Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggugat Hari Kartini sebagai Simbol Emansipasi Wanita

20 April 2024   17:17 Diperbarui: 20 April 2024   17:19 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kongres Wanita Pertama di Yogyakarta, 22 - 25 Desember 1928 (sumber : rihlah-republika)

Sebut saja Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, beliau sezaman dengan Kartini, kiprah pergerakannya tak diragukan lagi dalam memajukan emansipasi wanita. Pada tahun 1914, beliau mendirikan Sopo Tresno yang kelak berubah menjadi Aisyiyah, kelompok kajian Islam perempuan pertama di Indonesia dan masih eksis hingga kini bergerak memajukan pergerakan kewanitaan Islam. Beliau juga mendirikan Taman Kanak-Kanak pertama di Indonesia, yaitu Bustanul Athfal Aisyiyah di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1919 kemudian menyebar ke seluruh Indonesia, masih eksis hingga kini dan kebetulan anak saya juga bersekolah di BA Aisyiyah. Masih banyak sebenarnya kiprah-kiprah luar biasa beliau dalam memajukan emansipasi wanita, karena perjuangannya masih berlanjut hingga Indonesia telah merdeka.

Lalu ada Roehana Koeddoes, yang juga sezaman dengan Kartini, berasal dari Minang, terkenal sebagai wartawati pertama di Indonesia. Beliau mendirikan sekolah perempuan Kerajinan Amal Setia pada tahun 1911 di Koto Gadang. Beliau juga aktif menjadi penulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Beliau juga berinisiatif mendirikan surat kabar Sunting Melayu pada tahun 1912, dan otomatis beliau menjadi redaktur surat kabar wanita pertama di Indonesia.

Masih banyak sebenarnya tokoh pahlawan wanita yang melakukan pergerakan nasional secara progresif sezaman Kartini, selain Nyai Ahmad Dahlan atau Roehana Koeddoes, kita bisa menyebut nama RA Rasuna Said yang vokal terhadap pemerintah Hindia Belanda, adapula Dewi Sartika yang mendirikan sekolah perempuan di tanah Pasundan, kemudian ada Siti Aisyah We Tenriolle, wanita Bugis penerjemah epos terpanjang di dunia, La Galigo, semuanya sezaman dengan Kartini bahkan lahir jauh lebih dulu ketimbang Kartini.

Intinya, sebenarnya banyak tokoh pergerakan emansipasi wanita yang sezaman dengan Kartini, namun kenapa hanya Kartini selalu mencuat, bukan bermaksud mengecilkan kiprah beliau, namun berdasarkan fakta yang ada, kiprah Kartini sangat jauh dibandingkan Nyai Ahmad Dahlan atau Roehana Koeddoes serta lainnya dan kesemuanya memiliki kesulitan dalam menembus selubung patriarki yang mengikat di jaman itu

Solusi

Jika kita mau belajar sejarah lagi, sebenarnya hari yang tepat untuk menyimbolkan perjuangan emansipasi wanita adalah hari berlangsungnya kongres wanita pertama di Indonesia pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini bisa dikatakan sangat luar biasa karena dihadiri lebih dari seribu orang, jumlah yang fantatis untuk ukuran kongres di jaman itu. Kongres Wanita ini diikuti setidaknya 30 organisasi perempuan dari 12 kota di pulau Jawa dan Sumatra dan beberapa organisasi kaum pria, yang juga hendak memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam perbaikan  pendidikan dan konseling pernikahan.

Kongres Wanita Pertama di Yogyakarta, 22 - 25 Desember 1928 (sumber : rihlah-republika)
Kongres Wanita Pertama di Yogyakarta, 22 - 25 Desember 1928 (sumber : rihlah-republika)

Pada tahun 1953, dimana hari berlangsungnya kongres wanita pertama ini, ditetapkan oleh Presiden Soekarno sebagai 'Hari Ibu' tanggal 22 Desember yang kita kenal hingga sekarang. Mohon maaf dengan sebesar-besarnya, penetapan Hari Ibu berdasarkan Hari Kongres Wanita Pertama, menurut saya  juga menjadi salah kaprah di kemudian hari, dimana setiap momen ini kita memberi ucapan pada ibu-ibu kita, padahal pada Kongres Wanita Pertama lebih menonjolkan pada perjuangan emansipasi wanita, ketimbang memberi kasih sayang kepada Ibu.

Maka dari itu, melalui artikel ini, saya mengusulkan kepada pemerintah untuk mengganti hari emansipasi wanita ke tanggal 22 Desember dari yang sebelumnya dirayakan pada Hari Kartini 21 April, dan mengganti nama Hari Ibu menjadi Hari Emansipasi Wanita Nasional, karena jauh lebih tepat nilai-nilai historisya.

Kemudian, saya mengusulkan pula, dalam perayaan Hari Emansipasi Wanita Nasional, untuk menyudahi budaya berpakaian adat, karena tidak relate dengan nilai perayaannya, namun diganti dengan kegiatan-kegiatan edukasi pengenalan tokoh-tokoh pahlawan wanita nasional baik yang berjuang secara fisik maupun yang berjuang dengan pemikirannya, sehingga generasi muda menjadi terinspirasi dengan nilai-nilai patriotik yang diperjuangkan para pahlawan wanita.

Sekali lagi, artikel ini bukan untuk mengecilkan kepahlawanan Ibu Kartini tetapi justru membesarkan beliau bersama rekan-rekan wanita pejuang nasional lainnya, agar kelak kita tahu sejarah yang sebenarnya, sejarah yang mencerahkan kita semua. Semoga Bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun