Menjelang tidur tersempatkan scroll-scroll handphone dengan algoritma lagu-lagu malaysia slow rock era 90an, tangan ini terhenti pada salah satu video seorang pria menyanyi lagu 'Mencari Alasan' dari band Exist dengan teknik vocal scream beroktaf tinggi mirip Matt Shadows-nya Avenged Sevenfold.
Sepintas saya takjub dengan pria dalam video tersebut, karena memang sangat sulit bernyanyi dengan teknik vokal seperti itu. Saya pun scroll komentar-komentar pada video viral tersebut, rata-rata memuji teknik vokal pria dalam video tersebut.
Namun naluri kuping seorang pemusik tak bisa dibohongi, sepertinya ada yang ganjal dengan video viral ini. Mulai dari cara si pria itu melakukan scream, lokasi dia melakukan rekaman, kemudian kualitas audio yang dihasilkan, setelah saya amati adanya yang tidak 'match'. Dan benar saja, setelah saya mencari tahu, ternyata video pendek viral tersebut hanyalah 'cover di atas cover'. Parahnya lagi audio yang di-cover pun ternyata diakui oleh pembuat aslinya adalah produk Artificial Intelligence (AI) Voice Generator, terjawablah sudah rasa penasaran saya selama ini.
Dan setelah saya telusuri di platform Youtube, ternyata sudah banyak video-video yang 'menipu' para penikmatnya, dengan seolah-olah suaranya adalah seperti Matt Shadows yang berteknik scream oktaf tinggi, dan parahnya banyak komentar yang memuji-muji seolah si pembuat video adalah si vokalis asli, padahal itu video cover di atas cover yang memakai teknologi AI Voice Generator.
Pada kesempatan lain, The Beatles pada akhir tahun lalu merilis lagu "Now and Then" ciptaaan mendiang John Lennon yang tidak sempat direkam resmi dan dipublikasikan, karena John Lennon sudah wafat duluan sebelum lagu tersebut dirilis.
Hal yang menjadi menarik adalah, ada bagian lagu tesebut yang menggunakan suara mendiang John Lennon dengan bantuan teknologi AI Voice Generator. Para personel yang masih hidup yaitu Paul McCartney dan George Harrison menyatakan menggunakan teknologi ini, dikarenakan sisa-sisa rekaman terdahulu tidak begitu jernih, dimana suara mendiang John Lennon tidak begitu terdengar jelas.
Dari dua kasus di atas muncul pertanyaan besar bagi dunia industri musik, akankah di masa depan, manusia tidak perlu menjadi artis musik seperti penyanyi solo, grup band atau bahkan orkes musik, karena cukup memasukkan sampling sound, kemudian meminta sang 'mesin' untuk bisa mengolahnya menjadi suara vokal atau alunan musik yang berkualitas tinggi.
Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang, suara khas mendiang Freddy Mercury bisa terdengar di telinga sedang menyanyikan lagu 'Rungkad' atau tiba-tiba terdengar Babang Tamvan sedang berduet dengan almarhum Frank Sinatra menyanyikan lagu gahar "Toxicity"-nya System Of A Down dengan memanfaatkan teknologi AI Voice Generator.
Jika terjadi yang demikian, dimana lagi 'marwah' dari pemusik atau penyanyi yang sudah belajar musik dari semenjak balita.Â
Dalam artikel ini saya akan menitikberatkan pada kasus vokalis-vokalis palsu yang bertebaran di dunia maya yang memanfaatkan teknologi AI Voice Generator, karena untuk kasus aransemen musik bisa dibilang masih abu-abu dalam memanfaatkan teknologi AI, karena bisa jadi larinya ke proses editing atau mixing.
Berbeda halnya dengan karya musik yang menitikberatkan menggunakan suara vokal palsu 100 persen pada sepanjang lagunya, dan kini mulai agak jamak terjadi. Mereka mencari rejeki dengan memanfaatkan kepalsuan kemampuan tarik suara. Disinilah yang perlu dikritisi dan perlu dibenahi.
Lalu apa saja yang kiranya perlu dievaluasi dalam hal para kreator vokalis berteknologi AI? Berikut kiranya beberapa poin yang bisa dilakukan.
Kreator Harus Jujur
Para kreator harus jujur akan spesifikasi hasil karya musiknya, jika memang teknik vokal dalam karyanya menggunakan AI Voice Generator, maka pada judul dan deskripsinya harus dicantumkan bahwa memang vokal yang dihasilkan adalah bukan murni suara asli manusia, melainkan hasil olahan dari teknologi AI.
Dengan demikian, maka para penikmatnya pun menjadi tahu dan mengerti akan kejujuran hasil karya yang dihasilkan kreator AI, sehingga mereka pun teredukasi mana hasil karya 'mesin' dan yang mana hasil karya asli jerih payah dari makhluk berintelegensia tinggi yang bernama manusia.
Perizinan
Saya kurang tahu, apakah para youtuber atau konten kreator yang 'mencatut' suara scream melengking Matt Shadows pada lagu-lagu Indonesia sudah meminta izin kepada yang bersangkutan.Â
Sebaiknya para konten kreator sudah sepatutnya meminta izin kepada si pemilik asli suara vokal.Â
Pada kasus The Beatles, bukan menjadi masalah, karena walau John Lennon sudah meninggal, tetapi Paul McCartney masih mempunyai hak untuk memakai 'jasa' vokal mendiang rekannya.
Hal ini menjadi penting karena merupakan bentuk penghargaan kepada pemilik audio vokal asli sang penyanyi.Â
Berbeda halnya jika suatu karya lagu, memakai jenis suara buatan yang 'dirasa' bukan milik orang lain, sang kreator pun harus jujur bahwa suara vokal yang dihasilkan bukan murni suara manusia, karena bisa saja di kemudian hari, banyak orang yang menilai suara vokal tersebut milik artis lain.
Penegakan Hukum
Untuk masalah kasus mereplikasi suara artis ternyata sudah jamak terjadi, di Amerika Serikat, bahkan ada stasiun radio yang ternyata kedapatan mewawancarai artis-artis musik terkenal, namun ternyata suara-suara artis tersebut adalah suara palsu buatan AI, namun hal tersebut masih dipertimbangkan untuk masalah penegakan hukumnya.
Dalam kasus lain, pihak label dari artis rapper Eminem, UMG mengeluarkan tuntutan hak cipta atas video YouTube yang menampilkan Eminem sedang nge-rap tentang 'kucing', padahal Eminem sendiri tak pernah merekam lagu tersebut, dan sang kreator tersebut sama sekali tak mencantum keterangan vokal tersebut dihasilkan lewat teknologi AI.
Di Indonesia sendiri, belum ditemukan kasus yang menonjol, namun bukan tidak mungkin, bisa muncul kasus yang bakalan heboh, dan perlu penanganan hukum yang serius.
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan video almarhum Presiden Soeharto yang tampak 'hidup' kembali, dimana beliau menarasikan tentang pesan menjelang Pilpres dan suara vokalnya benar-benar mirip aslinya, padahal suara tersebut hasil dari teknologi AI.
Menurut saya pribadi, harusnya hal ini ada penegakan hukumnya, mungkin dikarenakan 'pesan' yang disampaikan dalam video masih aman-aman saja, jadi tidak ada tuntutan hukum dari beberapa pihak. Tetapi mungkin bisa saja ada tuntutan hukum , apabila suara vokal beliau digunakan untuk pesan-pesan negatif.
Saran hematnya, perlu dibuat landasan hukum yang kuat tentang suara vokal berteknologi AI, dimana dalam aturan tersebut, apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang memang tidak diperbolehkan di dalam mereplikasi suara vokal tokoh atau artis terkenal.
Utamakan Karya Vokalis Asli
Sebisa mungkin hingga ke depannya, suara manusia asli tetap menjadi pilihan utama dalam sebuah karya musik. Jangan sampai suara replikasi dari teknologi AI mendapatkan ruang yang besar di dalam industri musik.Â
Hal ini kembali lagi kepada filosofi bahwa vowel suara manusia adalah anugerah terbesar yang diberikan oleh Tuhan, dikarenakan makhluk lain di bumi selain manusia, tidak bisa berbicara dan bernyanyi dengan vowel ala manusia.
Sebagai contoh, ada kasus di Indonesia, dimana ada artis yang di dalam rekaman lagunya, dia mampu bernyanyi dengan nada oktaf tinggi, namun ketika live performance, dia tak pernah menampilkan nada oktaf tingginya seperti dalam rekaman. Besar kemungkinan, saya menilai suara vokal dalam rekaman diedit habis-habisan agar bisa mencapai nada yang tinggi, sekali lagi kejujuran menjadi modal utama sebagai musisi.
Mereplikasi suara vokal tokoh atau artis terkenal dalam sebuah lagu yang tak pernah dinyanyikan oleh mereka sebelumnya adalah studi kasus yang harus segera dibahas serius, sebelum nantinya akan muncul kasus yang menghebohkan dan merugikan beberapa pihak. Oleh karena itu, disarankan para musisi-musisi yang sekarang duduk di parlemen kiranya bisa membahas hal ini pada komisi bidang seni, sehingga industri musik tetap berjalan pada koridor yang jujur akan hasil karyanya. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H