Setiap hari-hari terakhir Ramadan, saya kerap agak menutup diri dari beberapa teman, bukan bermaksud sombong atau tak mau bergaul. Hal tersebut saya lakukan, karena tiap kali menjelang lebaran, beberapa teman saya sering meminta tolong kepada saya untuk membantu menukarkan uang pecahan baru yang digunakan untuk tradisi bagi-bagi uang 'angpaw THR' Lebaran.
Beberapa teman saya mengetahui bahwa saya memiliki saudara yang berkerja di Bank Indonesia, jadi seringkali mereka meminta bantuan penukaran uang pecahan baru untuk uang THR lebaran, dengan 'link' saudara saya tersebut.Â
Pada mulanya, saya tidak begitu berkeberatan, namanya juga menolong, namun lama kelamaan saya merasa terganggu, karena sebagian besar dari mulai menukarkan uang dengan jumlah yang sangat besar serta dengan frekuensi yang sangat sering.
Bisa jadi mereka suka meminta pertolongan kepada saya, dikarenakan melakukan penukaran sesuai nilai yang mereka tukarkan, contoh jika ada meminta tolong ditukarkan dengan nilai Rp. 500,000,-, maka saya pun tukarkan dengan uang pecahan baru sejumlah Rp. 500.000,- pula, tanpa ditambah nilai jasa tambahan, artinya penukaran apa adanya.
Karena kondisi beberapa lebaran terakhir semakin sering frekuensi penukaran uang baru dari beberapa teman tersebut, saya putuskan untuk agak menutup diri bahkan menolak dengan tegas permintaan mereka, dikarenakan risiko membawa uang tunai dalam jumlah yang sangat banyak tentunya membuat hati tak nyaman, apalagi uang tersebut adalah uang amanah orang lain.Â
Belum lagi, proses rekapan uang-uang tersebut cukup menguras waktu, karena banyaknya yang menukar, sehingga sangat menganggu fokus ibadah selama Ramadan.
Budaya bagi-bagi uang  'angpaw' lebaran memang cukup marak di Indonesia, entah bagaimana sejarahnya dulu, yang pasti dalam beberapa dasawarsa terakhir, budaya ini seolah menjadi barang wajib sebagai pelengkap meriahnya suasana lebaran ketika kumpul-kumpul bersama sanak keluarga. Sehingga kondisi demikian membuat kebutuhan uang pecahan baru menjadi sangat meningkat mendekati hari lebaran.
Penukaran uang pecahan baru secara resmi diadakan oleh Bank Indonesia dan Bank-Bank lainnya yang telah ditunjuk bank sentral, dimana di dalam penukarannya sama sekali tidak dipungut biaya jasa apapun, artinya jika kita menukar uang pecahan sejumlah Rp 1.000.000,- maka akan ditukar juga dengan uang pecahan dengan jumlah nominal sama sesuai jenis pecahan yang diminta.
Akibatnya, terjadilah antrean yang sangat panjang di tempat-tempat penukaran uang pecahan baru resmi tersebut. Keadaan ini dimanfaatkan para calo untuk mengais rejeki, dimana mereka menukar uang pecahan baru tersebut dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian disalurkan ke agen-agennya yang melakukan jasa penukaran kepada masyarakat di tepi-tepi jalan raya, dimana di dalam akadnya menyertakan 'biaya jasa' sesuai yang disepakati, kadang antara 1 -- 10 % dari nilai penukarannya.
Saya sebagai muslim, melihat fenomena ini menjadi mengelus dada, karena hanya untuk menyemarakkan lebaran dengan berbagi uang pecahan baru, kita harus melakukan transaksi yang bisa jadi dilarang dalam hukum syariat.Â
Jasa penukaran uang pecahan baru yang tak resmi tersebut, dianggap dari beberapa ulama ada yang berpendapat itu menjurus ke haram. Lalu, bagaimana sebenarnya Islam memandang fenomena penukaran uang pecahan baru pada saat menjelang Lebaran, berikut beberapa hal yang harus diperhatikan.
Mubah
Jika proses penukaran uang pecahan baru itu seperti ilustrasi yang saya berikan di awal artikel ini, maka hukumnya mubah alias tidak ada permasalahan. Begitu pula jika anda melakukan penukaran uang pecahan baru di Bank resmi, yang tidak unsur nilai tambahnya, maka hal tersebut pun tak masalah.
Dewan Syariah Nasional (DSN) sudah memberi rambu-rambu mengenai hal ini yaitu berkaitan perkara jual beli mata uang (Al-Sharf) dengan ketentuan sebagai berikut (i) bukan untuk spekulasi (ii) kebutuhan untuk simpanan  dan (iii) nilainya harus sama secara tunai dan (iv) jika berlainan jenis mata uang, maka harus disesuaikan dengan kurs.
Maka jika dilihat dari ketentuan yang ditetapkan oleh DSN, Â dalam penukaran uang pecahan baru harus memegang teguh prinsip yaitu nilainya haruslah sama jika ditukar dalam bentuk tunai.
Ijarah
Adapula yang berpendapat dalam proses jasa penukaran uang pecahan baru harus menggunakan akad Al Ijarah ala al-a'mal yang artinya adalah memperkerjakan seseorang untuk melakukan sesuatu.Â
Contoh, apabila anda menyuruh seseorang untuk pergi ke bank untuk menukarkan uang pecahan baru, lalu anda memberikan uang tambahan jasa 'lelahnya' kepada orang tersebut, maka hal tersebut bisa dikatakan akad ijarah.
Namun permasalahannya, bagaimana jasa penukaran yang tidak resmi di pinggir jalan, yang mematok nilai tambah dalam setiap transaksinya. Saya secara pribadi, hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip ijarah, dikarenakan sedari awal anda tidak merencanakan menyuruh si penukar uang tersebut, tetapi murni melakukan penukaran uang pecahan baru dengan tambahan nilai tertentu.
Haram
Banyak ulama berpendapat jasa penukaran uang pecahan baru yang menggunakan nilai tambahan tertentu bisa dikatakan menjurus pada praktek Riba' Fadhl, dan riba adalah sesuatu yang haram dalam Islam.Â
Pengertian Riba' Fadhl adalah bentuk penukaran uang dengan uang atau barang dengan uang atau barang juga dengan 'tambahan tertentu', intinya penukaran suatu benda atau komoditas yang sama namun ditukar dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda.
Mari kita memakai logika, apakah ada penurunan nilai uang pecahan Rp.100.000,- jika dalam kondisi kucel atau terlipat-lipat, artinya tidak ada perbedaan antara uang pecahan baru dengan uang pecahan lama.
Bank Indonesia sebagai otoritas peredaran uang di negara ini, memang sangat memanfaatkan momentum lebaran dalam penukaran uang pecahan baru, dimana uang pecahan lama yang diterima dari masayarakat dalam kondisi kurang begitu baik, bisa dimusnahkan diganti dengan uang pecahan baru, dan dalam proses penukaran tersebut, Bank Indonesia sama sekali tidak mematok nilai tambah kepada masyarakat, artinya apa adanya.
Maka dari itu, saya menghimbau kepada kaum muslim, agar menghindari transaksi penukaran uang pecahan baru menjurus pada praktik Riba Fadhl yang dilarang dalam syariat Islam.
Solusi
Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa mendapatkan uang pecahan baru menjelang lebaran, tetapi tidak melanggar ketentuan syariat Islam.Â
Berdasarkan pengalaman pribadi, saya menyarankan jika anda memang sudah berniat ingin berbagi rejeki dengan sanak saudara melalui metode uang 'angpaw' pecahan baru, maka lakukanlah penukaran tersebut di bank resmi jauh-jauh hari sebelum bulan puasa tiba, karena biasanya jika sudah memasuki bulan Ramadan tiba, antrean penukaran biasanya sangat panjang, bahkan anda bisa saja tidak kebagian.
Penukaran uang pecahan baru di Bank Indonesia sebenarnya tidak terbatas hanya pada saat menjelang lebaran saja, tiap bisa juga di bulan-bulan lainnya, namun memang stoknya tidak sebanyak pada saat Ramadan. Sehingga, anda bisa memanfaatkan 1-2 bulan sebelum bulan puasa tiba untuk melakukan penukaran uang pecahan baru di bank resmi, tanpa dipungut biaya sepeser pun.
Mari kita semarakkan lebaran dengan berbagai cara yang menyenangkan, karena Rasulullah SAW sangat menekankan umat muslim agar selalu merayakan hari raya Ied dengan suka cita, namun dalam merayakan tersebut, kita juga harus memperhatikan kaedah ketentuan syariat agama, agar tidak salah kaprah dalam menjalankan hukum agama. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H