika, tetapi saya agak mengkritik penyusun kurikulum matematika untuk peserta didik Sekolah Dasar.
Saya tak bisa memahami kenapa anak kelas 2-3 SD sudah harus belajar konsep perkalian hingga belasan puluhan, volume bangun ruang, satuan berat dan masih banyak materi yang kiranya cukup njlimet untuk anak usia di bawah 10 tahun.
Saya pun iseng melihat soal-soal matematika anak SD di Inggris untuk level kelas yang sama di internet, dan saya pun kaget, hanya berupa soal tambah, kurang serta perkalian yang masih sederhana, bahkan di Jepang pun juga sama, hanya materi-materi hitungan sederhana yang berkaitan kehidupan sehari-hari, bahkan sepintas seperti soal anak TK di Indonesia hanya agak lebih kompleks.
Walhasil, banyak orangtua di Indonesia yang mengeluhkan betapa sulitnya dalam membahas soal-soal PR matematika anaknya yang masih SD. Soal yang terlihat mudah bagi orang dewasa, namun terlihat sulit bagi anak-anak di bawah usia 10 tahun.
Sebenarnya bukan sulit, tetapi memang kemampuan berpikir otaknya belum mencapai kematangan dalam memahami beberapa soal matematika yang belum diperuntukkan bagi seusianya.
Hal ini menjadi sangat penting, karena apabila sang anak mampu menyelesaikan soal-soal matematika dengan baik sesuai dengan fase pertumbuhannya, maka hal tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya. Berbeda apabila soal-soal pada kurikulum yang ada, berada di atas level umurnya, maka yang akan terjadi muncul ketidakpercayaan diri pada sang anak, karena sulit memahami soal-soal berhitung yang diberikan.
Menurut Profesor Iwan Pranoto, guru besar Matematika dari ITB, sebenarnya penerapan pelajaran Matematika untuk anak SD harus bersifat menarik, seperti memecahkan misteri. Namun, di Indonesia pelajaran matematika SD lebih menitikberatkan pada keterampilan berhitung, sementara di Negara-negara maju, pembelajaran matematika lebih menitikberatkan pada pengembangan logika dan nalar.
Konsep pembelajaran matematika yang menarik harus sudah dimulai semenjak usia dini, pembelajaran tidak bisa langsung kepada perihal keterampilan berhitung, tetapi bagaimana pembelajaran tersebut tampak menarik bagi anak-anak.
Adalah Shelly Herold, MS, Ed seorang ahli pedagogi terkenal dari Amerika Serikat di dalam bukunya “Be A Perfect Parent”, memaparkan 4 hal konsep pembelajaran matematika yang menarik diperuntukkan bagi anak usia dini, berikut ulasannya.
Geometri Dasar Lingkungan Sekitar
Hal yang paling mudah untuk memperkenalkan matematika untuk anak usia dini adalah mengenalkan konsep geometri dasar di sekitar lingkungan. Kemampuan geometri dasar akan memantik pemikiran logika kognitifnya untuk berkembang lebih mudah.
Anak-anak usia dini sebagian besar konsep pembelajarannya adalah visual dari apa yang dilihat, maka tak heran mereka lebih senang bermain mainan yang bisa disentuh secara fisik, ketimbang melihat buku-buku pelajaran matematika dasar.
Maka dari itu, dalam mengajarkan konsep geometri dasar, anda bisa menyentuh langsung alam bawah sadarnya dengan memperkenalkan berbagai bentuk geometri benda-benda yang sering dilihatnya atau bahkan disentuhnya.
Bentuk seperti sapu tangan yang berbentuk persegi, jam dinding yang berbentuk lingkaran, atap rumah berbentuk segitiga, rubik berbentuk kubus, piramida berbentuk limas dan lainnya adalah contoh-contoh konsep pembelajaran geometri dasar yang sangat bisa diajarkan untuk anak-anak usia dini. Walau terlihat sepele bagi orang dewasa, tapi bagi anak usia dini, hal tersebut akan membuka kotak Pandora dalam otaknya untuk berpikir kognitif jauh lebih berkembang .
Alat Peraga Menarik
Dalam metode Montessori, pembelajaran bagi anak usia dini, termasuk pelajaran matematika di dalamnya, haruslah diperbanyak alat peraga yang mampu menarik perhatian anak-anak.
Jika sedari dini, anak-anak sudah tertarik memecahkan permainan matematika dengan alat peraga yang menarik, maka ketika seiring bertambah usianya, dia tidak akan menjadikan pelajaran matematika menjadi suatu momok baginya.
Alat peraga seperti puzzle angka, puzzle bangun ruang, lego angka, poster matematika aneka warna, sempoa warna warni dan lainnya harus tersedia cukup banyak di ruang-ruang kelas antara jenjang PAUD hingga kelas 3 SD. Hal tersebut dikarenakan anak-anak yang masih berusia di bawah 10 tahun, pola konsepnya masih bermain sambil belajar.
Kita harus memastikan kesan pertama pelajaran matematika harus menarik di mata anak-anak, sehingga alat peraga matematika menarik adalah perangkat wajib yang harus menyertai dalam pembelajaran awal bagi anak-anak usia dini, agar di jenjang selanjutnya, anak-anak merasa selalu senang dengan pelajaran matematika.
Menghitung Item Dikenal
Cobalah untuk belajar menghitung barang-barang atau sesuatu yang berada di lingkungan sekitarnya. Biasanya untuk anak usia dini, tidak semuanya langsung memahami konsep angka konvensional, maka untuk pengenalan pelajaran berhitung, bisa dimulai dengan konsep menghitung sesuatu yang bisa dihitung di sekitarnya.
Sebagai awalan bisa saja menghitung beberapa anggota tubuhnya, menghitung jumlah mainannya yang sejenis, menghitung koleksi kartu dan segala hal yang menarik baginya. Hal tersebut akan memudahkan baginya untuk memahami konsep bilangan untuk lebih lanjut, seperti konsep angka, penambahan dan pengurangan sederhana.
Permainan Berhitung
Setelah anak sudah agak mulai memahami konsep bilangan sederhana melalui alat peraga menarik dan menghitung item yang dikenal, maka tahap selanjutnya adalah mengajak anak mulai berlogika dengan angka melalui permainan berhitung.
Konsep soal dengan menggunakan kata-kata seperti meminjam, memberi, menambahkan dengan objek-objek alat peraga atau item barang di sekitarnya, akan memudahkan baginya untuk memahami soal-soal yang lebih kompleks di jenjang usia selanjutnya.
Anak-anak sangat menyenangi konsep permainan berhitung, logika kognitifnya akan lebih terasah dengan metode ini. Permainan berhitung sangat bisa dipakai hingga anak kelas 4 Sekolah Dasar, karena untuk mematangkan kemampuan kognitifnya yang masih perlu dilatih selalu.
Kesalahan sebagian dari pendidik dan orangtua dalam mengajarkan pelajaran matematika kepada anak-anak adalah kadang menganggap kemampuan daya tangkap numerasi sang anak disamakan dengan kemampuan numerasi orang dewasa, sehingga sangat penting untuk memahami fase perkembangan daya tangkap anak di dalam pembelajaran matematika yang asyik, menyenangkan dan menarik. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H