Saat saya masih kuliah, pada suatu waktu di akhir bulan April, saya bersama ibu saya  sibuk wira-wiri mencari baju adat sewa yang akan digunakan adik laki-laki saya untuk keperluan Hari Kartini. Saat itu hampir setiap tempat rias pengantin, stok baju adat untuk anak kecil sudah banyak disewa orang lain. Kami hampir putus asa, namun akhirnya kami pun mendapatkan baju sewa adat bertema suku Dayak, setelah berkeliling kota. Esoknya, pada tanggal 21 April, di sekolah adik saya, diadakan lomba baju adat dalam memperingati Hari Kartini. Sontak, hal ini pun membawa memori masa kecil saya, yang juga pernah mengikuti lomba yang sama.
Namun, selepas acara simbolik tersebut, terbersit dalam benak pikiran, sepertinya ada yang salah dengan peringatan Hari Kartini dengan embel-embel para peserta didik menggunakan pakaian adat. Hal tersebut semakin membuat saya heran, dimana para pegawai yang berada di instansi pemerintahan maupun swasta pun juga melakukan hal yang sama, yaitu para karyawatinya memakai kebaya, sementara prianya memakai baju adat lainnya.
Saya pun bertanya kritis dalam diri, apa korelasinya semangat emansipasi wanita dengan menggunakan baju adat. Apakah hanya karena foto 'legend' Kartini yang memakai kebaya, atau ada alasan lainnya. Berangkat dari keanehan ini, saya pun akhirnya mencoba untuk meriset sejarah sebenaranya dari Hari Kartini, dan saya pun terperangah ternyata banyak hal  salah kaprah pada perayaan hari yang katanya perwujudan emansipasi wanita di Indonesia ini.
Sebelum kita membahas lebih dalam tentang hal-hal salah kaprah tentang Hari Kartini, mari kita mengenal dengan singkat dari sosok Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat ini. Beliau lahir di Jepara tanggal 21 April 1879 di Jepara, berasal dari keluarga Priyayi Jawa, anak dari Bupati Jepara. Kisah hidupnya kebanyakan dikenal dari korespondensi surat menyurat dengan pejabat tinggi Belanda saat itu, yaitu keluarga Abendanon. Kartini menikah pada usia 24 tahun dijodohkan dengan bupati Rembang yang sudah beristri tiga, yaitu K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat .
Beliau meninggal setahun setelah setahun menikah, yaitu 4 hari setelah melahirkan anaknya. Beliau meninggal dalam usia yang masih muda, dan referensi kisah beliau memang cukup minim, satu-satunya sumber hanya berasal dari kumpulan-kumpulan korespondensi surat-suratnya yang sering dikirim kepada sahabat Belandanya, yang akhirnya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht, atau jika dialihbahasakan menjadi 'Habis Gelap Terbitlah Terang'.
Buku inilah yang kelak banyak mempengaruhi tokoh pergerakan di jaman kolonial, hingga selepas kemerdekaan, Kartini ditetapkan sebagai pahlawan Nasional oleh presiden Soekarno. Kemudian di jaman orde baru, tokoh Kartini mulai diasosiasikan sebagai tokoh emansipasi wanita, dan hari lahirnya selalu dirayakan dengan simbolis memakai baju kebaya seperti foto legendarisnya oleh banyak kaum wanita.
Sesingkat itulah kisahnya, kita tidak menemukan kisahnya angkat senjata, mendirikan sekolah resmi, mendirikan surat kabar atau pergerakan lainnya yang biasa dilakukan oleh pahlawan-pahlawan nasional lainnya. Maka dari itu munculah rasa ingin tahu saya lebih besar, ada apa di balik semua ini, mengingat nama 'Kartini' sudah menjadi trademark gambaran pejuang wanita yang mendobrak dominasi patriarki serta pergerakan nasional.
Artikel ini bukan bermaksud untuk mengkerdilkan jasa-jasa ibu Kartini dalam andil memberikan semangat bagi kaum wanita, begitu pula bukan bertujuan untuk menganulir gelar pahlawan nasional yang disematkan oleh Pemerintah Indonesia. Tetapi lebih kepada telaah sejarah yang menyadarkan kita bahwa terkadang yang diyakini oleh banyak orang bisa saja merupakan kekeliruan yang harus diluruskan.
Berikut beberapa hal yang kiranya bisa menjadi perhatian kita bersama tentang fakta-fakta yang selama ini kita tidak ketahui tentang perayaan Hari Kartini, sehingga ke depannya dapat ditelaah kembali bagaimana seharusnya peringatan pergerakan emansipasi wanita secara nasional dapat diselenggarakan sesuai dengan semangat aslinya.
Tak Ada Catatan Pergerakan Progresif Kartini
Dalam sepanjang hayat hidupnya, hampir tidak ada catatan pergerakan bersifat progresif yang dilakukan oleh beliau. Kartini tidak pernah mendirikan sekolah wanita resmi, tidak pernah menulis secara komprehensif tentang emansipasi wanita di media massa, tidak pernah mendirikan surat kabar, satu-satunya sumber yang bisa dilihat publik, adalah beberapa artikel ringan dari beliau pada sebuah majalah berbahasa belanda Hollandsche Lelie.