Banyak perusahaan iklan masih mempercayai efektivitas beriklan pada koran dibanding online. Bahkan di wilayah regional, instansi pemerintah atau dinas, masih menggunakan koran sebagai rujukan beriklan. Hal tersebut karena koran memiliki bukti fisik yang bisa dipertanggungjawabkan saat laporan pertanggungjawaban sesuai dengan kebijakan pada dinas tersebut. Itulah yang membuat eksistensi koran di wilayah regional masih tetap aman.
Di daerah juga, koran dan online sifatnya simbiosis mutualisme. Isu kematian koran akibat dibunuh oleh tersangka online masih tertepis. Justru online yang memperkenalkan koran mendunia. Contohnya, koran yang hanya terkenal dengan skala lokal, akan diperkenalkan secara nasional oleh online yang memiliki pembaca tidak hanya skala lokal, tapi juga nasional, bahkan global.
Kedua, kuantitas wartawan online masih minim dibandingkan cetak. Untuk itu selain mensubsidikan anggaran untuk online, koran juga mensubsidikan berita. Namun berita yang sifatnya bukan straight news. Waktu menerbitkan berita yang disubsidikan koran oleh online tentu ketika koran telah didistribusikan.
Hoax Melindungi Koran?
Percaya atau tidak, media online juga sedang terancam dengan keberadaan berita palsu atau hoax. Konten hoax yang sama persis dengan konten berita online, justru akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat akan kebenaran pada media online.
Penyebar berita hoax hanya tinggal membuat website dengan domain yang tidak kalah menarik dengan media online. Dengan teknik mengambil angle dan judul yang memikat pembaca, jumlah pembaca berita hoax membludak. Ketika masyarakat semakin sadar bahwa berita tersebut palsu, imbasnya masyarakat juga meragukan media online resmi.
Apakah ini keuntungan untuk cetak? Dengan diragukannya berita online akan membuat pembaca beralih pada cetak? Tentunya tidak. Masyarakat juga telah familiar dengan media-media online ternama seperti Kompas.com, Tempo.co, Tirto.id, Detik.com, dan lainnya. Hanya kesialan sedikit menggerogoti media-media resmi yang namanya atau brandnya belum popular. Ini terkadang menimpa media online lokal. Dengan mudah dijustifikasi hoax.
Tapi justru masyarakat kita sudah cerdas untuk membedakan yang mana berita hoax dan asli. Tapi mengapa masih banyak disebarkan berita-berita hoax oleh masyarakat? Sebenarnya, masyarakat juga telah mengetahui berita tersebut adalah hoax. Namun karena berita tersebut menguntungkan mereka, maka meskipun hoax akan disebarkan. Ini kerapkali dilakukan netizen yang sering berdebat di media sosial dengan lawan politiknya.
Ada beberapa teman yang saya temui menyebarkan berita hoax yang menyerang Ahok. Saat saya beritahu bahwa berita tersebut hoax, mereka membenarkannya. Namun karena keuntungan secara politis mereka menyebarkannya.
Kemunculan hoax tentu sebagai ajang bisnis. Tujuannya hanya untuk meraup pundi-pundi Google Adsense atau kawanannya. Perklik berita akan membawa keuntungan bagi pemilik situs hoax tersebut. Dengan segala cara mereka menarik pembaca untuk membuka situs mereka. Bahkan judul yang konyol hiasi konten hoax tersebut. Misalnya diawali dengan kata “sebarkan,” “baca sebelum dihapus,” dll. Namun tenang, Kominfo dan Google Adsense sedang mempertajam pengawasan terhadap berita hoax. Jika ditemukan berita hoax, kominfo tidak segan-segan memblokirnya. Begitu juga dengan Google Adsense, jika melanggar ketentuannya maka kerjasama iklan akan dihapuskan. Oleh karena itu kini banyak media hoax beralih profesi menjadi tukang beri tips. Judulnya berubah soft dan bermanfaat. Misalnya, “Ini tips menghindari sakit hati ditinggal nikah” dan lainnya.
Itulah pembahasan bunuh membunuh sesuai dengan judul di atas. Akan ada ruang lagi untuk kita berdiskusi panjang tentang media. Saat ini juga sesungguhnya media online sadang melakukan revolusi. Kita lihat saja ide apa yang akan muncul dari perkembangan media daring ini.