Sewaktu masa kuliah, saya pernah membeli buku karangan Ahmad Deedat yang berjudul The Choice, buku ini sangat best seller hingga kini. Buku ini berisi tentang poin-poin bagaimana seorang muslim jika berhadapan dengan misionaris Kristen, lengkap dengan studi kritis kekristenan.
Latar belakang Ahmad Deedat menyusun buku tersebut adalah untuk membantu para kaum muslim minoritas negara asalnya yaitu Afrika Selatan, dimana kerap bingung menghadapi agenda misionaris Kristen yang cukup gencar datang ke rumah-rumah orang muslim.
Tak lama saya menyelesaikan membaca buku The Choice, saya membeli buku yang hampir sejenis tentang studi kritis kekristenan, yaitu Misquoting Jesus. Menariknya buku ini tidak ditulis oleh seorang muslim, tetapi ditulis oleh Bart D. Ehrman, seorang sarjana ilmu studi kekristenan terkemuka dari Amerika Serikat.
Buku Misquoting Jesus kurang lebih hampir mirip dengan buku The Choice yang memaparkan studi kritis agama Kristen, yang berbeda hanya arah gaya penulisannya saja.
Kedua buku ini bisa dikatakan menjadi buku 'kitab suci' pegangan bagi debaters muslim yang suka berdebat perbandingan agama dengan kaum nasrani. Isinya sangat komplit memuat beberapa poin yang sangat bisa didebatkan untuk saling serang dari kedua pemeluk agama ini.
Saya sendiri membeli dan membaca kedua buku ini bukan mempunyai maksud ingin berdebat dengan saudara-saudara nasrani, tetapi justru ingin mengetahui kenapa isu debat agama antara Islam dan Kristen di Indonesia cukup meningkat selama dua dasawarsa ini.
Bagi saya lakum dinukum waliyadin, sudah cukup menjawab mengapa saya sebagai muslim tidak perlu berdebat agama dengan saudara umat nasrani, kalau hanya sekedar untuk membuktikan bahwa agama saya yang paling benar dan agama lain adalah sesat.
Kalau kita telaah lagi, latar belakang penulisan kedua buku yang saya sebutkan di atas, sama sekali tidak untuk diniatkan menyerang antara satu sama lain. Buku The Choice ditulis sebagai fondasi bagi umat muslim dalam menghadapi agenda misionaris, bukan untuk menyerang, namun agar terjadi dialog yang sehat antar umat beragama. Sementara Misquoting Jesus, disusun sebagai literatur komprehensif sejarah sistem penulisan Injil Perjanjian Baru, bukan untuk menjatuhkan keimanan kaum Nasrani.
Pada pasca Reformasi, entah mengapa isu debat agama menyeruak ke permukaan di negara ini, utamanya melalui media internet. Sewaktu era saya berkuliah sekitar awal tahun 2000an, sudah mulai cukup ramai isu debat agama antara Islam dan Kristen, entah di laman Facebook, Kaskus, bahkan sampai mulai diadakan acara resmi debat agama, yang dimana di era mbah Harto, acara seperti itu tidak mungkin bisa terselenggara.
Semakin berjalannya waktu, isu debat agama malah justru makin banyak menyeruak, dan mulai bermunculan tokoh-tokoh populer yang dianggap sangat ahli dalam ilmu perbandingan agama. Mereka banyak bermunculan di laman sosial media, seperti Youtube, Facebook dan lain-lain, dan boleh dibilang, materi ini algoritmanya termasuk yang tertinggi di Indonesia.
Ada memang diantara  mereka memang mempunyai latar belakang ilmu perbandingan agama yang komplit dan memadai, sehingga bisa menjadi edukasi yang baik bagi pemirsanya. Namun, di sisi lain, banyak pula yang sama sekali tidak memiliki fondasi keilmuan perbandingan agama yang kuat bahkan literasi ilmu perbandingan agamanya lemah, tetapi mereka berani beradu argumen debat agama, sehingga hal ini sangat berbahaya bagi kerukunan umat beragama.
Secara esensi debat antar agama, tidaklah menjadi masalah selama memegang 3 prinsip menurut saya, yaitu (i) Upaya untuk saling mengenal, (ii) Mencerdaskan umat dan (iii) Diisi pemateri berkompeten. Namun, kenyataannya debat agama yang sering terjadi adalah debat 'eyel-eyelan' bahwa agamanya adalah yang paling benar.
Jika materi-materi debat agama yang menyeruak ke masyarakat lebih kepada adu argumen ego-sentris agamanya masing-masing, maka tak pelak sudah pasti menimbulkan benih-benih perpecahan antar umat agama di negara Pancasila ini.
Jika dirasa materi-materi debat agama yang tak sesuai kaedah dalam kerangka menyatukan kerukunan umat beragama semakin banyak jumlahnya, maka sudah seharusnya Pemerintah turun tangan mengatasi laten ini.
Karena jika dibiarkan saja, maka cita-cita para founding father kita lewat Pancasila yang berupaya mempersatukan keutuhan umat antar agama bangsa ini, bisa berakhir sia-sia. Kita jangan sampai menjadi seperti negara India, yang terpecah-pecah saling membunuh hanya karena isu debat agama antara Hindu dan Islam.
Berikut kiranya yang bisa dilakukan pemerintah dalam menanggulangi permasalahan isu materi debat agama antara umat Islam dan umat Nasrani yang berpotensi bisa merusak kerukunan antar umat beragama.
Dialog Pemerintah dan Pemuka Agama
Tidak ada solusi lain yang bisa dilakukan selain Pemerintah menciptakan ruang dialog antar pemuka agama. Dalam hal ini pemerintah berupaya untuk meminta perhatian kepada para pemuka agama masing-masing untuk memperingatkan beberapa tokoh-tokoh atau figur yang cukup terkenal sebagai pemateri debat agama, agar supaya mengupayakan materinya tidak berusaha untuk menyerang umat agama lain.
Pada dialog ini, bisa saja para pemateri tersebut bisa diundang juga dan meminta komitmen mereka untuk lebih mengupayakan persatuan antar umat beragama ketimbang adu argumen 'eyel-eyelan' berdebat Tuhan siapa yang paling benar.
Arah dialog harus berupaya bahwa perdebatan agama sebenarnya tidak memiliki tujuan yang jelas, karena toh juga pada intinya manusia pada hakekatnya tidak mau diusik dasar keimanannya. Sehingga materi-materi debat agama harus mulai dikurangi intensitasnya, karena berpotensi bisa merusak kerukunan antar umat beragama.
Ijin Aturan Pemateri Perbandingan Agama di Ranah Publik
Pemerintah harus bisa tegas menindak para pemateri ilmu perbandingan agama yang kebanyakan materinya adalah menyerang keimanan umat agama lain. Karena jika dibiarkan, maka akan banyak bermunculan sosok-sosok baru lagi yang juga getol nyiyir urusan agama lain.
Maka dari itu pemerintah lewat Departemen Agama bisa membuat aturan para pemateri yang hendak menyampaikan materi sensitif ilmu perbandingan agama, harus meminta ijin terlebih dahulu sebelum membuat konten-konten atau penyelenggaraan materi debat agama.
Walaupun materi tersebut seandainya disampaikan dalam forum dari golongan agamanya sendiri, maka tetap harus seijin oleh departemen agama. Sebagai contoh isi materi dalam khutbah Jumat di masjid atau  kebaktian di gereja. Karena bisa saja materi tersebut bisa menyulut kebencian antar umat beragama yang berawal dari tempat ibadah mereka sendiri.
Departemen Agama Aktif Mengawasi
Pemerintah dalam hal ini melalui departemen agama harus pro aktif mengawasi konten-konten tentang debat agama yang banyak bersliweran di sosial media. Departemen agama harus bisa memastikan isi materi konten tersebut tidak bermaksud untuk menyerang umat agama lain.
Sedari awal Departemen agama bisa membuat aturan main tentang diskursus penyampaian materi perbandingan agama di ranah publik. Karena jika tidak ada aturan main yang disepakati, para pembuat konten akan tidak terkendali selalu memproduksi konten-konten sensitif menyerang agama lain, dikarenakan rating algoritmanya memang sangat tinggi di Indonesia.
Begitu pula penyelenggaraan acara debat agama terbuka di area publik, jika telah mendapatkan ijin, maka pihak Departemen agama dan aparat terkait juga harus hadir dalam acara tersebut, agar supaya acara yang bersifat sensitif tersebut bisa berlangsung dengan damai dan kondusif.
Perbanyak Materi Dialog Kerukunan Antar Umat Beragama
Pemerintah harus bisa menginisiasi acara-acara atau konten-konten dialog antar pemuka agama yang materinya adalah menciptakan kerukunan agama. Pemerintah dan para pemuka agama harus meyakinkan masyarakat bahwa banyak hal manfaat yang bisa kita dapatkan jika kita terus istiqomah menjaga kerukunan antar umat beragama.
Materi seperti toleransi dalam penyelenggaraan ibadah atau hal lainnya yang bisa memupuk rasa persatuan antar umat beragama, harus sering diproduksi oleh para pemuka agama, agar supaya umatnya senantiasa berpikir positif dan hanya berusaha berlomba-lomba beramal kebaikan.
Sudah ada memang beberapa konten kreator pemuka agama seperti Habib Ja'far yang selalu berusaha menyajikan konten yang selalu membuat sejuk dan kerukunan antar umat beragama. Kita perlu banyak konten kreator yang seperti ini, ketimbang konten kreator yang selalu menyerang isu sensitif agama lain.
Sejatinya agama itu tidak bisa diperdebatkan, artinya tidak serta merta bisa di-logika secara gamblang. Jangankan antar agama, antar manusia saja memiliki definisi 'Tuhan'-nya masing-masing, jadi buat apa untuk diperdebatkan, yang perlu diperdebatkan apakah kita semua seperti hadits Nabi Muhammad SAW yaitu "sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang bermanfaat bagi yang lainnya". Maka dari itu marilah kita sesama umat beragama, saling fastabiqul khairat, saling berlomba-lomba dalam kebaikan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H