Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Membangun Mosi Dalam Ajang Debat

23 Januari 2024   05:14 Diperbarui: 23 Januari 2024   06:18 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bagaimana cara mengatasi Green Inflation ?”

Itulah yang terucap cepat dari bibir cawapres milenial yaitu Gibran Rakabuming Raka, ketika diluncurkan menuju lawan debatnya pak Mahfud MD. Sontak suasana forum menjadi ricuh, sang moderator pun memperingatkan kepada cawapres Gibran untuk mendefinisikan terminologi asing dari mosi atau topik yang ingin didebatkan, sesuai aturan yang ada.

Ketika sudah diperingatkan, lagi-lagi mas Wali tak mengindahkan teguran moderator, beliau hanya mentranslate saja dari Green Inflation menjadi Inflasi Hijau, tetapi tidak mendefinisikan apa itu Green Inflation, saya sendiri yang suka membaca pun tidak tahu istilah ini, paling mentok yang tahu tentang tema ekonomi-lingkungan adalah eco-green atau Protokol Kyoto.

Beberapa minggu lalu, saya ada menulis tentang artikel tentang cara memenangkan debat capres, dimana saya memaparkan tentang kaidah-kaidah bagaimana forum debat itu seharusnya diselenggarakan, salah satunya adalah bagaimana membangun ‘mosi’ atau membuat topik perdebatan yang akan diangkat oleh pembuka debat.

Dalam artikel ini saya akan berfokus pada bagaimana cara membangun mosi atau merancang topik yang akan diperdebatkan. Dari kasus Gibran versus Mahfud di atas, sudah jelas Mas Gibran hanya mengajukan pertanyaan menggantung, tetapi tidak membuat sebuah mosi yang jelas, sehingga orang yang mau membahasnya pun pasti bingung.

Pertama-tama, kita definisikan dulu Mosi dalam debat itu apa sih. Mosi adalah suatu sudut pandang, perspektif atau opini tertentu yang memerlukan instrumen pembelaan dan penentangan.  Dari mosi itulah para peserta debat dapat menggunakan argumen, bukti data, dan logika persuasif untuk menyampaikan atau menyanggah mosi yang sudah dibangun.

Sederhananya, Mosi jika dikaitkan dalam debat capres-cawapres adalah topik yang akan dibahas antar peserta debat. Pada debat capres-cawapres, mosi cukup baik terbangun ketika topik yang akan dibahas itu berasal dari para panelis yang dimasukkan secara acak pada amplop. Namun, ketika debat capres-cawapres memasuki sesi tanya jawab antar peserta debat tanpa menggunakan topik dari amplop panelis, maka yang sering terjadi adalah Mosi yang mereka bangun sering menggantung, menjebak dan kadang cenderung tendensius lari dari tema bahkan menjadi gimmick tak bermutu.

Artinya bagi yang paham konteks kaidah debat yang sebenarnya, menit-menit akhir debat capres-cawapres yang sudah terlaksana kemarin, seolah-olah hanyalah pepesan kosong emosional semata, karena debat sudah tidak dibangun dengan mosi yang jelas untuk dibahas.

Lalu bagaimanakah syarat mosi dalam debat agar acara debat menjadi menarik untuk disimak sebagai pembelajaran bagi para penontonnya. Di dalam buku berjudul Buku Siswa Bahasa Indonesia Kelas X SMA/SMK yang diterbitkan Kemendikbud, menyampaikan Mosi harus memenuhi beberapa syarat agar memiliki kekuatan dan validitas dalam perdebatan, berikut poin-poinnya yang saya rangkum.

Mudah Dipahami

Mosi harus disusun dengan bahasa yang mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat, lalu mosi harus juga menyampaikan maksud dan tujuannya secara tegas dan jelas.

Pada kasus Mosi yang dibangun Mas Gibran di atas, sudah jelas tidak memenuhi syarat ini, padahal moderator sudah memperingatkannya. Seharusnya Mas Gibran menjelaskan dengan sejelas-jelasnya apa itu Green Inflation, dari mana beliau mendapatkan istilah itu dan apa urgensinya masalah dari itu, bukannya cuma melontarkan pertanyaan kelas cerdas cermat seperti itu. Karena saya yakin 98 persen pemirsa yang menonton, tidak paham apa itu Green Inflation. Kasus yang mirip pada pertanyaan SGIE yang dilontarkan Mas Gibran ke Cak Imin, sebuah Mosi yang tidak jelas dan tak dipahami kebanyakan orang.

Seorang yang ditunjuk membuka debat, wajib membangun mosi yang jelas dan mudah dipahami, agar supaya pembahasan dalam debat dapat berjalan lancar antar peserta debat. Boleh-boleh saja memakai istilah asing atau akronim, tetapi itu hanya sebagai ‘bagian’ dari mosi, bukan menjadi fondasi utama dalam membangun mosi, dan sang pembuka debat harus mendefinisikan sejelas-jelasnya istilah-istilah atau akronim yang ada dalam mosi.

Padat dan Afirmatif

Mosi yang dibangun harus merupakan suatu kesatuan fokus yang ingin dibahas, artinya sang pembuka debat tidak boleh langsung membuat simpulan mosi tanpa menjelaskan retorika yang membangun mosi tersebut atau tidak boleh juga bertele-tele lari kemana-mana dan tak jelas fokus apa yang mau disampaikan.

Dalam kasus debat capres cawapres kali ini, saya akui dan bukan bermaksud memihak, peserta debat yang piawai membangun retorika lalu membuat punchline mosi yang mantap adalah pak Anies Baswedan dan Pak Ganjar Pranowo. Ini penilaian saya secara obyektif, kalau Pak Muhaimin masih berputar-putar, Pak Prabowo terlalu normatif mosinya, Mas Gibran paling nakal dengan mosi menjebak dan langsung membuat mosi tanpa penjelasan konkrit, sementara Pak Mahfud agak terlalu story telling pengalaman, jadi kurang fokus mosinya.

Intinya membuat mosi juga mirip-mirip seperti membawakan materi stand up comedy, dimana kita buat dulu beberapa poin-poin definitif beserta alurnya, baru pada endingnya kita membuat punchline-nya atau mosi yang akan dibangun dalam debat.  

Objektif dan Bebas Dari Prasangka

Sebisa mungkin mosi yang dibangun jauh dari maksud tendesius atau opini semata, artinya harus seobjektif mungkin serta tidak ambigu. Mosi yang dibangun secara objektif, maka akan mengarahkan materi debat menjadi lebih bermutu dan akan menghasilkan solusi untuk menyelesaikan masalah yang diangkat dalam perdebatan.

Mosi yang dirancang juga harus jauh dari bias atau prasangka, dalam artian harus sejelas-jelasnya. Dalam lomba-lomba debat, biasanya terkadang ada sesi dimana sang pembuka debat bisa diminta menjelaskan lagi mosi yang dibangunnya, jika lawan debatnya merasa ada yang kurang jelas. Jika mosi sudah bisa diterima oleh sang lawan debat, maka sesi debat bisa dilanjutkan, dan debat pun berjalan lancar serta menarik.

Maka tak heran, pada debat cawapres kemarin, pak Mahfud tak bisa melanjutkan debat ketika sesi versus dengan Mas Gibran, karena mosi yang dibangun Mas Gibran sudah tak jelas dan penuh bias sedari awal. Ditambah lagi kelakuan gimmick clingak-clinguk tak terpuji dari Mas Gibran itu sudah melanggar kode etik dalam lomba debat resmi, baik aturan KPU maupun aturan lomba debat internasional, dimana peserta debat tidak boleh melakukan gerakan gestur yang provokatif.

Landasan Kuat

Mosi harus didukung oleh tanggung jawab bukti yang memuaskan, artinya pihak yang menyampaikan mosi seyogyanya harus mampu memaparkan argumen, data atau bukti yang kuat untuk menyokong atau mendukung mosi yang mereka ajukan.

Dengan dasar landasan yang kuat tersebut, maka mosi dapat menjadi ‘arah’ yang kuat pula di dalam perdebatan, sehingga membantu tujuan komunikasi yang diharapkan. Pada kasus Green Inflation di atas, sang pembuka debat yaitu Mas Gibran, seharusnya sedari awal harus menjelaskan urgensinya kasus ini sejelas-jelasnya dengan data-data yang valid, sehingga pak Mahfud pun bisa menanggapinya sesuai yang diharapkan oleh Mas Gibran, jadi tak masalah pak Mahfud  menjelaskan ‘ekonomi hijau’ yang jauh lebih banyak dimengerti oleh para audiens, yang pada intinya dimana inflasi hijau adalah bagian dari ekonomi hijau.

Intinya adalah mosi tidak boleh dibangun hanya sekadar afirmasi saja, tetapi juga membutuhkan penjelasan-penjelasan definif diperkuat data, informasi yang diperlukan.

Mosi dalam debat intinya mirip keseharian kita ketika berkomunikasi antar manusia yaitu komunikasi yang efektif adalah ketika sang penerima pesan, memahami isi pesan yang disampaikan sang penyampai pesan. Ketika pesan utama bisa tersampaikan dengan baik, maka selanjutnya terjadilah komunikasi yang sehat diantara keduanya. Maka dari itu pilihlah pemimpin yang mampu menyampaikan pesan kepada rakyatnya dengan baik, karena kerjaan pemimpin itu memang ‘omon-omon’ yang bijaksana dan menyelesaikan masalah bangsa. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun