Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Belajar Nasab dari Acara "Trah-Trahan" Idul Fitri

11 April 2024   11:24 Diperbarui: 12 April 2024   07:43 1840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Trah-Trahan Idul Fitri Jaman Dulu (sumber: Okezone)

Di daerah Jawa Tengah, mungkin khususnya daerah Solo dan sekitarnya, ada tradisi kumpul-kumpul keluarga yang unik pada saat perayaan Idul Fitri, yaitu acara “Trah-Trahan”. 

Trah-Trahan adalah suatu acara family gathering berkonsep halal bihalal skala besar yang merunut dari garis nasab keturunan dari Buyut hingga cicit, bahkan bisa melebihi tingkatan itu.

Jika pada hari pertama dan kedua Lebaran di Jawa, pertemuan silaturahmi biasanya berkisar pada simbah, pakde, bude hingga keponakan, maka di hari ketiga hingga ke kelima, biasanya diadakan acara Trah-Trahan, yaitu berkumpulnya seluruh anggota keluarga hingga tingkatan level nasab Buyut hingga cicit.

Jadi bisa dibayangkan, dalam pertemuan itu, saya yang tinggal di Solo, bisa bertemu adiknya nenek saya yang dari Makassar, bisa bertemu cucunya dari kakaknya nenek saya yang ternyata teman sekelas saya dan lain sebagainya, sehingga kadang saya berpikir acara ini seolah membuktikkan betapa kecilnya bumi yang kita tinggali ini.

Saya tidak tahu, apakah daerah lain memiliki tradisi kumpul-kumpul seperti ini saat Idul Fitri. Ibu saya adalah beretnik Jawa, sementara ayah saya beretnik Melayu, pada setiap lebaran tiba pasti saya menghadiri acara Trah-Trahan dari garis Kakek ibu saya dan Trah-Trahan dari garis nenek ibu saya.

Sementara dari garis Ayah saya yang beretnik Melayu, tidak ada acara Trah-Trahan, tetapi lebih ke mengunjungi satu persatu rumah ke rumah ke semua garis keturunan baik dari Kakek maupun Nenek.

Secara budaya, orang Jawa menganut Patriarki, tetapi untuk garis nasab, kebanyakan etnik Jawa tidak memakai garis Patrilineal, sehingga bisa dilihat dari nama-nama orang Jawa jaman dulu sebelum kemerdekaan yang singkat-singkat tanpa menggunakan nama marga atau nama keluarga, seperti Soeharto, Soedjatmiko, Wardoyo, Ngasirah dan lain-lain.

Perihal ini tentunya agak membuat sulit bagi anak cucunya di era kemerdekaan untuk merunut garis nasabnya baik dari garis Patrilineal maupun dari garis Matrilineal, sehingga mungkin inilah yang menjadi cikal bakal diadakannya acara Trah-Trahan saat momen Lebaran di era saat ini, agar untuk saling mengenal ‘balung pisah’ sanak saudara hingga ke garis Mbah Buyut.

Ilustrasi Trah-Trahan Idul Fitri Jaman Dulu (sumber: Okezone)
Ilustrasi Trah-Trahan Idul Fitri Jaman Dulu (sumber: Okezone)

Trah sendiri dalam tradisi Jawa, sebenarnya adalah tata urutan nasab yang biasanya dipergunakan oleh kaum bangsawan atau ningrat saja di jaman dulu, namun di jaman sekarang, istilah Trah bisa digunakan untuk semua kalangan, yang dipergunakan untuk mengenali urutan keturunan dari Buyut hingga canggah atau cicit.

Acara Trah-Trahan harus selalu dilestarikan, meskipun dari garis simbah, sudah banyak yang meninggal, karena besarnya manfaat dari acara kumpul keluarga skala besar ini.

Di Trah keluarga nenek saya, untuk garis simbah saja, mereka ada 11 bersaudara, jadi bisa dibayangkan jika berkumpul bersama hingga tingkat cicit, maka peserta acaranya bisa hingga ratusan jumlahnya.

Dari acara ini, saya bisa mengetahui buyut saya juga memiliki darah biru, dan seorang pekerja keras berjualan batik dan minyak tanah di Pasar Gede, Surakarta di jaman kolonial.

Kemudian saya mengetahui ada simbah saya ada yang juga pejuang di jaman kemerdekaan, adapula simbah yang turut memberantas pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan masih banyak kisah-kisah menarik para leluhur yang patut didengar dan diteladani oleh anak cucunya.

Manfaat acara ini selain untuk mengenal garis keturunan nasab hingga buyut adalah sebagai ajang untuk menambah jaringan perkenalan baik untuk bisnis, pekerjaan atau urusan lainnya yang didasari kesamaan dari garis keturunan yang sama. Tak jarang, dari pertemuan ini ada yang berlanjut ke kerjasama bisnis antar kerabat lainnya yang sebelumnya tak mengenal satu sama lainnya, atau mungkin adapula keluarga yang ekonominya lebih kaya membantu keluarga lainnya yang sedang kesusahan, walau berbeda garis simbah, namun masih satu garis buyut.

Dikarenakan banyaknya peserta yang turut berkumpul dalam acara Trah-Trahan Idul Fitri, maka panitia yang ditunjuk harus merancang acara semenarik mungkin, karena biasanya dari kalangan cucu atau cicit merasa bosan dengan acara yang kesannya untuk kaum tetua.

Maka dari itu, dari pengalaman saya, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan, agar acara Trah-Trahan berjalan menarik, berikut kiranya poin-poin yang bisa menjadi perhatian.

Tempat Lokasi Menarik

Biasanya para tetua dan panitia yang ditunjuk, jauh-jauh hari menentukan tempat lokasi berlangsungnya acara. Terkadang di tempat makan umum, bisa saja di gedung pertemuan, dan seringnya biasanya di tempat kediaman salah satu keluarga yang kiranya representatif dalam skala besar.

Agar supaya menarik, panitia harus mendesain tempat lokasi berlangsungnya acara dengan menarik, bisa saja ditampilkan foto-foto jadul para simbah-simbah atau buyut yang dicetak repro ulang. Sehingga para kaum mudanya bisa mempelajari langsung sejarah para leluhurnya melalui dokumentasi lawas tersebut.

Bisa juga ditampilkan display barang-barang peninggalan para simbah di jaman dulu, seperti sepeda kumbang jaman Belanda, mesin jahit jadul peninggalan buyut atau koleksi lawas lainnya, yang bisa menjadi pembelajaran historis bagi anak cucu di jaman sekarang

Update Nasab

Trah keluarga saya biasanya untuk menggalang dana untuk penyelenggaran acara, menggunakan metode pembelian Kalender Trah-Trahan yang gambarnya para simbah-simbah jaman dulu, dan disertai lengkap update nasab setiap keluarga. Dari pembelian kalender tersebut terkumpulah dana yang cukup untuk menyelenggarakan acara Trah-Trahan.

Jauh-jauh hari sebelum acara dimulai setiap keluarga harus memberikan update terbaru keanggotaannya, entah itu siapa saja yang sudah meninggal, baru saja menikah dan siapa saja yang baru mendapatkan momongan baru. Hal ini menjadi sangat penting, agar kita bisa mengetahui subordinat nasab kita baik dari ke atas, samping hingga ke bawah.

Doorprize Tukar Kado

Seperti acara-acara kumpul keluarga lainnya, untuk menambah menarik acara pertemuan, maka setiap keluarga yang hadir, akan membawa kado yang akan ditukar kado keluarga lainnya. Terkesan klasik, namun justru hal ini yang sering dinanti-nanti saat acara Trah-Trahan.

Acara tukar kado biasanya sangat dinantikan oleh anak cucu, utamanya yang masih duduk di bangku sekolah, karena tak jarang mereka mendapatkan uang angpaw yang jumlah tak sedikit, sehingga sangat menambah keseruan jalannya acara.

Pihak panitia pun kadang menyediakan doorprize menarik kepada para tamu yang datang, dengan mengadakan kuis-kuis yang pertanyaannya berkisar tentang pengetahuan garis nasab para leluhur di jaman dulu, sehingga para kaum muda bisa tertarik belajar tentang sejarah leluhurnya dengan metode doorprize menarik.

Narasumber Tetua

Pada akhir acara biasanya, ada tetua simbah yang ditunjuk untuk menceritakan beberapa kisah menarik di jaman dahulu. Kisah-kisah yang diperdengarkan biasanya cerita tentang sepak terjang para simbah dalam mencari nafkah di jaman sulit.

Sesi acara ini adalah yang sangat paling ditunggu oleh semua keluarga besar Trah, karena sesi ini adalah momen yang paling berkesan dari acara Trah-Trahan, sebagai bentuk rasa respek atau hormat kepada leluhur kita yang berjuang keras di jaman dulu, sehingga kita anak cucunya sekarang bisa hidup dengan nyaman.

Tak lupa, narasumber tetua yang menceritakan kisah jadulnya, juga menitipkan pesan-pesan bijaksana kepada seluruh khalayak keluarga besar agar selalu menjaga kerukunan dan tolong menolong antar sesama Trah.

Saya tidak tahu apakah di daerah pembaca sekalian terdapat tradisi seperti ini, mungkin saya rasa juga ada yang demikian, namun berbeda formatnya saja, mengingat masyarakat Nusantara adalah pribadi-pribadi ketimuran yang sangat menghormati leluhurnya. Semoga Bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun