Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Shin Tae-yong Bukanlah Dewa

29 Januari 2024   08:06 Diperbarui: 29 Januari 2024   08:20 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan itu telah berakhir, hanya sampai disini, Timnas harus melihat realita bahwa kita ini belum 'apa-apa' di level Asia. Jujur, saya tidak menonton semua pertandingan timnas sepanjang Piala Asia 2024 di Qatar secara langsung. Mentok, hanya melihat live score di smartphone, atau menonton highlight gol-golnya saja via Youtube.

Sebagaimana artikel saya sebelumnya yang berbau timnas berjudul "Ketika Sudah Hilang Rasa Nonton Timnas Indonesia", memang saya sudah agak berkurang 'nafsu' untuk menonton pertandingan para punggawa Garuda Senior, saya lebih tertarik menyaksikan laga timnas level umur yang agak menjanjikan trofi, walau masih level 'Chiki', karena kita haus juara, bukan sekedar main bagus yang bisa dinilai subjektif dari berbagai pihak.

Dalam 3 tahun terakhir kita seperti tersihir oleh euforia kepelatihan Shin Tae Young (STY), seolah-olah dia adalah dewa penyelamat sepakbola kita. Banyak dari kita terkesima dengan permainan timnas yang mulai bagus karena dilatih oleh pelatih ternama Shin Tae Young.

Artikel ini bukan bermaksud untuk menyerang kepelatihan Shin Tae Young atau argumen-argumen Coach Justin yang selalu mendewakan STY. Tetapi marilah kita membuka mata, bahwa ada beberapa fakta yang akan saya tampilkan dalam artikel ini bahwa prestasi timnas senior kita sebenarnya belum terjadi peningkatan yang signifikan. Berikut poin-poin yang kiranya bisa menjadi pencerahan obyektif bagi kita tentang bagaimana sebenarnya timnas kita saat ini.

Overated di Piala Asia 2023

Kemarin kita dikalahkan Australia dengan skor telak 4-0 pada babak gugur 16 besar, sekaligus mengakhiri perjalanan Timnas pada gelaran piala Asia 2023 di Qatar, yang sebelumnya berhasil lolos babak grup pada 24 besar. Pada babak grup kita berhasil menang 1-0 melawan rival abadi Vietnam, dan kalah atas Iraq dengan skor 3-1 dan kalah lagi melawan Jepang dengan skor 3-1.

Sekilas prestasi timnas pada gelaran piala Asia kali ini seperti mengalami peningkatan, karena lolos babak grup, padahal kalau berkaca pada keikutsertaan Indonesia pada gelaran piala Asia sebelum-sebelumnya, sebenarnya tidaklah mengalami peningkatan level. Kok bisa ?.

Sebelum ajang Piala Asia 2024 di Qatar, Indonesia sudah mencatatkan empat kali keikutsertaan Piala Asia. Pertama, pada gelaran Piala Asia 1996 di Uni Emirat Arab, kita bergabung di Grup A, dimana hasilnya kita berhasil imbang dengan Kuwait dengan skor 2-2, kemudian kalah dengan Korsel lewat skor 4-2, kemudian kalah 2-0 dengan tuan rumah UEA.

Lanjut, pada edisi Piala Asia 2000 di Lebanon, kita kalah atas China lewat skor 4-0, kemudian digilas Korsel dengan skor 3-0, kemudian berhasil mengimbangi Kuwait dengan skor kacamata.

Kemudian, pada gelaran Piala Asia 2004 di China, kita berhasil mencatatkan kemenangan perdana melawan Qatar dengan skor 2-1, namun selanjutnya kita dibantai China lewat skor 5-1 dan dikalahkan Bahrain dengan skor 3-1, walau kita sempat menang, namun tak membantu timnas untuk lolos babak grup.

Kemudian pada Piala Asia 2007 yang diselenggarakan di kandang sendiri, saya menilai sebenarnya pada gelaran ini kita menampilkan penampilan terbaik sepanjang sejarah Piala Asia, bahkan jika dibandingkan dengan timnas sekarang, dimana kita berhasil mengalahkan tim kuat Bahrain dengan skor 2-1, kemudian kalah tipis dengan Arab Saudi lewat skor 2-1, lalu kalah lagi dengan skor tipis 1-0 juga melawan Korsel yang saat itu diperkuat Park Ji Sung.

Sekarang dengan raihan-raihan tersebut marilah kita buat pembanding. Pada gelaran Piala Asia 1996 dan 2000, jumlah pesertanya adalah 12 negara, terbagi 3 grup. Pada gelaran Piala Asia 2004 dan 2007 jumlah pesertanya adalah 16 negara terbagi 4 grup.

Jika kita mengacu pada hasil raihan timnas piala Asia 2007 saja, maka sebenarnya timnas Piala Asia saat ini asuhan STY tidak mengalami peningkatan yang berarti. Pada gelaran babak grup Piala Asia 2007, kita berhasil meraih 1 kemenangan , 2 kekalahan dengan melesakkan 3 gol dan kebobolan 3 gol, sementara pada babak grup Piala Asia 2023 saat ini, kita juga meraih 1 kemenangan, 2 kekalahan dengan rincian melesakkan 3 goal dan kebobolan 6 gol.

Hanya saja, pada gelaran Piala Asia 2007 tidak menganut sistem peringkat ketiga terbaik, karena jumlah peserta sudah genap 16 peserta, sehingga yang diambil lolos babak grup hanya peringkat satu dan dua, padahal kalau berkaca dengan hasil timnas saat ini, harusnya timnas Piala Asia 2007 pun bisa lolos dengan skema peringkat ketiga terbaik.

Perlu saya tekankan, pada Piala Asia 2023 di Qatar, jumlah pesertanya adalah 24 negara. Sehingga hasil dari Timnas kali ini yang berhasil lolos ke 16 besar, secara hitungan statistik tidaklah mengalami peningkatan, karena di piala Asia 2007 pun kita berada di 16 besar, tapi fase grup. Malah justru di babak grup, jauh lebih baik hasil-hasil di Piala Asia 2007 dimana kita hanya kalah tipis dengan raksasa Arab Saudi dan Korsel. Bandingkan dengan hasil Piala Asia 2023, kita kalah dengan Iraq dan Jepang dengan margin 2 gol.

Belum lagi, dalam setiap edisi Piala Asia yang kita ikuti, Timnas selalu menjaga 'tradisi' mendapatkan poin pada setiap fase grup, walau hanya minim mendapat poin 1. Artinya tidak terjadi peningkatan yang signifikan dan digembar-gemborkan bahwa kita sudah level Asia.

Menurut saya, memang pada pertandingan kemarin melawan Australia adalah penentuan apakah kita sudah melewati level untuk dikatakan sudah 'Asia', karena jika menang maka kita akan dilabeli '8 besar Asia'. Namun kenyataannya, kita kalah dengan margin 4 gol, jauhlah dari level 'Asia', beda cerita kemarin kita seandainya hanya kalah tipis atau kalah adu penalti, mungkin saya bisa angkat topi.

Prestasi STY di Timnas Korsel Biasa Saja

Kebanyakan dari kita terbius dengan STY ketika melatih timnas senior Korsel pada Piala Dunia 2018 di Rusia. Dimana pada salah satu laganya, STY mencatatkan kemenangan fenomenal atas juara bertahan Jerman dengan skor 2-0. Walau menang, Korsel tetap gagal lolos, karena kalah 2 kali sebelumnya, dan menurut pemberitaan pada media setempat, publik Korsel justru menghujat hasil Korsel pada Piala Dunia 2018, walau menang atas Jerman.

Shin Tae Young secara resmi menjadi pelatih Timnas Senior Korea Selatan pada tahun 2017 hingga tahun 2018. Satu-satunya trofi yang berhasil dipersembahkan adalah memenangkan kejuaran EAFF 2017, yaitu kejuaraan regional negara-negara Asia Timur, mirip dengan piala AFF di Asia Tenggara.

Parameter yang bisa digunakan adalah prestasinya di Piala Dunia. Jika kita berkaca pada Korea Selatan, maka standarnya haruslah bukanlah sekedar lolos babak kualifikasi, tetapi harus mampu lolos babak grup. Maka bisa disimpulkan prestasi STY pada saat melatih timnas Korsel dapat dikatakan belum mencapai standar yang diharapkan.

Satu-satunya gelar yang berhasil diberikan STY ke Korsel adalah trofi yang dibilang coach Justin adalah 'piala chiki'-nya Asia Timur. Maka dari itu, kita jangan munafik, jika publik pun tak mengapa jika Timnas Indonesia seandainya baru bisa berhasil meraih 'piala chiki' AFF level Asia Tenggara, karena meraih prestasi jauh lebih baik, ketimbang narasi subyektif permainan jauh lebih baik.

Tuntutan Gaya Bermain Terkini

Jika banyak publik menilai bahwa permainan timnas di bawah asuhan STY memiliki gaya permainan yang apik ketimbang timnas di era-era sebelumnya, saya menilai hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar.

Gaya permainan timnas sekarang yang berani main pressing tinggi, kemudian semua  pemain selalu dinamis bergerak sebenarnya bukanlah hal yang luar biasa untuk gaya permainan sepakbola jaman sekarang. Karena memang, gaya permainan sepakbola saat ini memang dituntut pergerakan cepat di berbagai lini. Berbeda dengan gaya sepakbola era 90-an atau 2000an awal yang dominan permainan zona, sehingga di jaman itu ada istilah posisi seperti libero atau playmaker yang berfungsi sebagai posisi transisi saat bertahan atau menyerang.

Thailand, Vietnam dan Malaysia boleh dikatakan juga bersamaan dengan Indonesia juga sudah berbenah dalam hal gaya bermain. Sudah tidak ada lagi gaya sepakbola gajah Asia Tenggara, yang malas-malasan mengejar bola. Maka bukan hal yang 'wow', jika permainan Timnas dinilai jauh lebih baik, karena negara Jiran kita pun juga sudah bermain dengan gaya yang sama.

Indra Sjafrie, Pioneer Timnas Gaya Baru

Kalau kita mau belajar sejarah, gaya permainan timnas senior sekarang sebenarnya dipelopori oleh Coach Indra Sjafrie yang mulai menangani timnas level usia semenjak 2013. Dimana ia mempelopori peningkatan kemampuan bernapas Vo2 para pemain muda, sehingga mampu bermain dengan determinasi tinggi sepanjang 90 menit.

Semenjak Piala Asia 2007, Timnas kita memang mengalami kemunduran, karena banyaknya konflik internal yang mendera PSSI pada era itu. Namun, pada masa paceklik tersebut, hadirlah sosok Indra Sjafrie pada tahun 2009 yang mengawali karir sebagai pemandu bakat di PSSI.

Dikisahkan dia berkeliling Indonesia, untuk menemukan bakat-bakat terbaik para punggawa Garuda Muda. Tak cuma menemukannya, tetapi Indra Sjafrie benar-benar menggembleng fisik, stamina dan mental para pemain muda.

Hasilnya benar-benar nyata, Indra Sjafrie membawa Evan Dimas dan para kompatriotnya berhasil menjuarai U-19 AFF 2013 mengalahkan Vietnam. Gelar ini adalah gelar pertama Indonesia sejak 22 tahun terakhir pada semua level. Kemudian dia membawa timnas Garuda Muda menjuarai U-22 AFF 2019 di Kamboja. Dan yang terakhir paling fenomenal berhasil meraih medali emas SEA Games 2023, setelah menang meyakinkan atas musuh bebuyutan Thailand dengan skor 5-2.

Dengan raihan prestasi tersebut, jujur saya mau katakan, dewa penyelamat sepakbola kita adalah sosok Indra Sjafrie. Dimana walau kondisi Federasi PSSI masih carut marut dengan segala keterbatasannya, beliau berhasil memaksimalkan potensi pemain-pemain muda kita.

Sosok STY sebenarnya datang di saat yang tepat, dimana dia tinggal menikmati memilih pemain-pemain muda yang sudah dipoles sedemikian rupa oleh Indra Sjafrie selama bertahun-tahun untuk dimasukkan ke dalam line-up.

Sekali lagi artikel ini bukan bermaksud untuk menyerang coach STY, kita pun juga patut mengapresiasi kinerjanya, tetapi kita pun juga harus 'melek data' melihat rekam jejak timnas kita terdahulu. Jujur, saya sampai sekarang masih menganggap Timnas Senior era awal 2000an adalah yang terbaik, dimana merupakan kombinasi generasi emas seperti Boaz Salossa, Firman Utina dengan eks Primavera seperti Kurniawan atau Rochy Putiray. Semoga pasca Piala Asia 2023, Timnas Senior segera berbenah dan menghadapi kenyataan bahwa mereka harus menaklukkan Asia Tenggara terlebih dahulu sebelum menjadi Macan Asia yang sejatinya. Semoga Bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun