Tanggal 15 Februari 2017 merupakan hari pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Hari  itu menjadi hari penentu bagi masing-masing calon memperoleh suara. Agus-Sylvi, Ahok-Djarot, dan Anis-Sandi akan konsen mendengarkan perhitungan suara usai pemilihan.
Hari penentu bagi masa kampanye yang melelahkan bagi para kandidat. Siapapun yang terpilih, tentu diharapkan mampu mengemban tugas dan merealisasikan janji kampanye. Mampu bekerja keras sekeras urat leher mereka saat tampil pada debat-debat kandidat kemarin.
Namun, bagaimana dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) nanti. Andaikata memenangkan Pilkada DKI 2017, apakah akan bereforia dengan kemenangan? Tentunya tidak. Ia belum sepenuhnya bisa langsung merasakan kursi Gubernur DKI meskipun menang dalam Pilkada besok. Ahok harus melewati putusan pengadilan terhadap kasus dugaan penistaan agama yang menjeratnya.
Jika Ahok terbukti bersalah dan divonis penjara dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum mengikat dan tetap, maka kursi Gubernur DKI tidak dapat dirasakan oleh Ahok. Di sanalah letak pentingnya putusan hakim. Terkecuali jika hakim memutuskan Ahok bebas atau menghukum Ahok dengan pidana percobaan.
Dari sana juga dapat kita prediksikan geliat masyarakat yang akan mendesak agar Ahok dipidanakan. Terlebih lagi jika Ahok akan menang pada Pilkada 2017 ini, maka tidak bisa dipungkiri geliat masyarakat yang tidak sepakat Ahok menjadi gubernur akan beraksi. Â Di sana independensi hakim akan teruji untuk memutuskan hukuman yang seadil-adilnya berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di persidangan.
SBY dan Strategi Politik Jangka Panjang
SBY sebelum hengkang menjadi presiden, menyadari situasi di atas. Jika gubernur terpilih berstatus terpidana, maka akan digantikan dengan wakil gubernurnya. Ahok menjadi terpidana, maka Djarot yang akan menjadi gubernur. Situasi tersebut akhirnya ditekan dengan membuat Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati.
Dalam pasal 174 menyebutkan jika gubernur menjadi terpidana, maka posisi gubernur tidak akan digantikan oleh wakil gubernur. Akan tetapi dipilih oleh DPRD Provinsi jika masa jabatan gubernur lebih dari 18 bulan. Jika masa jabatan kurang dari 18 bulan maka gubernur pengganti akan ditunjuk oleh presiden atas usul menteri.
Strategi politik SBY tidak disadari oleh Jokowi yang baru saja terpilih menjadi presiden. Jokowi melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015Â menetapkan Perpu yang dibuat oleh SBY tersebut. Pada tanggal 2 Februari 2015, Jokowi mengundangkan UU tersebut.
Baru pada tanggal 18 Maret 2015 atau sekitar satu bulan, Jokowi menyadari hal tersebut dan mengubah UU Nomor 1 Tahun 2015 menjadi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015… Dalam pasal 173, jika gubernur berstatus terpidana, maka yang menggantikan gubernur adalah wakil gubernur tersebut.
Ini adalah politik kelas tinggi dari para politisi di negeri ini. Tulisan ini bukan menyatakan bahwa SBY telah mengetahui kasus yang akan menimpa Ahok, karena SBY bukan peramal. Namun, seorang pemimpin mampu memprediksikan dinamika politik ke depannya.