Mohon tunggu...
Satria Zulfikar Rasyid
Satria Zulfikar Rasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang mahasiswa juara bertahan di kampus! Bertahan gak wisuda-wisuda.. mau wisuda malah didepak!! pindah lagi ke kampus lain.. Saat ini bekerja di Pers Kampus. Jabatan Pemred Justibelen 2015-2016 Forjust FH-Unram Blog pribadi: https://satriazr.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hukuman Kebiri untuk Pikiran

27 Mei 2016   04:48 Diperbarui: 27 Mei 2016   04:54 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Jokowi telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait dengan kebiri (kompas.com). Maraknya kasus pemerkosaan dianggap sebagai suatu keadaan yang genting untuk menerbitkannya suatu perundang-undangan yang kekuatannya sama dengan undang-undang.

Di sini tidak akan kita mempersoalkan pasal demi pasal yang tertuang dalam Perppu tersebut. Namun kita akan mengkaji kembali keefektifan regulasi yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi. Apakah tepat untuk memberikan efek jera, sekaligus meminimalisir kasus pemerkosaan, atau hanya ajang politik pencitraan semata.

Bicara tentang kebiri, tentu korbannya adalah penis. Mengapa penis disebutkan sebagai korban? karena hasrat seksual (libido) datangnya dari pikiran manusia, bukan datang dari penis. Dalam otak manusia terdapat banyak struktur yang terdiri atas hipokampus, amigdala, nucleus thalamic anterior, septum, korteks limbic, dan forniks. Struktur inilah inilah yang berperan di saat manusia merasakan keinginan untuk berhubungan seksual.

Pendapat dr. Boyke, kebiri atau kastrasi tidaklah efektif. Alasannya pelaku kejahatan berpotensi melakukan aksi kejahatan selama kondisi mentalnya tidak diobati.

"Yang sakit itu kan jiwanya. Kastrasi atau kebiri tidak akan menyelesaikan jiwanya. Makanya saya kurang setuju dengan diberlakukannya itu," kata Boyke.

Kebiri tentu saja tidak akan merubah apa-apa, karena yang sakit adalah jiwanya, bukan fisiknya. Jika tidak percaya bahwa hasrat seksual bersumber dari pikiran bukan penis, silahkan dicoba dengan melakukan masturbasi tanpa berimajinasi. Masturbasi tanpa berimajinasi tidak akan menyebabkan rangsangan seksual, bahkan mungkin tidak akan menyebabkan ereksi. Karena sumber rangsangan adalah pikiran, sehingga masturbasi dengan imajinasi yang akan dapat menyebabkan orgasme, karena kuncinya adalah imajinasi tadi.

Dalam buku ‘Kriminologi’, Dr. Hendrojono mengutip libido sexuil pandangan Sigmund Freud. Bahwa sebenarnya dorongan sexuil itu telah dimiliki manusia sejak dilahirkan, kemudian dipupuk oleh lingkungan dan pengalaman sampai pada saat pubertas. Sebagai contohnya, ketika bayi dilahirkan, maka libido atau hasrat seksualnya terpusat pada mulut, dengan tujuan perawatan. Perkembangan berikutnya, tidak saja meminta perawatan, tetapi berkembang mulai menggigit dengan kehendak untuk memiliki yang tentunya terbatas menjadi milik mulutnya. Masa ini disebut dengan oral libido. Taraf berikutnya libido akan berpusat pada alat kelaminnya dengan kebutuhan-kebutuhan memperoleh kepuasan.

Seandainya tingkatan taraf libido tidak berubah ke alat kelamin, mungkin yang akan diberi hukum kebiri adalah mulutnya. Logika sangat keliru untuk melakukan kebiri atau kastrasi. Jiwa yang sakit seharusnya diberikan rehabilitasi, bukan kebiri.

Ketika penis telah dikebiri, atau kastrasi klitoris pada wanita sekalipun, sehingga menyebabkannya  tidak berfungsi normal, tidak akan menyebabkan hasrat seksual itu hilang. Pelampiasannya bisa saja menggunakan tangan, mulut, atau organ tubuh lainnya. Bahkan orgasme sekalipun bisa saja terjadi tanpa penetrasi.

Pelaku pemerkosaan yang telah dihukum kebiri, jika keluar dari penjara nantinya bisa saja memiliki efek dendam, dan bukan lagi menggunakan penis sebagai pelampiasan hasrat seksual, tetapi tangan atau organ tubuh lain, yang tentunya ukurannya lebih berbeda, sangat mengerikan.

Perppu yang dikeluarkan presiden sangatlah subjektif, karena syarat terbitnya Perppu itu sendiri adalah kegentingan yang memaksa. Namun bukan berarti harus dijadikan politik pencitraan semata, untuk meyakini rakyat bahwa negara sangat mengutuk tindakan pemerkosaan, bahwa negara sama rasa dengan warga negaranya terkait kasus pemerkosaan yang begitu kejamnya. Dengarkanlah pendapat ahli, hargailah pendapat mereka yang memiliki pengetahuan sesuai dengan realita yang kita hadapi saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun