Tapi itu dulu, tidak mungkin kita ingin kembali ke masa-masa banyaknya yang menunggak membayar SPP sekolah. Tetapi harus menjadi refleksi kita bersama dalam mewujudkan sistem pendidikan yang bersungguh-sungguh sebagaimana yang dinasihatkan ulama besar Imam Syafii.
Variabel-variabel dalam instrumen pendidikan sungguh banyak sekali, dan kebanyakan orang tidak menyadari betapa kompleks dan mahalnya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Beberapa variabel seperti kompensasi guru, buku penunjang berkualitas, alat peraga pendidikan, study tour dan kegiatan ekstrakulikuler adalah contoh variabel-variabel yang memang tidak bisa dihargai murah, jika kita menginginkan pendidikan yang berkualitas dan bersaing dengan negara lain.
Dan yang terjadi di lapangan adalah para guru tidak maksimal dalam mengajar, karena memikirkan biaya hidupnya, kemudian peserta didik hanya belajar buku LKS ala kadarnya yang penting murah, alat peraga pendidikan kebanyakan dibuat semurah mungkin, kalau perlu dari kardus. Lalu jarang sekali melakukan study tour untuk menambah wawasan peserta didik dan banyak peserta didik yang kurang antusias mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang kiranya bisa mengasah bakat minatnya, karena terbatasnya pilihan jenis ekstrakulikuler.
Ini tentunya menjadi PR bagi pemerintah, ternyata anggaran pendidikan yang digelontorkan belum bisa menyentuh sepenuhnya variabel-variabel lain di dalam instrumen pendidikan. Kita sebagai masyarakat juga harus sadar dan turut membantu kesulitan yang dihadapi pemerintah ini. Negara Indonesia adalah rumah yang sangat besar, tidak bisa pemerintah sendirian mengurusi jutaan peserta didik yang tersebar di segala penjuru nusantara.
Berikut kiranya beberapa kontribusi yang bisa masyarakat berikan untuk menutupi biaya pendidikan yang mahal, agar tercipta sistem pendidikan yang bisa dijangkau oleh seluruh elemen bangsa ini.
Gerakan Peduli Fasilitas Sekolah
Kepedulian sekolah tidak juga sepenuhnya menjadi tanggung warga sekolah atau para orang tua wali, tetapi juga bisa menjadi kesadaran mutual oleh masyarakat di sekitar lingkungan sekolah. Sungguh ironi apabila di lingkungan tersebut, banyak perniagaan yang sangat maju, tetapi beberapa sekolahnya tampak rusak fasilitasnya dan kurang terawat.
Maka dari itu, perlu ada kesadaran masyarakat untuk peka terhadap fasilitas sekolah di lingkungannya, walaupun seandainya diantara mereka tidak memiliki putra-putri yang bersekolah disana. Sebagai contoh, banyak dari kita sangat peduli untuk meningkatkan kualitas fasilitas rumah ibadah, tetapi kenapa tidak kita peduli dengan sekolah-sekolah di sekitar lingkungan kita, yang dirasakan banyak fasilitasnya yang rusak.
Para masyarakat sekitar bisa menggerakkan gotong royong patungan membiayai perbaikan-perbaikan fasilitas sarana dan prasarana di sekolah sekitar lingkungan mereka. Dana bisa saja dihimpun dari dana zakat, kas desa, kas RW atau lainnya yang kiranya secara jumlah perorangan tidaklah terlalu memberatkan.
Tentunya apabila gerakan ini dilaksanakan, tentunya sangat bisa meningkatkan taraf kualitas fasilitas sekolah dan berimbas kepada kenyamanan peserta didik di dalam kegiatan belajar mengajar.
Gerakan Sedekah Beasiswa
Gerakan sedekah selalu identik membantu kaum papa atau gelandangan di jalanan atau renovasi rumah ibadah, tetapi jarang ada gerakan sedekah membantu pembiayaan pendidikan anak bangsa.
 Di jaman mbah Harto, kita pernah digencarkan gerakan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh atau yang cukup populer dengan singkatan GNOTA. Seingat saya di jaman itu, gerakannya cukup masif dan sangat dirasakan, kebetulan ada teman tetangga di kampung yang kurang ekonominya, sempat berhenti sekolah, namun ketika ada GNOTA, dia bisa bersekolah kembali.