Fenomena mudahnya mengumbar aib pribadi di sosial media lengkap dengan makian-makian 'penyedap rasa' dari 'kebun binatang', itu justru mulanya dipelopori oleh artis-artis pesohor kita. Entah kondisi sedang perseteruan proses perceraian atau konflik manajemen, para artis seolah mudahnya mem-blow up emosinya di sosial media lengkap dengan kata hujatan makian, agar mendapat simpati netizen. Secara tidak langsung sang artis mengedukasi para netizen untuk bisa berbuat hal yang sama, jujur ini fenomena yang terus terjadi dan terus bertambah.
Maka dari itu, jadilah netizen yang cerdas dalam emosional, sadarlah sosial media hampir seluruhnya adalah kepalsuan, jadikan jagat maya hanyalah sekedar media 'want to know' bukan untuk ajang meluapkan segala emosi yang ada. Jadi, menjaga emosi adalah benteng awal agar kita tidak terpacu untuk berkata tak pantas di sosial media.
Jarimu Harimaumu
Pada Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 Sebagaimana Telah Diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berbunyi, "setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik dapat dipidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp750 juta". Dimana Ketentuan ini merupakan delik aduan.
Dasar hukum tersebut sudah jelas harus menjadi pegangan kita dalam adab bersosial media. Karena jika seandainya kita berkata tak pantas dengan seseorang di sosial media, lalu oran tersebut merasa tidak terima, maka dia punya hak untuk mengadukannya ke pihak berwajib sesuai dengan pasal tersebut.
Jangan menganggap remeh, kata-kata umpatan yang kita ketik di sosial media, bisa saja jadi kita mengganggap biasa saja, tetapi kita tidak tahu, hal tersebut bisa menjadi senjata makan tuan.
Jarimu, harimaumu, hati-hati dengan apa yang anda ketik di jagat maya, berpikir sebelum mengetik. Jangankan berkata tak pantas, berargumen berseberangan saja kadang bisa dilaporkan, jika pihak yang bertentangan di sosial media merasa tidak terima. Maka dari itu, berupayalah menjadi netizen yang santun dan menghargai para netizen di dunia maya.
Belajar Jadi Netizen Obyektif
Pada musim pemilu seperti ini, bermunculan netizen-netizen dan buzzer-buzzer garis keras yang membela jagoan pilihannya. Kebanyakan mereka selalu berargumen dengan perspektif subyektif, sehingga tak jarang menimbulkan konflik-konflik tak sehat di sosial media.
Kita harus mengupayakan menjadi netizen yang obyektif dalam memandang isu-isu sensitif yang berkembang di sosial media. Sebagai contoh janganlah membela pak Anies karena dia pintar bicara, atau membela pak Prabowo karena dia gemoy atau membela pak Ganjar karena dia ganteng. Itu kesemuanya adalah sudut pandang obyektif terhadap suatu ketokohan, yang berpotensi menimbulkan debat kusir tak berguna dan tentunya memancing umpatan dari masing-masing pihak.
Jika anda tidak memahami suatu permasalahan secara komprehensif, lebih baik 'diam', ketimbang informasi yang tak utuh dari anda akan menimbulkan konflik dengan pihak lain di sosial media.
Jadilah netizen yang terbiasa mengutarakan pendapat secara utuh dan komprehensif berdasarkan data serta fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga bisa saja dapat mengedukasi netizen lainnya.
Kata Tak Pantas Rendahkan Martabat
Banyak orang bijak mengatakan bahwa jika kita mudah berkata tak pantas, maka secara tidak langsung akan merendahkan harkat martabat kita sebagai manusia. Apalagi jika hal tersebut diumbar di sosial media, dimana jangkauannya sangat luas, terkadang sesaat kita tanpa sadar mengumpat begitu saja di dunia maya, namun dampaknya ternyata banyak orang yang justru merendahkan kita.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!