Pada suatu kali di jam istirahat kelas, salah satu murid saya tiba-tiba menanyakan sesuatu kepada saya yang berbau politik. Dia menanyakan, pada pemilu 2024 nanti kira-kira siapa yang akan menjadi presiden dan juga menanyakan saya akan memilih calon presiden siapa. Pertanyaan darinya tidaklah membuat saya kaget, walau dia masih duduk di kelas 3 SD, dia kerap mengajak saya perihal politik dan sejarah dunia jaman dulu.
Perilaku generasi Alpha yang lahir antara tahun 2000 belasan, memang cukup unik. Banjirnya informasi yang datang ke mereka semenjak lahir, mencetak generasi yang beragam dalam mengekspresikan minatnya walau masih usia dini.Â
Di dalam kelas saya, ada peserta didik yang sukanya bicaranya tentang dunia hewan sampai ke kulit-kulitnya, ada yang suka menyanyi Koes Plus saja, dan masih banyak lainnya serta termasuk yang saya jadikan tema dalam tulisan ini, yaitu peserta didik yang getol bicara politik.
Secara umum, perbincangan politik adalah 'makanan'-nya orang dewasa khususnya para bapak-bapak yang biasa nongkrong di angkringan atau warung kopi. Apalagi jika sudah mulai memasuki tahun politik menjelang pemilu, headline berita selalu tertuju pada elit-elit politik yang kasak-kusuk menjalankan agenda-agenda politiknya.
Sungguh unik, jika perbincangan politik yang dirasa 'berat' dengan renyahnya diutarakan seorang murid kelas 3 SD. Murid saya yang satu ini, memang spesial, untuk menjaga privasi, sebut saja namanya adalah Dika.
Dika di kelas sangat senang mengajak saya bicara tentang apa saja, tetapi kebanyakan bertopik sejarah dan politik.Â
Ketika saya menanyakan darimana dia mendapatkan wawasan-wawasan tentang kesejarahan dan dunia politik, Dika mengutarakan sebagian besar informasi-informasi tersebut didapatkan dari menonton YouTube.Â
Lalu saya menanyakan lagi, apakah dia juga menggali informasi dan data melalui membaca buku, Dika menjawab malah dia kurang begitu minat dalam membaca buku, kalaupun iya itu pun tidak terlalu signifikan. Kesimpulannya, kebanyakan informasi sejarah dan politik yang diminatinya didapatkan dari channel-channel YouTube.
Sekilas, saya berasumsi, bisa jadi orangtuanya kerap menonton konten sejarah dan politik, sehingga menimbulkan ketertarikan baginya untuk menontonnya di YouTube. Sebenarnya bukanlah suatu masalah bagi saya, sah-sah saja anak seusianya memiliki ketertarikan seperti itu, hanya saja memang harus diberikan panduan dan arahan dalam mencerna informasi-informasi yang sebenarnya sifatnya sensitif tersebut.
Untuk perihal kesejarahan politik jaman dulu, saya selalu tekankan padanya agar diimbangi dengan membaca buku-buku tentang sejarah, karena konten-konten di YouTube biasanya hanya sebatas kulitnya saja atau bahkan diselipkan propaganda-propaganda yang belum dipahami oleh anak seusianya.