Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Netizen Doyan Kata Makian Tak Pantas

17 Februari 2024   07:11 Diperbarui: 17 Februari 2024   07:11 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kata Makian di Sosial Media (sumber: Indonesia Re)

Pada platform jagat maya, seperti instagram, facebook atau Youtube, saya paling doyan dan hobi berdebat dengan netizen-netizen pada postingan-postingan yang viral, kebanyakan bertema politik atau hukum. Hobi saya melihat kolom komentar-komentar para netizen, dan kadang gatal untuk berdebat jika ada netizen yang saya rasa agak berbeda dengan idealisme saya.

Entah mengapa, jika ketika berdebat dengan netizen yang berbeda pendapat dengan saya, hampir 90 % mereka selalu menggunakan kata makian atau kata-kata kotor yang tak layak jika seandainya diucapkan secara verbal. Kita boleh berbeda pendapat dan adu argumen hipotesa, tapi tak layaklah jika menggunakan kata-kata yang tak pantas ketika mengemukakan pendapat.

Pada tahun 2020, Microsoft mengeluarkan  laporan berjudul 'Digital Civility Index (DCI), netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan di wilayah tersebut. Dimana dalam laporan tersebut disebutkan 27 persennya, dimana para netizen Indonesia suka mengumbar kebencian atau kata-kata tak pantas.

Saya kadang tak paham, banyak yang mengatakan orang Indonesia itu ramah-ramah dan murah senyum, tapi kadang saya melihat kolom-kolom komentar pada postingan-postingan yang viral, pasti selalu ada netizen yang suka mengumbar kata-kata tak sopan, walau postingan tersebut berkategori hiburan. Kata-kata tak sopan seperti umpatan, makian seolah seperti hal yang lumrah pada setiap komentar-komentar netizen.

Anomali ini seolah membuat tanda tanya besar, apakah budaya ketimuran khas Nusantara yang sangat menjunjung tinggi budi pekerti dalam menjaga perasaan orang lain sudah luntur dan punah.

Saya orang Jawa, ada budaya ewuh pekewuh, dimana kita selalu berupaya dalam berkata berupaya jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Budaya Nusantara adalah budaya yang sangat menghormati orang lain dan sangat tidak menyukai konflik, bisa dilihat dalam sejarah leluhur kita, dimana belum pernah ada perang dalam skala besar antar kerajaan atau kesultanan Nusantara, jikalau pun ada, perang yang terjadi hanya bersifat lokal.

Kita tak bisa biarkan budaya mengumbar kata-kata tak pantas dalam dunia maya, karena jika dibiarkan terus menerus, maka bukan tidak mungkin generasi muda kita akan tumbuh menjadi generasi yang mengganggap biasa perkataan tak pantas sebagai bagian gaya hidup mereka.

Lalu bagaimana cara agar kita pun tidak terpacu dengan mudahnya mengumpat atau berkata tak pantas jika membuat status, komentar dalam sosial media. Berikut beberapa tips yang bisa kita terapkan agar tak mudah menjadi pribadi yang mudah berkata tak baik pada sosial media.

Jangan Libatkan Emosi di Jagat Maya

Ketika anda sedang asyik rebahan menscroll sosial media anda, pastikan jangan melibatkan emosi setiap melihat postingan yang sifatnya sensitif. Karena kebanyakan orang yang mudah berkata tak baik ketika bersosial media, adalah orang yang tak dapat mengontrol emosinya dengan baik. Anda harus menyadari bahwa postingan-postingan viral di sosial media, memang didesain untuk mengaduk-aduk emosi orang yang menontonnya.

Terlebih lagi, kasus yang paling banyak terjadi adalah status pribadi di sosial media, entah itu di whatsapp, facebook atau instagram. Terkadang masalah aib  rumah tangga, asmara bahkan pekerjaan, diumbar begitu saja dalam status pribadinya lengkap dengan kata-kata umpatannya. Jika sudah begini, bukannya mendapat simpati, malah justru orang malah berpikir yang tidak-tidak.

Fenomena mudahnya mengumbar aib pribadi di sosial media lengkap dengan makian-makian 'penyedap rasa' dari 'kebun binatang', itu justru mulanya dipelopori oleh artis-artis pesohor kita. Entah kondisi sedang perseteruan proses perceraian atau konflik manajemen, para artis seolah mudahnya mem-blow up emosinya di sosial media lengkap dengan kata hujatan makian, agar mendapat simpati netizen. Secara tidak langsung sang artis mengedukasi para netizen untuk bisa berbuat hal yang sama, jujur ini fenomena yang terus terjadi dan terus bertambah.

Maka dari itu, jadilah netizen yang cerdas dalam emosional, sadarlah sosial media hampir seluruhnya adalah kepalsuan, jadikan jagat maya hanyalah sekedar media 'want to know' bukan untuk ajang meluapkan segala emosi yang ada. Jadi, menjaga emosi adalah benteng awal agar kita tidak terpacu untuk berkata tak pantas di sosial media.

Jarimu Harimaumu

Pada Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 Sebagaimana Telah Diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berbunyi, "setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik dapat dipidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp750 juta". Dimana Ketentuan ini merupakan delik aduan.

Dasar hukum tersebut sudah jelas harus menjadi pegangan kita dalam adab bersosial media. Karena jika seandainya kita berkata tak pantas dengan seseorang di sosial media, lalu oran tersebut merasa tidak terima, maka dia punya hak untuk mengadukannya ke pihak berwajib sesuai dengan pasal tersebut.

Jangan menganggap remeh, kata-kata umpatan yang kita ketik di sosial media, bisa saja jadi kita mengganggap biasa saja, tetapi kita tidak tahu, hal tersebut bisa menjadi senjata makan tuan.

Jarimu, harimaumu, hati-hati dengan apa yang anda ketik di jagat maya, berpikir sebelum mengetik. Jangankan berkata tak pantas, berargumen berseberangan saja kadang bisa dilaporkan, jika pihak yang bertentangan di sosial media merasa tidak terima. Maka dari itu, berupayalah menjadi netizen yang santun dan menghargai para netizen di dunia maya.

Belajar Jadi Netizen Obyektif

Pada musim pemilu seperti ini, bermunculan netizen-netizen dan buzzer-buzzer garis keras yang membela jagoan pilihannya. Kebanyakan mereka selalu berargumen dengan perspektif subyektif, sehingga tak jarang menimbulkan konflik-konflik tak sehat di sosial media.

Kita harus mengupayakan menjadi netizen yang obyektif dalam memandang isu-isu sensitif yang berkembang di sosial media. Sebagai contoh janganlah membela pak Anies karena dia pintar bicara, atau membela pak Prabowo karena dia gemoy atau membela pak Ganjar karena dia ganteng. Itu kesemuanya adalah sudut pandang obyektif terhadap suatu ketokohan, yang berpotensi menimbulkan debat kusir tak berguna dan tentunya memancing umpatan dari masing-masing pihak.

Jika anda tidak memahami suatu permasalahan secara komprehensif, lebih baik 'diam', ketimbang informasi yang tak utuh dari anda akan menimbulkan konflik dengan pihak lain di sosial media.

Jadilah netizen yang terbiasa mengutarakan pendapat secara utuh dan komprehensif berdasarkan data serta fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga bisa saja dapat mengedukasi netizen lainnya.

Kata Tak Pantas Rendahkan Martabat

Banyak orang bijak mengatakan bahwa jika kita mudah berkata tak pantas, maka secara tidak langsung akan merendahkan harkat martabat kita sebagai manusia. Apalagi jika hal tersebut diumbar di sosial media, dimana jangkauannya sangat luas, terkadang sesaat kita tanpa sadar mengumpat begitu saja di dunia maya, namun dampaknya ternyata banyak orang yang justru merendahkan kita.

Jika anda mendapati ada pihak yang menghina dan berkata tak pantas kepada anda secara vulgar di sosial media, berusahalah untuk mengendalikan emosi dan tak terpancing untuk membalasnya, karena jika anda melakukan hal yang sama, apa bedanya anda dengan pihak yang tak bermoral tersebut.

Berusahalah tetap bijaksana jika ada yang menghina kita di sosial media, katakan kepada pihak yang berkata tak pantas kepada anda, untuk menghentikan kata umpatan dalam perdebatan sosial media, jika dia masih melakukannya, maka sebaiknya kita mengakhirinya, karena artinya kita berkomunikasi dengan orang yang salah.

Fenomena kebiasaan para netizen +62 yang mudah mengumbar kata umpatan, makian dan kata-kata tak pantas di sosial media harusnya menjadi keprihatinan kita bersama. Mari kita berupaya menjadi netizen yang bermartabat, alhamdulillah pada platform Kompasiana, kita menemukan lingkungan blog sosial media yang paling sehat di Indonesia menurut saya, para Kompasianer adalah kumpulan para Blogger yang santun serta selalu berupaya menyuguhkan konten-konten yang membangun kesadaran intelektual bermartabat pada masyarakat dunia maya. Semoga Bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun