Mohon tunggu...
Satria Zulfikar Rasyid
Satria Zulfikar Rasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang mahasiswa juara bertahan di kampus! Bertahan gak wisuda-wisuda.. mau wisuda malah didepak!! pindah lagi ke kampus lain.. Saat ini bekerja di Pers Kampus. Jabatan Pemred Justibelen 2015-2016 Forjust FH-Unram Blog pribadi: https://satriazr.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Dunia Pendidikan Kita

20 Mei 2016   19:24 Diperbarui: 21 Mei 2016   03:01 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), pada tahun 2016 ini telah menggagas sebuah konsep pendidikan sebagai gerakan semesta. Gerakan ini menekankan pada keterlibatan seluruh elemen bangsa untuk merasa memiliki terhadap dunia pendidikan. Mulai dari dunia bisnis yang peduli akan pendidikan, Ormas maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendorong, mengorganisasi, sekaligus menjadi pemantau pendidikan, dan pemerintah sebagai fasilitator pendidikan.

Konsep ini hampir sama dengan konsep pemberantasan korupsi. Di mana jargon utamanya bahwa korupsi adalah musuh bagi semua orang. Hal ini menekankan kepada kesadaran kolektif masyarakat, baik terhadap rasa memiliki dalam dunia pendidikan, maupun kesadaran memberantas korupsi.

Berbicara tentang kesadaran kolektif merupakan urgensi yang terus menerus mengalami degradasi. Cukup sulit menjadi pemicu kesadaran kolektif, khususnya pada dunia pendidikan. Tawaran pada konsep (tekstual), banyak pihak mengklaim memiliki cara jitu dalam membangun kesadaran kolektif, namun tataran priktiknya kita nihil dalam menjadi penggagas kesadaran universal tersebut.

Apa relasi yang menyebabkan sulitnya menumbahkan kesadaran kolektif terhadap konsep pendidikan sebagai gerakan semesta? Jawabannya karena banyak orang tidak merasa menjadi bagian dalam pemicu kesadaran tersebut. Contoh misalnya, pelaku bisnis yang pada jam sekolah membiarkan siswa bermain di warnet, di rental playstation, dan lainnya. Mengapa dibiarkan? Akarnya lagi-lagi kita temui, regulasi yang kurang sosialisasi maupun tidak adanya sanksi.

Konsep pendidikan sebagai gerakan semesta memang dalam tataran konseptual sangat ideal bagi penggerak dunia pendidikan nasional, namun antara yang ada (das sein) dan yang seharusnya ada (das sollen) seringkali kontradiksi. Karena menumbuhkan kesadaran yang masif, harus juga membutuhkan usaha yang masif.

Kritik Terhadap Realitas Pendidikan Kita

Ada beberapa kritikan penulis untuk pendidkan kita saat ini. Menurut penulis dalam realitas pendidikan kita saat ini, ada hal-hal yang sifatnya urgensi untuk kita benahi bersama-sama.

Sudah belasan kali kita merubah kurikulum pendidikan kita, mulai dari kurikulum awal tahun 1947 yang disebut ‘Rentjana Pelajaran’ hingga kurikulum 2015 untuk menyempurnakan kurikulum 2013, namun praktik pada ujian nasionalnya menggunakan kurikulum 2006 yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Dari kesekian kurikulum ini, peran guru sebagai ‘pendongeng’. Untuk memicu paradigma kritis murid sangat jarang dilakukan. Metode diskusi harusnya menekankan pada nalar kritis siswa. Karena sejatinya generasi saat ini adalah ‘generasi melihat’ atau generasi visual bukan sebagai ‘generasi pendengar’ atau generasi audio seperti zaman dulu lagi. Sehingga kadangkala klaim mitos tersingkirkan dengan adanya kemajuan teknologi dan arus global saat ini. Siswa dengan mudah mencari hal-hal yang tidak diketahuinya. Berbeda saat dulu, sebagai generasi pendengar, proses berpikir kita hanya menyerap bulat-bulat seluruh perkataan guru.

Kemudian yang berikutnya adalah basis membaca yang tidak sistematis. Hal ini terkait masuknya arus global yang membawa internet. Manfaatnya cukup besar, namun juga sebanding dengan masalah yang ditinggalkan. Hal ini bukan terkait konten yang tidak produktif yang disajikan internet, tetapi lebih pada penyesatan basis membaca kita.

Mengapa demikian? Dikarenakan internet yang secara praktis menyajikan informasi keilmuan, namun proses transfer ilmu pengetahuan kita tidak sistematis. Berbeda dengan buku bacaan, yang dari bab per bab menyajikan sesuatu yang sistematis dan berkorelasi pada setiap lembarannya. Namun pada internet kita sudah mengambil substansinya, hingga akar lahirnya substansi tidak kita dapatkan. Seperti sebuah kausalitas, kita hanya dapat mengkonsumsi akibat dari pada sebab, karena internet selau menyajikan hal yang bersifat praktis. Jika pun internet menyajikan hal yang sistematis layaknya buku, berbeda titik jenuh membaca pada internet dan pada buku. Kejenuhan membaca tulisan panjang di internet berdampak pada basis membaca kita.

Perlu kembali ditekankan pada budaya membaca kita, walaupun akhir-akhir ini buku bacaan banyak yang disita. Ketakutan penulis, semakin maraknya ilmu pengetahuan yang tidak sistematis dijumpai di internet, menyebabkan etos individu menjadi pragmatis. Apalagi ditambah dengan banyak konten bacaan pada internet yang tingkat keakuratannya masih diragukan. Banyak konten yang menipu kita di internet. Berbeda dengan buku, yang tentunya secara selektif ISBN buku tersebut diberikan, membuktikan telah ada penilaian kelayakan bacaan tersebut.

Kemudian kritik berikutnya adalah tes masuk sekolah. Saya selalu bingung dengan sistem tes masuk pada sekolah-sekolah unggulan. Di mana menekankan aspek keilmuan semata. Hingga dapat disimpulkan sekolah unggulan hanya menjaring siswa yang pintar semata (diukur dari nilai tes). Padahal hakikat pendidikan sebenarnya mengeluarkan kita dari ketidaktahuan menuju pengetahuan, namun justru siswa yang tidak berhasil lulus tes masuk sekolah unggulan, tidak akan diterima di sekolah unggulan, dan akan masuk ke sekolah yang kualitas dan fasilitasnya memperihatinkan.

Ini mengindikasikan sekolah unggulan hanya untuk siswa-siswa yang cerdas semata. Saya menjadi ragu bahwa siswa tamatan sekolah unggulan dan berprestasi karena sekolahnya adalah sekolah yang berprestasi, bisa saja memang murni siswa tersebut berprestasi semenjak Ia ikut tes masuk. Karena yang menjadi parameter kelulusan adalah kecerdasan menjawab soal tes. Seharusnya justru siswa yang kurang pintar yang dimasukan pada sekolah unggulan sehingga keilmuannya dapat berubah, tidak stagnasi. Bagaimana cara menentukannya, tentu dengan cara mengukur nilai kelulusan minimal saat di bangku sekolah sebelumnya. Jangan cuma nilai kelulusan yang maksimal sebagai parameter meloloskannya di sekolah unggulan, bagaimana nasip siswa dengan nilai minimal, ditambah lagi tidak lulus tes masuk sekolah unggulan.

Oleh karena itu saya sangat mendukung konsep pendidikan sebagai gerakan semesta, namun kita juga harus mampu memperbahrui sistem pendidikan kita sesuai dinamika saat ini. Artinya tidak semata-mata merubah sistem, namun menyempurnakan sistem yang ada.

Ada suatu metode pendidikan dikenal dengan ‘Metode Montessori’ yang menekankan penyesuaian dari lingkungan belajar anak dengan tingkat perkembangannya, dan peran aktivitas fisik dalam menyerap konsep akademis dan keterampilan praktik. Sistem ini juga sangat baik sekali, namun harus dibutuhkan kontrol yang besar dari guru. Sehingga justru tidak membawa anak hanya pada mempertahankan hak dengan insting dan agresif semata.

Sejatinya konsep yang dicanangkan Kemdikbud sangat tepat, di mana sudah saatnya dunia pendidikan membutuhkan perhatian semua pihak, sehingga degradasi moral dan etos siswa dapat diantisipasi. Namun yang dibutuhkan adalah usaha untuk meningkatkan kesadaran kolektif semua pihak. Karena kesadaran kolektif tidak akan muncul hanya dengan himbauan semata, perlu adanya sosialisasi yang matang dan regulasi yang tepat demi menggerak dunia pendidikan menuju generasi emas menyongsong imperium Indonesia ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun