Tampak kejauhan, sebuah pukulan melayang ke salah satu pelipis murid kelas 2, seolah tak mau kalah dengan adik kelasnya, si murid kelas 2 ini membalas dengan mendaratkan hantaman ke dagu adik kelasnya itu. Para pembaca yang budiman, ini bukan pertarungan UFC, don't try this at home.
Dengan berlari menuju mereka, saya segera melerai keduanya, lalu memeriksa apakah ada yang terluka dan menyuruh mereka untuk saling meminta maaf. Bukannya segera melaksanakan perintah saya, mereka malah saling tunjuk siapa yang bersalah menyulut perkelahian sambil 'dihiasi' isak tangis keduanya.
Tak lama kemudian, adzan Dzuhur berkumandang, saya pun menggiring mereka ke tempat wudhu, dan menyuruh mereka mengambil air wudhu, supaya turun tensi diantara mereka dan segera melaksanakan shalat Dzuhur.
Selepas shalat, saya kembali ke mereka, dan agar mereka saling memaafkan, sekali lagi mereka pun tetap saling menyalahkan satu sama lainnya. Sebenarnya masalahnya sepele, hanya salah paham saling merebutkan bola yang akan dimainkan.
Keesokan harinya, tampak di selasar kelas, mereka berdua saling tertawa satu sama lainnya. Saya pun mendekati mereka, serempak mereka berkata kepada saya bahwa mereka sudah saling memaafkan sesuai perintah dari saya.
Anak-anak memang berbeda sudut pandang berpikirnya dengan orang dewasa jika menghadapi suatu konflik atau masalah yang tiba-tiba. Orang dewasa cenderung lebih matang dan tidak langsung reaktif jika ada konflik tiba-tiba datang padanya. Makanya jika ada orang dewasa yang langsung emosi meledak-ledak ketika ada sesuatu hal tak menyenangkan tiba-tiba menghampirinya, bisa dikatakan orang dewasa itu bersifat kekanak-kanakan.
Contoh kasus di atas adalah benih-benih Perundungan atau perilaku Bullying, makanya saya selaku guru langsung mengedukasi mereka dengan menyuruh mereka untuk saling meminta maaf. Walau sepenuhnya mereka masih belum begitu paham makna meminta maaf, tetapi edukasi sikap 'saling memaafkan' merupakan benteng awal paling ampuh dalam mengantisipasi perilaku perundungan atau Bullying.
Jika ada kasus perkelahian antar murid, hanya dilerai saja, maka peserta didik merasakan bahwa konflik yang terjadi adalah hal yang biasa dan bisa diteruskan. Dan apabila terus-menerus dilakukan, maka akan ada murid yang merasa jumawa dan bisa menindas murid lainnya yang lebih lemah. Dan jelas maka arahnya menjadi perilaku perundungan.
Biasanya anak-anak tidak bisa langsung saling memaafkan jika ada konflik diantara mereka, hal ini wajar, karena secara usia, mereka belum matang secara emosional dalam menempatkan empati diantara mereka.
Walau mereka belum paham sepenuhnya tentang makna saling memaafkan, kita selaku guru dan orangtua jangan pernah menyepelekan kata ajaib "maaf". Tetaplah selalu menekankan kepada mereka untuk bersikap Ksatria saling memaafkan.
Mengajarkan memaafkan secara intens kepada anak atau peserta didik sangat besar dampaknya dalam membentengi dari laten perilaku bullying. Berikut beberapa manfaat jika kita mengajarkan saling memaafkan kepada anak dalam rangka mencegah perilaku perundungan atau bullying.
Menjadi Pribadi Bertanggung Jawab
Dengan belajar meminta maaf, maka lambat laun anak akan memahami perbedaan perilaku benar dan salah. Dan jika dia sudah mengerti bahwa seandainya dia  berada pada pihak yang salah, lalu dianjurkan untuk meminta maaf, maka dia paham bahwa apa yang dilakukannya memang salah jika dinilai secara norma umum.
Namun apabila hal tersebut hanya dibiarkan saja, maka dia merasa apa yang dilakukannya tidaklah salah, dan pasti akan mengulanginya lagi. Maka dari itu pengedukasian meminta maaf akan membentuk karakter kepribadian yang bertanggung jawab, jika dia salah, maka dia harus mempertanggungjawabkan kesalahannya dengan meminta maaf.
Ketika karakter bertanggungjawab ini mulai terbentuk, maka dipastikan akan meminimalisir perilaku perundungan diantara para peserta didik.
Mencegah Konflik
Memberi maaf dan meminta maaf adalah upaya paling dasar manusia untuk mencegah konflik menjadi lebih jauh. Jika sedari dini anak-anak diajarkan legowo dari setiap perselisihan, diharapkan kelak akan menjadi generasi yang solutif ketimbang generasi yang saling mau menang sendiri
Perundungan terjadi karena perselisihan yang hanya dibiarkan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian atau solusi diantara pihak-pihak yang berselisih. Maka dari itu pengajar harus memberikan pemahaman bahwa semua masalah itu pasti ada solusinya, dan langkah awal untuk mendapatkan solusi itu adalah berupaya saling memaafkan terlebih dahulu.
Masih ingat pernyataan Nelson Mandela ketika menyelesaikan politik Apartheid di negaranya. Beliau membuat pernyataan "Memaafkan tetapi tidak melupakan", artinya sebagai manusia sudah sepatutnya saling memaafkan tindakan-tindakan salah, Â sehingga yang salah menjadi legowo bahwa dia yang bersalah dan siap mempertanggungjawabkannya.
Pembiasaan Mengevaluasi Diri
Berikan pemahaman kepada peserta didik bahwa tidak ada manusia yang sempurna, manusia mempunyai kewajiban untuk mengevaluasi dirinya jika dia merasa bersalah. Jika pihak yang bersalah telah mendapatkan 'restu' maaf dari pihak yang berselisih dengannya, maka lama kelamaan empati diri akan rasa malu terbentuk dengan sendirinya.
Jika peserta didik terjadi pembiasaan selalu mengevaluasi diri ketika ada perselisihan antar teman, maka hal tersebut dapat menjadi kekuatan melawan setiap potensi perundungan yang ada. Setiap peserta didik akan merasa malu apabila ada pihak yang merasa paling hebat, karena terbiasa diajarkan oleh pengajar dan orangtuanya tentang pembiasaan menilai dirinya sendiri dari setiap kesalahan.
Sering kadang perselisihan di dalam kelas, tentang masalah pinjam-meminjam alat tulis bisa menjurus adu mulut, tetapi bisa diselesaikan hanya dengan sang guru mengatakan "saling memaafkanlah, memberi itu lebih baik daripada menerima". Mereka pun langsung paham, bahwa pihak yang mau meminjamkan pensil pun menjadi legowo, dan pihak yang meminjam pensil menjadi malu, mengevaluasi diri agar membawa perlengkapan alat tulis yang lengkap. Hal itu diawali dengan saling memaafkan terlebih dahulu.
Membangun Harga Diri Anak
Sikap saling memaafkan secara tidak langsung akan membentuk karakter yang lebih tenang ketika ada perselisihan. Berikan pemahaman kepada mereka, bahwa mengalah pun bisa dikatakan menang jika ada konflik yang terjadi
Mungkin pada usia dini, mereka memang belum mengenal apa itu harga diri, tetapi biasanya anak usia dini memiliki sifat ke-aku-an yang cukup tinggi. Maka tak jarang hanya rebutan mainan, bisa menjurus adu fisik yang tak bisa dihindarkan.
Adalah sebagai pengajar menanamkan bahwa tidak ada gunanya saling menang sendiri, yang ada hanya adalah penyesalan timbul di belakang, karena salah satu pihak ada yang tersakiti baik secara verbal maupun fisik. Disinilah peran sikap memaafkan dapat mengurangi potensi perundungan akibat sifat selfish yang berlebihan.
Memberi maaf dan meminta maaf secara hakekat memang sulit dipraktekkan anak-anak usia dini, karena sifat tantrum yang selfish-nya masih tinggi menjadi sekat praktek memaaafkan untuk diaplikasikan dalam keseharian.
Namun hal itu bukan berarti kita tidak mengingatkan terus menerus untuk saling memaafkan di antara mereka. Tanamkan kepada mereka, bahwa jika kalian punya sifat pemaaf yang tinggi, maka sudah dipastikan kelak jika kalian akan menjadi orang 'hebat' ketika sudah dewasa. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H