Kasus pemerkosaan yang kemudian disertai pembunuhan, hakikatnya adalah untuk menguburkan jejak kasus pemerkosaan itu sendiri. Kita menilai pemerkosan sebagai suatu kejahatan yang sangat kejam pada akhir-akhir ini, diakibatkan peristiwa lanjutan setelah pemerkosaan, yakni dibunuh dengan keji, seperti misalnya dimasukan cangkul dalam kemaluan korban, dipukul dengan kayu, bahkan dibuang ke jurang. Yang kita lihat saat ini adalah efek lanjutan setelah pemerkosaan dilakukan. Sama dengan kasus Fetishisme. Fetishisme adalah dorongan seksual yang ditujukan kepada benda-benda milik lawan jenisnya. Misalnya seorang laki-laki tertarik pada celana dalam wanita, rambut, sepatu, dan benda lainnya milik wanita. Kasus di Chicago pada 1957, di mana seorang mahasiswa melakukan 3 kali pembunuhan dan 5 kali pencurian besar pakaian wanita, biasanya ia merasakan kepuasan seksual dengan mengenakan pakaian wanita. Yang mendorong melakukan pembunuhan untuk menghindari penyelidikan terhadap barang yang dicurinya.
Penis bukanlah suatu sebab utama dari kasus pemerkosaan. Penis adalah alat yang diperintahkan otak sesuai dengan sistem saraf dalam tubuh. Sehingga mengebirinya tidak akan memberhentikan hasrat seksual dari pikiran manusia. Sama dengan laki-laki yang tidak hanya menggunakan vagina sebagai tempat memuaskan seksual, tetapi oragan lain dari tubuh wanita, bahkan di antara kedua payudara sekalipun dijadikan tempat penetrasi. Pemuasan seksual tidak hanya menggunakan penis. Bahaya ketika pelaku yang dikebiri memiliki orientasi seksual yang berubah pasca hukuman tersebut, dengan memuaskan hasrat seksualnya dengan cara yang lebih sadis.
Sehingga yang tepat adalah hukuman kebiri untuk pikiran, dengan cara melakukan rehabilitasi terhadap pelaku untuk mengebiri pikiran-pikiran jahat dalam dirinya. Sehingga pikirannya bersih selepas dari balik jeruji besi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H