Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dialekta Pendidikan Rabindranath Tagore dan Ki Hajar Dewantara

2 Mei 2024   11:33 Diperbarui: 2 Mei 2024   11:56 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filsuf agung berjenggot lebat asal India itu tampak terkagum-kagum dengan tarian sambutan para pelajar sekolah Taman Siswa, beliau kagum dengan metode pembelajaran yang menekankan pengembangan minat bakat sesuai kemampuan peserta didik yang dikembangkan dan dirintis oleh bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.

Filsuf itu bernama Rabindranath Tagore, seorang sastrawan pujangga puisi termasyhur awal abad 20. Beliau adalah orang asia pertama yang mendapatkan penghargaan Nobel dalam bidang sastra. Beliau juga dikenal sebagai bapak pendidikan India, dimana beliau mendirikan Shriniketan, yaitu sekolah yang berbasis humanisme dan pendekatan alam, serta mendirikan universitas Visva-Bharati yang keduanya menjadi cikal bakal pendidikan rakyat India pada awal abad 20.

Karya sastranya yang kebanyakan puisi, sangat termasyhur di jamannya, sangat terkenal lintas negara baik di dunia barat maupun timur, termasuk para tokoh pergerakan Indonesia sangat mengagumi karyanya yang sangat menekankan perbaikan kualitas hidup rakyat kecil yang dijajah penguasa kolonial saat itu.

Di masa tuanya, ia mencoba untuk berkeliling dunia seperti Inggris, Italia, Amerika Serikat, China dan Hindia Belanda untuk menggalang dana dan studi banding bagi perkembangan sekolah yang didirikannya yaitu Shriniketan dan universitas Visva-Bhrati, ia juga mengundang tokoh-tokoh pendidikan di setiap negara yang dikunjunginya untuk bisa datang ke pusat studinya di India. Bisa dikatakan, beliau adalah tokoh pemersatu pendidikan dunia pada awal abad 20.

Tahun 1927, beliau berkesempatan mengunjungi Hindia Belanda, kota-kota seperti Medan, Batavia, Bandung, Yogyakarta, Solo dan Bali disambanginya semuanya hampir sebulan lamanya. Sayang tidak banyak catatan dokumentasi yang valid, padahal dikabarkan beliau bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno, Mangkunegara, Ki Hajar Dewantara dan lainnya.

Namun pertemuan yang paling penting adalah saat menyambangi sahabatnya Ki Hajar Dewantara di sekolah Taman Siswa, Yogyakarta. Keduanya memiliki banyak kesamaan, negaranya sama-sama dijajah, berasal dari kaum bangsawan, berjiwa humanisme, perintis pendidikan rakyat kecil dan sama-sama menerapkan metode Montessori dalam pembelajarannya.

Tagore dan Ki Hajar Dewantara adalah bapak pendidikan bagi masing-masing bangsanya, keduanya juga saling mengagumi dan saling menginspirasi. Di depan pendopo Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara memasang foto Tagore sebagai inspirasi bagi siswanya, sementara di Visva-Bhrati, Tagore mendirikan studi kebudayaan Jawa sebagai penghormatan bagi sahabat Jawanya, konon Tagore sangat mengagumi tarian Jawa dan menganjurkan bagi para pengajarnya untuk memasukkan unsur tarian dalam metode pembelajaran.

Sayangnya, tidak ada catatan apa yang mereka bicarakan ketika pertemuan agung itu terjadi, namun yang pasti keduanya menjalin kerjasama studi pertukaran pelajar, dimana beberapa peserta didik Taman Siswa ada yang dikirim ke Shriniketan, Benggala, India untuk mempelajari metode pembelajaran yang dikembangkan Tagore.

Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh keduanya bisa dikatakan selangkah lebih maju dari jamannya. Pendidikan pada awal abad 20 sangat menekankan akan kebutuhan tenaga kerja industri dan kesehatan, maka bisa dilihat sekolah-sekolah yang didirikan bersifat kaku dan fokus pada penjelasan guru satu arah.

Tagore dan Ki Hajar Dewantara, menolak mentah-mentah sistem pendidikan seperti ini, karena terkesan dimana manusia hanyalah objek semata, dimana sekolah adalah 'pabrik'nya dan akan menghasilkan tenaga kerja yang dibutuhkan industri kolonial saat itu. Mereka sama-sama menekankan pendidikan haruslah memanusiakan manusia, pendidikan harus membuat manusia menjadi pribadi yang mengembangkan lingkungannya menjadi lebih baik, bukan sekedar bisa berkerja menghasilkan uang.

Sadar atau tidak, sistem pendidikan saat ini sebenarnya masih jauh dari cita-cita Tagore dan Ki Hajar Dewantara, bahkan tak ubahnya sama persis dengan pendidikan jaman penjajahan, dimana peserta didik masih sebagai obyek, bukan sebagai subjek yang dapat tumbuh kembang sendirinya.

Lalu apa saja hal-hal dasar dalam pendidikan yang dikembangkan Tagore dan Ki Hajar Dewantara, berikut 4 hal yang ditekankan oleh kedua Begawan pendidikan ini.

Peningkatan Kompetensi dan Menghargai Profesi Guru

"seorang guru tidak akan pernah bisa benar-benar mengajar kecuali dia sendiri masih belajar; sebuah lampu tidak akan menyalakan lampu lain kecuali ia terus menyala dengan apinya sendiri" (Rabindranath Tagore)

"Guru adalah seorang pejuang tulus tanpa tanda jasa mencerdaskan bangsa." (Ki Hajar Dewantara)

Keduanya sama-sama menitikberatkan betapa pentingnya kualitas guru dan menghargai profesi guru dalam suatu pendidikan bangsa. Ki Hajar Dewantara mencetuskan istilah bahwa  guru adalah sosok yang benar-benar tulus dalam memberikan pengajaran, sehingga guru menjadi bukan sekedar profesi, tetapi justru panggilan hati. Terkadang terenyuh hati ini, jika ada yang berkata," gaji guru kecil, cari kerjaan lain saja, jangan ngeluh terus gaji guru kecil". Permasalahannya bukan masalah besar kecilnya gaji guru, tetapi bagaimana suatu bangsa menghargai peran guru dalam membangun bangsa.

Tagore sangat menekankan bahwa guru harus selalu ditingkatkan kemampuannya setiap waktu, artinya pekerjaan guru tidak hanya sekedar pergi mengajar, lalu pulang begitu saja. Namun, harus tetap selalu ditingkatkan wawasannya dan kompetensinya, agar supaya peserta didik mendapatkan keilmuan yang utuh dan komprehensif dapat dipahami.

Pembelajaran Multiple Intellegence Berdasar Minat Bakat

"Tujuan utama dari mengajar bukanlah untuk memberi penjelasan, tetapi untuk mengetuk pintu pikiran. (Rabindranath Tagore)

"Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu." (Ki Hajar Dewantara)

Jauh sebelum trend pembelajaran multiple intelligence yang menggali keunikan minat bakat sesuai peserta didik masing-masing, Tagore dan Ki Hajar Dewantara sudah menyerukan model pembelajaran yang tidak melulu seragam kepada peserta didik, mereka menyadari bahwa setiap anak memiliki gaya belajarnya masing-masing, dan tugas guru adalah menuntun mereka agar dapat memaksimalkan potensi minat bakatnya.

Gagasan pembelajaran demikian bisa dikatakan revolusioner di jamannya, artinya mereka berdua sudah melampaui pemikiran di jaman itu, dimana model pembelajaran masih didominasi sistem konvensional berorientasi peserta didik sebagai obyek pendidikan untuk kebutuhan industry.

Pendidikan Holistik

"Pendidikan tertinggi adalah yang tidak hanya memberi kita informasi tetapi membuat hidup kita selaras dengan semua keberadaan" (Rabindranath Tagore)

"Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang manfaat untuk keperluan lahir batin dalam hidup bersama" (Ki Hajar Dewantara)

Pada akhirnya pendidikan bertujuan bagaimana siswa akan menjadi manusia yang dapat menjalani hidupnya dengan penuh makna, bukan sekedar bisa makan dan minum atau bertahan hidup semata. Tagore dan Ki Hajar Dewantara memberikan filosofi bahwa peserta didik harus dibekali kemampuan dalam menapaki kehidupan dengan kesungguhan serta bagaimana menjadi manusia yang bermanfaat bagi sekitarnya.

Ilmu yang didapatkan oleh peserta didik harus benar-benar secara holistik dapat diterapkan sepenuhnya pada kehidupan nyata, bukan sekedar teori semata. Nilai-nilai seperti budi pekerti dan moral adalah hal yang paling ditekankan oleh kedua filsuf ini, agar ilmu yang diterima bisa bermakna dalam kehidupan.

Pendidikan Inklusif dan Merdeka

"Dimana pikiran tanpa rasa takut dan kepala terangkat tinggi, disitulah pengetahuan" (Rabindranath Tagore)

"Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggauta persatuan (rakyat)" (Ki Hajar Dewantara)

Pendidikan untuk semua, itulah cita-cita utama dari Tagore dan Ki Hajar Dewantara bagi bangsanya masing-masing. Keduanya berangkat dari bangsa yang terjajah, dimana kaum pribumi tidak menerima pendidikan yang layak dan setara sebagaimana yang diterima kaum kulit putih sang penjajah.

Jika di India, Tagore mendirikan sekolah Shriniketan untuk semua golongan rakyat, maka di Hindia Belanda, Ki Hajar Dewantara juga mendirikan sekolah yang berfilosofi sama, yaitu Taman Siswa, sebuah taman pendidikan yang berbasis kearifan lokal. Keduanya sama-sama menggunakan pendekatan inklusif dalam pembelajarannya, tidak membeda-bedakan suku, agama atau latar belakang peserta didik. Sungguh sesuatu yang progresif di masa itu, dimana sekolah-sekolah yang didirikan masih berdasarkan warna kulit.

Marilah pada momen Hari Pendidikan Nasional, kita sungguh-sungguh mewujudkan cita-cita Ki Hajar Dewantara, yaitu pendidikan yang memerdekakan manusia seutuhnya lahir dan batin. Semoga Bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun