Gembar-gembor Timnas Indonesia sudah level Asia seharusnya sudah digaungkan pada tahun 2013, yaitu ketika Timnas U-19 berhasil meraih kemenangan 3-2 atas Korea Selatan dalam pertandingan terakhir penyisihan grup G Kualifikasi Piala Asia U-19 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta pada tahun 2013, dengan hasil tersebut timnas U-19 berhak langsung lolos dalam gelaran Piala Asia U-19 tahun 2014 di Myanmar.
Jujur saya katakan, timnas U-19 pada tahun itu yang dihuni pemain seperti Evan Dimas, Maldini Pali, Ilham Udin dan lainnya adalah talenta-talenta  memang sudah kualitas ‘Asia’, hanya saja  belum mempunyai memiliki jam terbang tinggi. Kalau timnas era Shin Tae Young saat ini banyak yang memuji dengan pressing tinggi serta passing cepat, maka coach Indra Sjafri yang menukangi timnas U-19 tahun 2013, sebenarnya sudah memulai gaya bermain tersebut.
Hanya saja, pada saat itu dukungan yang diberikan belumlah seperti sekarang, akibatnya talenta-talenta hebat timnas U-19 tahun 2013 seolah seperti layu sebelum berkembang.
Kalau saja saat itu pak Erick Thohir sudah menangani PSSI, sudah pasti anak-anak emas tersebut langsung dimasukkan ke akademi primavera di Eropa, untuk pengembangan permainan secara optimal.
Kini, asa itu muncul kembali, ketika timnas Indonesia U-23 berhasil mengalahkan salah satu raksasa sepakbola Asia, yaitu timnas U-23 Australia dengan skor 1-0, lewat gol semata wayang bek Komang Teguh dalam babak penyisihan grup Piala AFC U-23 pada Kamis, (18/4/24) di Qatar.
Kemenangan ini saya nilai adalah kemenangan yang benar-benar membuat saya sumringah setelah sekian puluhan tahun menjadi penonton setia timnas , menantikan timnas bisa mengalahkan tim besar dunia.
Walau demikian, kita jangan berpuas diri dulu, karena saya menilai timnas kita masih jauh untuk dikatakan sudah level ‘Asia’, ingat Thailand dan Vietnam selama satu dekade terakhir sudah menunjukkan bahwa mereka sudah mampu bersaing dengan tim-tim papan atas Asia.
Lalu apa saja parameter mengapa timnas kita masih jauh untuk dikatakan sudah level Asia, berikut beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita, agar kelak nantinya timnas Garuda layak dilabeli level ‘Asia’ seperti yang dikatakan coach Shin Tae-yong.
Belum Kompetitif Dengan Raksasa Asia
Bagi saya, Indonesia bisa dikatakan sudah level ‘Asia’ dalam hal prestasi, adalah apabila timnas sudah sering bermain imbang, kalah tipis margin 1 gol atau bahkan mengalahkan tim-tim raksasa Asia seperti Korea Selatan, Jepang, Arab Saudi, Iran dan Australia.
Makanya, pada piala Asia 2023 lalu, jujur saya sama sekali tidak terkesima dengan performa timnas, yang kalah telak lebih dari margin 1 gol dengan tim-tim besar seperti Jepang, Iraq dan Australia.
Walau kita selalu menang melawan Vietnam dalam 3 pertandingan terakhir, bagi saya jujur itu hal yang biasa saja, dikarenakan kita memang sudah sangat mengenal gaya bermain mereka.
Vietnam sendiri dalam satu dekade terakhir menunjukkan perkembangan pesat mampu bersaing  pada level Asia, dimana mereka mampu lolos dua kali ke perempat final piala Asia, bahkan sebelum timnas U-23 kita mengalahkan Australia kemarin, timnas U-20 Vietnam sudah duluan mengalahkan Australia 1-0 pada gelaran piala Asia U-20 pada 2023 lalu.
Intinya, kita memerlukan sekitar  4 atau 5 pertandingan lagi melawan tim-tim besar Asia dengan hasil yang kompetitif, untuk bukti apakah kita sudah benar-benar level Asia, walau seandainya kita hanya kalah 1-0 atau 2-1 melawan Jepang atau Arab Saudi, maka mungkin bisa dikatakan timnas sudah mampu bersaing pada tingkatan Asia.
Kualitas Liga Domestik Buruk
Salah satu pemain Naturalisasi yaitu Marc Klok mengatakan kondisi Liga 1 sangatlah buruk dan masih jauh dibandingkan dengan liga Thailand atau Malaysia.Â
Hal-hal seperti keterlambatan gaji pemain, biaya akomodasi yang tinggi karena wilayah luas, kerusuhan supporter, kontrak pemain yang terlalu pendek, lapangan buruk dan lainnya adalah beberapa perkara yang hingga kini belum ditemukan solusinya.
Padahal salah satu metode pengembangan timnas yang baik, adalah mendapatkan pemain berkualitas yang dihasilkan liga domestik berkualitas pula.Â
Di dalam internal klub sendiri pun komposisi pemain kebanyakan bukan sepenuhnya hak prerogratif pelatih, perihal seperti pemain titipan, dominasi pemain asing dan pemain senior yang masih mau bermain adalah hal-hal penghambat para pemain muda timnas untuk berkembang, dikarenakan jam terbang rendah pada pertandingan liga domestik.
Jadi, imbas utama dari buruknya liga domestik adalah mandeknya pengembangan para pemain muda timnas, dikarenakan mereka jarang diberikan menit bermain yang cukup, karena kalah dengan pemain senior dan pemain asing.
Solusi seperti bermain di luar negeri pun, juga agak sulit, dikarenakan klub-klub yang mau menerima mereka pun, klub-klub dari kasta rendah, dan apabila diterima pun, belum tentu diberikan menit bermain yang cukup.
Belum Ada Pembinaan Pemain Muda Secara Serius
Dalam suatu kesempatan, pak Erick Thohir berjanji akan merealisasikan program pembinaan pemain muda secara serius selepas piala Asia kemarin, karena memang untuk mencetak timnas yang tangguh secara jangka panjang, diperlukan program pemain muda berjenjang yang benar-benar komprehensif dan terencana.
 Negara asia tenggara, seperti Thailand dan Vietnam sudah melakukan program ini secara serius dalam 20 tahun terakhir, hasilnya peringkat FIFA mereka sangat kompetitif di level Asia, belum lagi mereka kerap mendapat hasil positif jika melawan tim-tim besar Asia, seperti Thailand yang mampu menahan imbang Arab Saudi sewaktu piala Asia lalu, dan Vietnam mampu menahan imbang Jepang sewaktu kualifikasi Piala Dunia 2022. Hal ini menjadi dasar, bahwa kita jangan jumawa dulu, karena Thailand dan Vietnam sudah duluan menjadi level Asia.
Kita tidak bisa terus menerus mengandalkan jasa para pemain naturalisasi atau pemain keturunan, karena kehadiran mereka hanyalah trigger atau pemacu para pemain lokal untuk meningkatkan kemampuannya. Jika memang keberadaan pemain naturalisasi memberikan dampak positif, maka berarti yang salah ada pada kurangnya pembinaan pemain muda potensial.
Artinya, perlu diintensifkan pembinaan para pemain muda yang mungkin bisa diprogramkan sejak dini entah itu pantauan gizinya, trial di luar negeri dan pemusatan akademi yang levelnya sama seperti yang diterima para pemain diaspora di luar negeri.
Belum Mampu Taklukkan Asia Tenggara
Sebagai penikmat timnas dari tahun 90an, sebenarnya skill pemain Indonesia sudah di atas rata-rata level Asia Tenggara, bahkan menurut saya Thailand, Vietnam, Malaysia atau Singapura, masih di bawah kita secara skill, speed dan kontrol bola.
Namun, sepakbola bukan sekedar punya kemampuan hebat, diperlukan pembinaan, federasi yang sehat, liga yang baik, klub yang sehat keuangannya, dan sederet variabel yang mempengaruhi prestasi timnas.
Walau sekarang banyak pihak yang menyepelekan turnamen kelas regional Asia Tenggara seperti AFF (dulu piala Tiger) dan SEA Games, tetapi menurut saya, turnamen ini harus juga mendapat perhatian dari PSSI, untuk semua level umur, karena timnas kita haus akan prestasi, dan ajang turnamen AFF adalah target realistis yang mungkin bisa diraih timnas Garuda.
Faktanya, hingga kini kita belum merajai Asia Tenggara, mahkota penguasa ASEAN masih dikuasai Thailand dan Vietnam. Apabila, timnas sering menjuarai piala AFF di berbagai level umur dan mempertahankan medali emas SEA Games, setidaknya bisa menjadi modal positif bagi timnas untuk menjejakkan kakinya pada level Asia.
Kita jangan terlalu hanyut dulu dari kemenangan atas Australia dalam ajang AFC U-23, perlu dukungan dari semua pihak untuk membenahi sepakbola kita mulai dari pembinaan pemain muda, perbaikan federasi hingga reformasi sistem liga, agar goal utama dari semua ini adalah raihan membanggakan dari timnas, karena kita butuh prestasi, bukan sekedar bermain apik. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H