Pada Ramadan lalu, saya tak sengaja bertemu teman lama di sebuah pusat perbelanjaan, dan kami pun saling bertukar cerita tentang banyak hal. Hingga dalam satu topik pembicaraan, dimana dia mengeluhkan beratnya membeli pakaian seragam untuk ketiga anaknya yang masih duduk di bangku sekolah pada setiap tahun ajaran baru. Hal ini dia utarakan kepada saya, karena dia ingin tahu masalah ini dari sudut pandang guru.
Saya pun menjawab dengan bijak, bahwa hal tersebut janganlah dijadikan beban, justru kita harus bersyukur bahwa kita telah dikaruniai anak dalam perjalanan hidup kita di dunia, dan konskuensinya jika kita mempunyai anak adalah harus mempunyai kemampuan untuk memberikannya fasilitas pendidikan, dan salah satunya adalah harus mampu membelikan seragam sekolah untuknya.
Ada hal yang membuat saya menjadi ironi melihat teman saya ini adalah dia baru saja memborong banyak pakaian lebaran yang diperuntukkan untuk keluarganya. Dia menuturkan pula bahwa dia baru saja mendapatkan THR dari kantornya, dan dia mempergunakannya untuk membeli baju lebaran bagi anak dan istrinya. Ironi yang dimaksud disini adalah, di sisi lain dia mengeluh beratnya untuk membeli seragam sekolah, tetapi untuk membeli baju lebaran hampir tidak beban untuk membelanjakannya.
Fenomena ini memang jamak terjadi di negeri ini, berdasarkan informasi dari Tokopedia, terdapat peningkatan penjualan kategori fesyen sebanyak 37 % pada saat bulan Ramadan tahun ini. Sementara itu, dari pihak Shopee, melaporkan terdapat peningkatan transaksi penjualan sebanyak 44 kali lebih banyak dari biasanya dalam fitur Shopee Live pada saat bulan Ramadan tahun ini.
Sementara itu, sempat beredar informasi dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan akan merilis format pakaian seragam baru bagi peserta didik setelah lebaran ini. Respons dari netizen dari informasi ini, justru banyak yang 'julid' mengeluhkan bahwa harga seragam sekolah dirasakan cukup mahal bagi mereka.
Dari kondisi tersebut, saya menangkap, sebenarnya daya beli orang tua untuk menyediakan seragam sekolah bagi anaknya tidaklah begitu menjadi beban, kembali ke sudut pandang dalam melihat anggaran keuangan rumah tangga. Artinya jika untuk pembelian yang sifat konsumtif sekunder seperti membeli baju baru saat lebaran atau kuota data untuk game mobile anaknya, kebanyakan mereka mau membelanjakannya, namun kenapa hal-hal untuk kepentingan pendidikan anaknya seperti pengadaan seragam sekolah atau membelikan buku-buku pendamping, terasa berat untuk dikeluarkan.
Jika kondisi riil masih seperti ini, ada beberapa hal kiranya yang harus menjadi perhatian kita bersama, agar masalah seragam sekolah setiap tahun ajaran baru tidak menjadi polemik 'nyinyir' para orang tua wali murid, berikut ulasannya.
Audit Program Subsidi Seragam
Hampir di setiap daerah, ada program subsidi seragam yang diselenggarakan kepala daerah setempat, formatnya ada yang langsung diberikan ke peserta didik, adapula yang berkerjasama dengan toko-toko penyedia seragam sekolah dengan memberikan potongan harga bagi peserta didik yang terpilih dalam program subsidi.
Hanya saja saya melihat program yang sangat bagus ini perlu diaudit lagi, karena faktanya masih banyak peserta didik yang kurang mampu belum mendapat manfaat program ini. Sebagai contoh, di Kabupaten Karanganyar, pemkab setempat melakukan subsidi seragam untuk sekolah dasar untuk 6.200 peserta didik di 466 sekolah pada tahun lalu, sementara menurut data BPS, jumlah peserta didik sekolah Dasar di Kabupaten Karanganyar adalah sebanyak 65.000 siswa. Idealnya, pemberian subsidi seragam gratis harus melebihi kuota lebih dari 10 % jumlah keseluruhan peserta didik, dengan berdasar persentase orang miskin di Kabupaten Karangnyar menurut data BPS yang mencapai 9-10 %.
Penulis berharap, para pemangku kebijakan agar terus meningkatkan jumlah sasaran peserta didik yang akan diberikan program subsidi seragam gratis, dikarenakan pihak sekolah terkadang agak sulit membuat 'kategori' orang tua wali murid yang kurang mampu. Ke depannya, pihak orang tua wali murid pun diberi bisa opsi untuk mempunyai kesempatan mendapatkan subsidi tersebut, sehingga memudahkan pihak sekolah dalam memetakan siapa saja membutuhkan seragam gratis dengan pertimbangan tertentu.
Tabungan Seragam Sekolah
Pihak sekolah dan para orangtua wali murid bisa berkerjasama untuk berinisiatif untuk membuat program tabungan untuk pengadaan pembelian seragam saat tahun ajaran baru tiba. Banyak sekolah yang sudah menerapkan program ini, saya rasa sekolah lain bisa melaksanakan program yang cukup meringankan beban para orangtua wali murid ini ketika hendak belanja seragam sekolah untuk anaknya.
Jika setiap bulan, orang tua wali murid menyisihkan sedikit demi sedikit uang untuk ditabung dalam program sekolah ini, maka ketika saat tahun ajaran baru tiba, beban akan beratnya membeli seragam sekolah bagi anaknya agak sedikit berkurang, sehingga masalah ini tidak menjadi polemik tiap tahunnya.
Bazaar Seragam Murah
Di sekolah kami ada kegiatan bazaar pakaian bekas pantas pakai tiap kali Ramadan tiba, dimana pakaian-pakaian tersebut merupakan sumbangan dari para orangtua wali murid, dan hasil penjualannya kami serahkan kepada panti asuhan anak yatim piatu. Pakaian bekas layak pakai yang dijual beraneka ragam jenisnya, seperti baju gamis, baju anak, kemeja dan lain-lain, termasuk seragam sekolah bekas yang masih layak pakai, dan tiap kali bazaar diadakan, stok seragam sekolah bekas layak pakai selalu banyak dan selalu habis dibeli oleh warga setempat.
Hal ini mengindikasikan bahwa, walaupun sudah bekas, ternyata masih banyak peminatnya, yaitu para orang tua wali murid yang kurang mampu. Diharapkan banyak sekolah yang bisa membuat kegiatan bazaar seragam bekas layak pakai, dan dijual dengan harga yang sangat murah, sehingga bisa terjangkau bagi orang tua wali murid yang kurang mampu.
Audit Harga Seragam Sekolah
Pada tahun lalu, di Tulunggagung, sempat geger dengan kasus banyak keluhan para orang tua wali murid dalam pengadaan seragam SMA yang mencapai 2,3 juta Rupiah per peserta didik. Dimana pengadaan seragam tersebut diadakan oleh sekolah sendiri, walau tak ada paksaan untuk membeli lewat koperasi sekolah, kebanyakan orang tua wali murid tetap membelinya, karena takut apabila warna dan model jahitannya berbeda dengan penjahit yang bukan rekanan sekolah.
Tentunya hal ini harus diaudit secara komprehensif oleh dinas pendidikan tentang harga seragam yang dijual langsung oleh koperasi sekolah. Memang, koperasi sekolah boleh saja mengambil untung dari penjualan seragam, tetapi pihak sekolah harus memahami bahwa hal tersebut jangan sampai menjadi beban bagi orang tua wali murid disebabkan harga seragam sekolah yang terlalu mahal di atas rata-rata harga pasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2HBagaimanapun pengadaan seragam sekolah adalah hal positif yang ditanamkan pada lingkungan sekolah sebagai wujud egaliter, inklusif dan kesetaraan. Namun, jangan sampai hal yang baik ini justru menjadi beban bagi para orang tua wali murid, mari bangun pendidikan yang terjangkau dan berkualitas. Semoga Bermanfaat.