Dalam sengitnya debat Capres Cawapres kali ini, megaproyek pangan 'Food Estate' yang dijalankan oleh Kementrian Pertahanan di di Desa Tewai Baru, Gunung Mas, Kalimantan Tengah, seolah menjadi komoditi politik yang terus digoreng oleh masing-masing kubu Capres-Cawapres.
Megaproyek Food Estate banyak dinilai gagal oleh berbagai pihak, pemberitaan yang meluas dimana diberitakan tanaman singkong yang ditanam pada lahan Food Estate seluas ribuan hektar tersebut, gagal total untuk dipanen, dan malah diganti dengan tanaman jagung yang berpolybag. Artinya, bisa disimpulkan secara sederhana bahwa tanah pada lahan Food Estate di Gunung Mas kurang cocok untuk ditanami komoditi tanaman pangan.
Dikutip dari berbagai media, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah (Walhi Kalteng) Bayu Herinata menyebut proyek food estate Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang digarap oleh Kementerian Pertahanan gagal total dan justru berpotensi merusak keanekaragaman hayati pada wilayah hutan sekitar.
Melihat kasus Food Estate, kita seolah kembali teringat kembali ke jaman Pak Harto dulu yaitu megaproyek lahan gambut sejuta hektar. Tidak main-main, sejuta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah dibabat pohon-pohonnya hanya demi proyek ambisius mengambil kekayaan hutan Kalimantan dengan dalih ketahanan pangan. Entah bagaimana, hal tersebut seolah Dejavu diulangi lagi oleh sang menantu, Pak Prabowo. Hingga sekarang pun belum ada pemberitaan yang jelas, kemanakah kayu-kayu logging hasil tebangan dari proyek Food Estate tersebut.
Artikel ini tidak akan membahas lebih lanjut kejanggalan dari proyek Food Estate, tetapi lebih kepada mengapa kedua megaproyek ketahanan pangan ini, selalu gagal total.
Saya bisa memahami bahwa Indonesia adalah negara super besar, tetapi tidak mempunyai lahan yang besar untuk pertanian komoditi pangan.Â
Indonesia tidak layaknya negara besar kontinental seperti Amerika Serikat, China atau Rusia, karena walau wilayah negara kita sangat luas, namun karena bentuk topografinya negara kepulauan, membuat sulitnya mencari lahan yang benar-benar luas untuk ditanami tanaman pangan dalam skala super besar.
Ada dua wilayah yang cukup besar dan luas di Indonesia, yaitu Pulau Kalimantan dan Pulau Papua. Namun, walaupun luas tetap ada beberapa catatan cukup sulitnya untuk mencetak lahan pertanian pangan di sana.Â
Untuk pulau Kalimantan, walau luas dan relatif datar, tetapi tanahnya tidaklah terlalu subur untuk lahan pertanian pangan, belum lagi Kalimantan adalah juga wilayah 'paru-paru' dunia, dimana wilayah ekologi hutannya selalu diawasi berbagai LSM lingkungan hidup baik dalam dan luar negeri, sehingga tidak mudah seenaknya membuka lahan pertanian di wilayah hutan Kalimantan.
Sementara di Papua, lahan yang cocok untuk pertanian pangan hanya di wilayah lembah Memberamo, sementara di wilayah selatannya kebanyakan adalah daerah rawa.Â
Belum lagi, wilayah Papua yang berada paling timur negara ini, membuat biaya distribusi cukup mahal jika disalurkan ke berbagai wilayah Indonesia, artinya beras dari Papua hanya efisien didistribusikan ke wilayah timur saja.
Pulau Kalimantan selalu diproyeksikan sebagai pusat masa depan negara Indonesia, dan Bung Karno pernah mengutarakan hal tersebut. Hal tersebut bisa dipahami, karena posisi pulau terbesar ketiga dunia ini terletak persis di tengah-tengah Nusantara.
Karena hal itu, selalu diupayakan proyek-proyek ambisius dilakukan di pulau Kalimantan, seperti proyek Ibukota baru IKN hingga upaya pembukaan lahan pertanian pangan dalam skala besar.
Untuk masalah proyek lahan pertanian skala besar, bisa dikatakan dengan merujuk dua proyek yang saya utarakan sebelumnya, dapat dijadikan pelajaran, bahwa perlu ada kajian khusus mendalam, mengapa proyek yang menghabiskan dana trilliunan tersebut selalu gagal total.
Saya bukanlah ahli pertanian ataupun ahli geologi, tetapi dalam hal ini ada catatan menarik tentang hal sederhana bagaimana megaproyek pangan tersebut bisa gagal total, yaitu ketidaksesuian antara jenis tanaman dengan jenis tanah yang digunakan.Â
Saya rasa untuk hal ini, kita tidak perlu menjadi ahli pertanian atau ahli geologi untuk memahami konsep sederhana ini, ibu-ibu rumpi PKK pecinta tanaman hias pun sangat paham hal ini.
Dikutip dari berbagai sumber, jenis tanah yang berada di wilayah Gunung Mas, Kalimantan Tengah adalah termasuk jenis tanah 'Podsol'. Dikutip dari Brain-academy, Tanah Podsol adalah tanah yang berasal dari sedimen kuarsa dan terbentuk karena pengaruh suhu yang rendah dan curah hujan yang tinggi. Tanah podsol dapat berwarna kuning, merah, ataupun kuning keabuan. Ciri tanah podsol adalah tanahnya tidak subur, dan bertekstur pasir hingga lempung.
Berikut ciri-ciri umum dari jenis tanah Podsol yang mungkin sekedar menambah wawasan bagi kita, bahwa jenis tanah ini memang tidak cocok untuk lahan pertanian pangan.
Unsur Asam Tinggi dan Basa Rendah
Jenis tanah podsolik memiliki kadar asam yang tinggi. Hal ini menyebabkan ketersediaan hara menurun, kegiatan biologi menurun, proses humifikasi kurang lancar dan kandungan zat Al, Fe, dan Mn meningkat.
Dikarenakan kadar asam yang tinggi, maka unsur mineralnya sangat tidak mendukung untuk pertumbuhan tanaman pangan. Hal tersebut bisa terlihat, dimana tanaman singkong yang ditanam di lahan Food Estate sangat lambat pertumbuhannya.
Jenis tanah ini cenderung miskin hara makro Ca, K dan Mg. Inilah yang menyebabkan tanah podsolik tidak cocok bila ditanami oleh jenis tanaman satu musim.Â
Untuk tanaman pohon besar, mungkin hal ini tidak menjadi masalah, namun untuk tanaman pangan seperti palawija, akan menjadi pengambat kesuburan tanaman.
Kadar Bahan Organik Rendah
Tanah podsolik termasuk ke dalam tanah dengan lapisan permukaan yang tipis. Dengan demikian, kadar N, S, dan P pun menjadi rendah sehingga keberadaannya terbatas.
Bisa diartikan, tanah podsol bukanlah tanah humus yang subur, sehingga jika harus ditanami tanaman pangan, maka harus diberikan pupuk dalam jumlah yang banyak agar kadar N,S,P yang menunjang pertumbuhan akar bisa maksimal. Saya rasa itu bukan solusi yang bijak, karena butuh biaya yang tak sedikit.
Daya Simpan Air Terbatas
Tanah podsolik cenderung mudah mengalami kekeringan. Pasalnya, kandungan lempung tanah ini yang tidak bisa menyerap air. Oleh karena itu, tanah ini mudah sekali mengalami kekeringan.
Air adalah instrumen penting dalam menunjang pertumbuhan tanaman, jika tanah Podsol tak mampu menyerap air dengan baik, maka bisa dipastikan tanaman akan mudah layu dan kering dengan cepat.
Hal ini bisa diatasi dengan membuat kanal-kanal air pada lahan yang dimaksud. Namun, sekali lagi ini pun bukan solusi yang cerdas, karena membuat kanal juga butuh lahan luas, dan jenis air di sungai Kalimantan cenderung mengandung unsur asam yang tinggi.
Unsur Hara Rendah
Tanah yang subur memiliki ciri utama dapat menyimpan unsur hara di dalamnya. Namun, ada beberapa jenis tanah yang memiliki daya simpan unsur hara yang rendah salah satunya tanah podsolik.
Kemampuan kurangnya daya simpan unsur hara pada tanah ini, membuat jenis tanah ini termasuk ke dalam tanah yang kurang subur dan tidak cocok dijadikan sebagai media tanam.
Bagaikan menabur garam di lautan, artinya walaupun kita menabur pupuk sebanyak-banyak pada lahan tanah podsol, maka unsur dalam pupuk tersebut akan tergerus juga, karena ketidakmampuan jenis tanah ini dalam menyimpan unsur hara.
Bukannya kita menyalahkan para pejabat pengambil keputusan dalam megaproyek ketahanan pangan, kita sebagai rakyat pun memahami bahwa kita butuh lahan luas untuk ditanami tanaman pangan. Namun, seyogyanya dalam menjalankan proyek tersebut harus secara terbuka dan melibatkan akademisi terkait, agar benar-benar misi ketahanan pangan bisa tercapai. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H