Mohon tunggu...
Satria Zulfikar Rasyid
Satria Zulfikar Rasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang mahasiswa juara bertahan di kampus! Bertahan gak wisuda-wisuda.. mau wisuda malah didepak!! pindah lagi ke kampus lain.. Saat ini bekerja di Pers Kampus. Jabatan Pemred Justibelen 2015-2016 Forjust FH-Unram Blog pribadi: https://satriazr.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana, Hak Tolak Jurnalis, dan Ancaman Sekitar

15 Juni 2016   00:46 Diperbarui: 15 Juni 2016   01:00 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kerjayuk.com

Pernahkah anda membaca cerpen berjudul ‘Langit Makin Mendung?’. Ya, cerpen tersebut adalah cerpen yang paling kontroversial pada tahun 1948. Cerpen yang diterbitkan majalah Sastra tersebut, ditulis oleh orang dengan nama pena Kipandjikusmin, menceritakan Allah, Muhammad, dan Malaikat Jibril turun ke bumi untuk menyelidiki mengapa manusia banyak yang tidak masuk surga.

Imbas dari cerpen tersebut, menyebabkan kantor Sastra di Jakarta diserang massa. Tidak sampai di situ, kepala editor Sastra, Hans Bague Jassin diadili di pengadilan dengan tuduhan penistaan agama.

Yang menarik dari peristiwa ini bukan soal tuduhan penistaan agama, namun implementasi terhadap hak tolak jurnalis tersebut. Jassin rela dihukum demi tidak mengungkap siapa sebenarnya orang dibalik nama pena Kipandjikusmin tersebut.

Dalam pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa:

(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Kemudian dalam pasal 1 angka 10 UU Pers disebutkan: “Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

Itu adalah dasar hukum hak tolak yang dimiliki jurnalis. Namun perlu diketahui bahwa hak tolak yang dimiliki jurnalis tidaklah mutlak. Hak tolak dapat dibatalkan pengadilan, sebagaimana tertuang dalam penjelasan pasal 4 UU Pers disebutkan, “Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.”

Dalam pasal 221 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang pada pokoknya mengatur bahwa barang siapa yang dengan sengaja: (i) menyembunyikan pelaku kejahatan atau orang yang dituntut karena kejahatan; atau (ii) memberi pertolongan kepada pelaku kejahatan untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat yang berwenang, dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal sembilan bulan penjara.

Namun pasal tersebut tentu tidak mempan untuk menjerat wartawan, karena UU Pers adalah lex specialis, yang artinya lebih diprioritaskan dari KUHP. Salah satunya cara dengan jalan membatalkan hak tolak tersebut pada pengadilan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Pembatalan hak tolak memang cukup preventif untuk mencegah terjadinya bahaya yang mengancam negara dan warga negaranya. Namun bahaya baru muncul. Bagaimana ketika sumber informasi yang diberikan jaminan hak tolak tersebut, informasinya betul-betul darurat dan membutuhkan penanganan secepatnya?, mengingat proses di pengadilan tidak serta-merta.

Misalnya, Wartawan yang mewawancara pelaku terror, dan dalam hasil wawancara, pelaku terror berjanji akan melumpuhkan warga negara dalam tempo 1 x 24 jam? tentu ini sangat darurat dan genting. Ini merupakan ketidakjelian pembuat UU dalam merancang UU yang efektif dan waspada.

Kita memang sepakat bahwa kebebasan pers adalah utama dalam orde reformasi ini. Namun ketika kebebasan tersebut memiliki potensi bahaya, tentu kita tidak mendukung. Solusinya, kita harus kembali berpikir, mana yang idealnya diberikan hak tolak dan dapat dibatalkan di pengadilan, dan mana yang harus dibatalkan tanpa proses pengadilan, yang tentunya informasi tersebut bersifat darurat seperti ilustrasi di atas.

Hak tolak memang harus kita junjung, namun dalam kadar atau porsi tertentu. Ini semua demi kepentingan kita bersama, karena kebabasan pers tentu tidak akan merugikan masyarakat umum.

Sudahkah Kompasiana Merealisasikan Hak Tolak?

Sebelumnya saya minta maaf pada Budiarto Shambazy, karena saya menilai Kompasiana belum merealisasikan hak tolak dengan sepenuhnya. Mungkin tudingan saya ini sangat keliru, atau mungkin juga sebaliknya. Kompasiana yang merupakan blog jurnalis Kompas yang kemudian bertranformasi menjadi media warga, tentu sangat sesak dengan buah pikir warga yang menuangkan informasi, pengalaman, bahkan ide serta gagasannya. Pengawasan tentunya ekstra ketat untuk menghindari bahasa yang menjadi sampah artifisial. Misalnya SARA, plagiat, hinaan, dan bahkan iklan.

Namun pada tanggal 14 Oktober 2014, Kompasiana telah meluncurkan fitur verifikasi akun yang ditandai dengan ikon centang berwarna biru. Dalam fungsinya, justru tidak hanya menjaring Kompasianer yang artikel-artikelnya tidak diragukan kebenaran isinya atau keaktifan dalam menulis di satu bidang atau tema tertentu, tetapi juga ‘meningkatkan jumlah penulis yang mau menunjukan jati dirinya’. Wahhh... Saya tidak yakin keamanan saya untuk menyuguhkan artikel bersifat investigasi, sekalipun disertai bukti foto maupun video. Karena sudah tentu identitas saya akan terbongkar. Karena sesuai fungsinya (verifikasi biru) prioritaskan jati diri penulis. Tentu foto serta nama asli saya terbongkar, padahal nama pena sangat diperlukan dalam artikel bersifat investigasi. Mungkin tidak akan ada lagi ‘Rumah Kaca Abraham Samad’ yang ditulis Si Wajah Bercontreng Biru.

Saya cuma menawarkan untuk data pribadi Kompasianer adalah hak Kompasianer sendiri untuk mempublikasikannya atau tidak, khususnya untuk Kompasianer dengan verifikasi dan memperoleh ikon centang berwarna biru. Namun dengan tetap verifikasi asli Kompasianer tersebut diketahui oleh pengelola Kompasiana sendiri. Ketika terjadi suatu permasalahan dalam artikel yang ditulis Kompasianer bercentrang biru, maka tinggal Kompasiana saja mau menggunakan hak tolak atau tidak. Jika diungkapkanpun tidak masalah, selagi memang itu keputusan pengadilan. Namun tentunya hak tolak telah digunakan seefektif mungkin sebagai suatu kebebasan pers yang merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun